Lingkungan dan Peran Strategis FKUB Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama dan Persatuan Nasional

4 Sep 2013
Lingkungan dan Peran Strategis FKUB Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama dan Persatuan Nasional

Rabu, 04 September 2013

 

LINGKUNGAN DAN PERAN STRATEGIS FKUB

DALAM PEMELIHARAAN KERUKUNAN UMAT BERAGAMA DAN PERSATUAN NASIONAL[1]

Oleh: Prof. DR. H.M. Atho Mudzhar[2]

 

 

Untuk melihat peran strategis FKUB dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama dan persatuan nasional, khususnya dalam implementasi PBM Nomo 9 dan 8 Tahun 2006, paling kurang ada tiga lingkungan strategis yang saling terkait dan perlu dicermati, yaitu pertama mengenai landasan hukum bagi pemeliharaan kerukunan umat beragama, kedua mengenai kebijakan pemerintah dan sejumlah masalah dalam implementasinya, dan ketiga mengenai dukungan system masyarakat dan partisipasinya. Ketiga hal itu saling mengkondisikan dan menunjang upaya pemeliharaan kerukunan umat beragama yang pada gilirannya merupakan elemen penting bagi pemeliharaan kerukunan nasional dan persatuan nasional Indonesia.

Kerangka hukum Landasan kerukunan umat beragama

Sehari setelah proklamasi kemerdekaan RI, tepatnya 18 Agustus 1945,  Indonesia mengesahkan UUD 1945 yang isinya amat singkat, hanya 37 pasal dan salah satu pasalnya, yakni Pasal 29 mengatur mengenai kebebasan beragama dan kerukunan umat beragama. Pasal 29 itu berbunyi: (1). Negara berdasar atas ketuhanan YME; (2). Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Perlu dicatat, bahwa pengaturan Pasal 29 yang amat mendasar ini terjadi lebih dari tiga tahun sebelum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendeklarasikan hak-hak azazsi manusia yang tertuang dalam dokumen Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal Hak-Hak Azasi Manusia) yang diadopsi PBB pada tanggal 10 Desember 1948. Para pendiri bangsa Indonesia ternyata telah mempunyai pandangan jauh ke depan, bahkan pada tataran kehidupan internasional.

Pasal 29 UUD 1945 ini hingga kini belum pernah dijabarkan secara tegas, meskipun sejumlah UU telah muncul berkaitan dengan kehidupan keagamaan. Pertama sekali ialah Penetapan Presiden No. 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama yang diterbitkan pada era Sukarno yang kemudian pada era Suharto diangkat menjadi UU Nomor 5 Tahun 1969 dan  sekarang lazim disebut sebagai UU Nomor 1/PNPS Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. UU ini memberikan pembatasan bahwa untuk menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat, perlu diberikan rambu-rambu agar agama tidak disalah gunakan dan tidak dinodai. Agama-agama yang disebut di situ ada enam yang besar yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu, meskipun secara ekplisit juga dinyatakan bahwa agama-agama lain seperti Shinto, Tao dan Zoroaster juga mendapat hak hidup yang sama di Indonesia. Sungguh suatu pengaturan kebebasan beragama yang luar biasa bagusnya. Presiden Suharto melalui Inpres No. 14 Tahun 1967 memang pernah melarang kegiatan agama Konghucu, tetapi telah dicabut oleh Presiden Abdurrahman Wahid dengan Kepres No. 6 Tahun 2000. Presiden Megawati kemudian menetapkan hari besar keagamaan Konghucu sebagai hari libur nasional dan pada era Presiden Susilo Bambang Yudoyono hak-hak sipil penganut Konghucu sepenuhnya dikembalikan setelah Mentri Agama Maftuh Basyuni pada tanggal 23 Januari 2006 mengirimkan surat kepada Menteri Dalam Negeri mengenai keabsahan perkawinan yang diselenggarakan dibawah panduan pemuka agama Konghucu.

Selanjutnya dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak-Hak Azazi Manusia (HAM) masalah kebebasan dan kerukunan umat beragama di atur pada Pasal 22 dan 70. Dalam Pasal 22 dikatakan bahwa setiap orang mempunyai hak kebebasan untuk memeluk suatu agama dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu; Negara menjamin kebebasan bagi setiap orang untuk memeluk dan mengamalkan agamanya serta beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Kemudian pada Pasal 70 UU itu dikatakan bahwa dalam menjalankan hak dan kewajibannya itu, setiap orang wajib mengacu kepada pembatasan semata-mata untuk menjamin penghargaan kepada hak dan kebebasan orang lain dan penegakkan keadilan, serta memperhatikan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban masyarakat dalam suatu masyarakat yang demokratis.

Pada tahun 2000, jaminan kebebasan kehidupan beragama itu ditegaskan kembali melalui amandemen UUD 1945 dengan cara mengadopsi rumusan-rumusan yang diambil dari dokumen-domukemen internasional tentang HAM dan memasukkan beberapa pasal baru ke dalam UUD 1945 yaitu Pasal 28E, 28I, dan 28J. Pasal 28E pada intinya menyatakan kebebasan setiap orang untuk memeluk suatu agama dan beribadat menurut agamanya itu, serta kebebasan berkumpul dan bependapat sesuai keyakinannya. Pasal 28I pada intinya menyatakan bahwa hak beragama, sebagaimana hak untuk hidup, adalah hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Adapun Pasal 28J pada intinya menyatakan bahwa dalam menjalankan hak-haknya itu setiap orang berkewajiban menghormati hak orang lain dalam konteks tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dikatakan pula bahwa dalam melaksanakan hak dan kewajibannya itu, setiap orang wajib mematuhi pembatasann-pembatasan yang dibuat melalui UU semata-mata dengan maksud untuk mengakui dan menghormati hak dan kebebasan orang lain, tuntutan keadilan berdasarkan pertimbangan moralitas, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu tatanan masyarakat demokrasi. Sebagian orang, biasanya kaum liberalis, cenderung hanya mau membaca Pasal 28E dan 28I, tetapi cenderung mengabaikan Pasal 28J. Sebaliknya para pengikut establishment cenderung hanya membaca Pasal 28J dan mengabaikan Pasal 28E dan 28I. Tentu saja sikap kedua kelompok itu salah, karena semua Pasal dalam UUD 1945 harus dibaca secara keseluruhan dan sebagai suatu kesatuan.

Pada tahun 2005 Indonesia maju selangkah lagi dengan meratifikasi Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights- ICCPR) menjadi UU RI Nomor 12 Tahun 2005. Pasal 18 UU itu mengatur mengenai kebebasan beragama dan menjalankan agamanya, tidak boleh ada paksaan dalam beragama, dan bahwa pembatasan mengekspresikan agama hanya boleh dibatasai dengan UU semata-mata untuk menjaga keselamatan umum, ketertiban umum, kesehatan umum, moralitas umum, dan hak-hak serta kebebasan dasar orang lain.

Terakhir pada tahun 2006 Indonesia mengesahkan UU Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan. Pasal 64 UU itu menyatakan bahwa kartu tanda penduduk memuat 18 informasi, termasuk informasi tentang agama yang dianut oleh orang yang bersangkutan. Namun, jika karena sesuatu alasan informasi keagamaan itu tidak tersedia maka orang tersebut tetap harus diberikan kartu tanda penduduk tersebut dan tetap berhak memperoleh pelayanan hak-hak sipilnya sesuai dengan prinsip kesamaan kedudukan di depan hukum.

Demikianlah pengaturan tentang kebebasan beragama dan kerukunan umat beragama itu ternyata sudah amat solid di negeri ini, dimulai dengan penyantumannya dalam UUD 1945, kemudian disusul dengan penerbitan berbagai UU baru, ratifikasi kovenan internasional, bahkan dengan melakukan amandeman terhadap UUD 1945. Persoalannya sekarang mungkin terletak pada tiga hal: pertama mengenai sosialisasi peraturan perundangan itu kepada segenap lapisan masyarakat, tidak terkecuali jajaran pemerintahan; dan kedua mengenai bagaimana penjabaran peraturan perundangan itu dalam kebijakan pemerintah, termasuk problema implementasinya, dan ketiga bagaimana dukungan sistem social Indonesia dan partisipasi masyarakat di dalam pelaksanaan pemeliharaan kerukunan umat beragama itu.

Implementasi kebijakan pemerintah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama

Ada dua kebijakan dasar pemerintah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama, yaitu pemberdayaan umat beragama dan pemberian rambu-rambu bagi upaya pemeliharaan kerukunan umat beragama. Salah satu kebijakan strategis yang telah diambil pemerintah dalam memberikan rambu-rambu itu guna menjamin kebebasan beragama dan pemeliharaan kerukunan umat beragama ialah penerbitan Peraturan Bersama Menetri (PBM) Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat. Sesuai judulnya, peraturan bersama atau biasa disebut PBM ini mengatur tiga hal, yaitu: pertama, apa tugas-tugas kepala daerah/wakil kepala daerah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama di daerahnya, termasuk bagaimana kaitan tugas-tugas itu dengan tugas kepala daerah sebagaimana diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah; kedua, amanat kepada pemerintah daerah untuk mendorong masyarakatnya agar segera membentuk Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) di setiap propinsi dan kabupaten/kota dan menfasilitasi FKUB itu agar dapat menjadi mitra pemerintah dan dapat menjalankan fungsinya sebagai katalisator aspirasi masyarakat; dan ketiga, memberikan rambu-rambu kepada pemerintah daerah dalam proses pemberian izin mendirikan bangunan yang akan digunakan sebagai rumah ibadat. Hal ketiga ini dipandang perlu diatur, karena kehadiran suatu rumah ibadat di tengah-tengah masyarakat, selain menjadi simbul keberadaan suatu umat atau masyarakat pengguna rumah ibadat itu, juga berdampak terhadap masyarakat sekitarnya dalam interaksi antar umat beragama.

Tidak perlu diragukan lagi bahwa penerbitan Peraturan Bersama Mentri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 ini merupakan salah satu puncak hasil kearifan pemerintah dan masyarakat Indonesia. Peraturan Bersama Menteri (PBM) ini dirumuskan secara bersama dengan semua Majlis Agama tingkat Pusat (MUI, PGI, KWI, Parisada Hindu Darma, dan Walubi) melalui 11 kali seri pertemuan dalam waktu enam bulan sejak Oktober 2005 sampai dengan diterbitkannya PBM itu yaitu 21 Maret 2006. Meskipun PBM itu kemudian ditandatangani oleh Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri, tetapi pada hakekatnya PBM itu adalah hasil kesepakatan Majlis-Majlis Agama tingkat Pusat yang kemudian disyahkan oleh kedua menteri itu. Dari draft awal PBM yang disiapkan pemerintah pada Oktober 2005, sebesar sembilan puluh bahkan sembilan puluh lima persen dari draft itu telah diubah oleh majlis-majlis agama dalam serial 11 kali pertemuan tersebut. Dari segi isinya, PBM itu juga lebih komprehensif, lebih rinci, lebih jelas, lebih terukur, dan lebih mendorong pemberdayaan dan partisipasi masyarakat.

Pertanyaannya sekarang ialah bagaimana implemntasi PBM itu? Secara umum dapat dikatakan bahwa PBM itu telah dilaksanakan. FKUB yang diamanatkan oleh PBM telah dibentuk di setiap propinsi di seluruh Indonesia. FKUB juga telah dibentuk di kabupaten/kota seluruh Indonesia, sudah lebih dari 400 FKUB jumlahnya. FKUB-FKUB itu telah menjadi tempat bertemunya para pemuka agama di daerah. FKUB-FKUB itu juga telah bergerak menyelenggarakan pertemuan dan dialog-dialog antar umat beragama, bahkan membahas dan meredam berbagai potensi konflik yang ada di daerah itu. Sungguh kehadiran FKUB telah memberikan sumbangan penting kepada pemerintah daerah dan masyarakat dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama.

Meskipun demikian masih ada sejumlah hal yang masih harus kita tata ke depan. Isi PBM itu masih belum tersosialisasikan secara baik dan merata kepada masyarakat, termasuk juga kepada jajaran pemerintahan daerah sampai tingkat yang terbawah. Siklus pergantian kepemimpinan pemerintah daerah yang dinamis melalui Pemilukada yang telah teratur setiap lima tahun, membuat keperluan sosialisasi PBM secara terus menerus menjadi semakin penting lagi. Sementara pembicaraan isi PBM sudah dilakukan mungkin berpuluh kali oleh fungsionaris FKUB setempat, boleh jadi hal itu baru menjadi perhatian pertama bagi para kepala daerah/wakil kepala daerah yang baru saja memenangkan Pemilukada. Inilah mungkin salah satu tugas pemeliharaan kerukunan umat beragama yang tiada henti itu.

Masalah lain yang mungkin muncul ialah semacam kegamangan kepala daerah/wakil kepala daerah mengenai status hukum PBM ini. Kedudukan PBM sebagai peraturan Menteri membuat banyak orang mempertanyakan apakah PBM ini harus mengikat para kepala daerah/wakil kepala daerah. Kepala daerah/wakil kepala daerah memang terikat dengan keputusan Presiden, tetapi bagaimana dengan peraturan mentri atau peraturan bersama mentri? Mungkin kepala daerah/wakil kepala daerah merasa lebih terikat dengan Peraturan Daerah daripada peraturan menteri. Dalam kaitan ini Menteri Dalam Negeri Moh. Maruf dalam kata sambutannya dalam Acara Sosialiasi I PBM pada tanggal 17 April 2006 di hadapan para wakil gubernur seluruh Indonesia menjelaskan bahwa PBM ini dapat dilihat dalam kerangka UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan dalam kerangka UU Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dalam kerangka UU Nomor 32 Tahun 2004, PBM ini dikatakan sebagai salah satu bentuk penjabaran dari  Pasal 22 huruf a antara lain tentang kewajiban daerah dalam menjaga kesatuan, persatuan, dan kerukunan nasional dan Pasal 27 ayat (1) huruf c tentang kewajiban kepala daerah dan wakil kepala daerah dalam pemeliharaan ketentraman dan ketertiban masyarakat, selain Pasal 26 ayat (1) huruf b tentang tugas wakil kepala daerah untuk membantu kepala daerah dalam mengordinasikan instansi vertical di daerah. Dalam kerangka UU Nomor 10 Tahun 2004 dikatakan oleh Menteri Dalam Negeri Moh. Maruf bahw PBM ini terkait dengan Pasal 6 ayat (3) dan Pasal 25. Jika penjelsan Menteri Dalam Negeri Moh. Maruf ini dipandang masih belum memadai maka salah satu jalan keluarnya ialah pengadopsian seluruh atau sebagian isi PBM itu menjadi peraturan daerah atau peraturan gubernur/bupati/walikota sebagaimana telah dilakukan oleh sebagian daerah. Dengan demikian maka pelaksanaan PBM ini menjadi bagian integral dari system pemerintahan dan pembangunan daerah. Dengan pengadopsian PBM menjadi peraturan daerah itu maka ketiadaan sanksi dalam PBM yang menjadi factor lemahnya suatu peraturan atau hukum, dapat dilengkapi oleh peraturan daerah itu.

Masalah lain  lagi yang muncul dalam pelaksanaan PBM ini ialah tindakan sebagian masyarakat yang terkadang terkesan mengambil langkah sendiri dalam menegakkan pemberlakuan PBM ini. Sikap seperti ini tentu saja tidak selayaknya dilakukan, karena pada satu sisi bersifat mengambil alih tugas aparatur dan pada sisi lain bersifat pemaksaan pendapat atau penafsiran suatu kelompok masyarakat mengenai PBM itu kepada kelompok masyarakat lainnya. Jalan keluarnya adalah peningkatan sosialisasi PBM kepada masyarakat dan peningkatan kepekaan apparatur pemerintah untuk merespon secara cepat setiap laporan dan masukan dari masyarakat.

Partisipasi masyarakat dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama

Bagian penting lain yang menentukan tingkat kerukunan umat beragama di Indonesia ialah system social Indonesia dan partisipasi masyaraktnya, khususnya para tokoh dan umat beragama sendiri. Kita mengetahui bahwa mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam (88%), selebihnya adalah Kristen Protestan (6%), Katolik (3%), Hindu (2%), Budha, Konghucu dan lainnya (1%). Fakta inilah yang kemudian mendorong sebagian orang menyatakan bahwa kerukunan beragama di Indonesia itu tergantung kepada kualitas hubungan antara pemeluk agama mayoritas (Islam) dan minoritas (lainnya). Pandangan seperti itu tidak salah seluruhnya, karena memang demikianlah fakta demografis itu secara nasional.  Tetapi pandangan demikian itu terlalu menyederhanakan persoalan, minimal karena dua hal. Pertama, kerukunan umat beragama itu sesungguhnya terjadi di daerah, karena tidak ada sejengkal wilayahpun di negeri ini yang bukan merupakan bagian dari suatu daerah. Kedua, data demografis yang meletakan umat Islam sebagai mayoritas itu sesungguhnya hanya terjadi pada tingkat nasional dan sejumlah daerah, sedangkan pada sejumlah daerah lainnya gambarannya dapat jauh berbeda. Bahkan ada propinsi atau kabupaten/kota yang jumlah penduduk muslimnya hanya minoritas (10 – 15 persen), seperti di Bali, NTT, dan Papua. Hal ini terjadi karena adanya kantong-kantong konsentrasi penduduk pemeluk agama tertentu di suatu daerah. Penyebaran penduduk pemeluk agama yang tidak merata ini menimbulkan suatu mekanisme keseimbangan yang mendorong pemerintah pusat dan daerah untuk selalu mempertimbangan keragaman ini dalam setiap kebijakannya, baik kebijakan tentang kehidupan beragama maupun kebijakan public pada umumnya. Inilah salah satu ciri system social Indonesia yang cenderung mendorong kerukunan umat beragama.

Faktor lain yang menguntungkan bagi upaya pemeliharaan kerukunan umat beragama di Indonesia ialah kepercayaan dan pengetahuan bahwa agama-agama yang sekarang berkembang di Indonesia ini, semuanya masuk ke Indonesia dengan jalan damai melalui migrasi penduduk, perdagangan, tarekat-tarekat sufi, dan kegiatan dakwah atau missionary. Tidak pernah ada perang agama di Indonesia. Kenyataan sejarah ini memperkuat pendapat bahwa hakekat ajaran agama-agama yang berkembang di Indonesia itu memang menghormati sesama pemeluk agama dan mendukung kerukunan antar umat beragama. Oleh sebab itu, jika terjadi sesuatu yang menyimpang dari prinsip umum ini maka semua pihak akan segera duduk bersama mencari solusinya. Semua pihak sepakat bahwa sekecil apapun konflik bernuansa agama yang terjadi, harus segera dilokalisir, diredam, dan dipadamkan untuk kemudian dibangun diatasnya jaringan persahabatan dan kerjasama.

Faktor lain lagi yang menjadi ciri system social Indonesia ialah adanya majlis-majlis agama pada tingkat Pusat, bahkan sebagiannya juga sampai tingkat daerah. Majlis-majlis ini merupakan mitra penting pemerintah, selain menjadi wahana penghubung diantara sesama majlis agama sendiri. Diantara masalahnya terkadang adalah karena sebagian majlis itu sendiri tidak dapat mengklaim mewakili seluruh lapisan umat beragama yang dipimpinnya, karena banyaknya variasi umat di dalamnya. Kita mengetahui didalam umat Islam yang diwakili MUI terdapat lebih dari 93 ormas Islam tingkat Pusat. Demikian juga di kalangan Kristen Protestan yang diwakili PGI terdapat 324 denominasi, sementara hanya sekitar 83 denominasi yang bergabung dengan PGI. Demkian juga dengan umat Hindu yang diwakili PHDI, umat Budha yang diwakili Walubi, dan umat Konghucu yang diwakili Matakin, sedikit banyak memiliki varian-varian juga di dalamnya. Sesungguhnya ini adalah masalah internal umat beragama, tetapi dapat berdampak kepada hubungan antar umat beragama karena jika terjadi hubungan buruk antar umat beragama di suatu tempat maka sesungguhnya seringkali yang terjadi ialah hubungan buruk antara keompok minoritas dalam suatu umat beragama dengan kelompok minoritas lain dalam umat beragama lainnya, katakanlah antara minoritas ektrim yang satu dan minorities ektrim lainnya. Karena itu majlis-majlis agama perlu terus berupaya untuk merangkul seluruh elemen umat yang ada di dalamnya dengan arif dan bijaksana. Wadah Musyawarah Antar Umat Beragama yang terdapat di tingkat Pusat juga perlu direvitalisasi dengan dukungan seperlunya dari pemerintah.

Faktor lain lagi yang turut mempengaruhi pemeliharaan tentang kerukunan umat beragama di Indonesia ialah kehadiran lembaga-lembaga social masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang penelitian, pengkajian dan advokasi tentang kerukunan umat beragama, seperti Setara Institute, Wahid Institute, Interfidei, dal lain-lain. Hasil kajian lembaga-lembaga ini amat penting untuk menyadarkan masyarakat dan pemerintah mengenai pentingnya upaya secara terus menerus untuk memelihara kerukunan umat beragama. Tentu tidak boleh dilupakan upaya dialog dan kerjasama antar agama yang telah dirintis oleh para pemuka agama, baik sebagai individu maupun sebagai pemimpin ormas keagamaan atau pimpinan lembaga pendidikan, yang sebagiannya telah membawa nama harum Indonesia di dunia internasional, khususnya dalam hal kerukunan umat beragama.

Peran strategis FKUB

Pertama-tama peran strategis FKUB dalam pelaksanaan PBM khususnya dan kerukunan umat beragama pada umumnya terlihat dalam tugas FKUB sebagaimana diatur dalam PBM Pasal 9 ayat (1) dan (2), yaitu sebagai berikut:

  1. Melakukan dialog dengan tokoh agama dan masyarakt. Tugas ini dibebankan baik kepada FKUB propinsi maupun kabupaten/kota. Dengan dukungan pemerintah daerah, tugas ini pada umumnya telah dilaksanakan dengan baik oleh FKUB, terutama dalam bentuk dialog-dialog resmi dan pertemuan-pertemuan resmi. Sesungguhnya dialog itu tidak terbatas dalam pertemuan resmi, sebagiannya dapat terjadi dalam kunjungan-kunjungan FKUB ke pusat-pusat keagamaan setempat baik rumah ibadat maupun lembaga pendidikan serta lembaga-lembaga social (panti asuhan) yang dikelola oleh lembaga-lembaga agama. Bahkan sebagian dialog tentu mengambil bentuk dialog perseorangan antar sesama anggota FKUB itu sendiri dalam berbagai kesempatan interaksi antar sesama mereka maupun dengan masyarakat. Persoalannya di sini ialah apakah kita sudah mendata semua dialog yang telah kita lakukan itu dan seberapa banyak kegiatan dialog itu dianggap memadai? Memang tidak ada ukurannya. Mungkin salah satu ukurannya ialah sepanjang dialog-dialog itu sanggup menjaga keadaan sehingga tidak terjadi gangguan kerukunan umat beragama di daerah itu. Dari segi isinya, tentu perlu ada perencanaan yang jelas mengenai dialog-dialog itu agar tidak terasa berputar pada tema yang sama, melainkan harus berkembang ke arah kerjasama.

  2. Menampung aspirasi ormas keagamaan dan aspirasi masyarakat. Tugas ini juga diberikan kepada FKUB propindi dan kabupaten/kota. Tugas ini dapat diduga telah dilaksanakan juga, tetapi lebih sulit menginventarisir dan mengevaluasinya. Sekurangnya, dikarenakan keanggotaan FKUB adalah mewakili majlis-majlis agama maka setidaknya aspirasi majlis-majlis agama sebagai ormas telah ditampung oleh FKUB.

  3. Menyalurkan aspirasi ormas keagamaan dan masyarakat dalam bentuk rekomendasi sebagai bahan kebijakan kepala daerah. Tugas ini pun dibebankan kepada FKUB propinsi dan FKUB kabupaten/kota. Evaluasi terhadap tugas ini pun tidak mudah, tetapi sekurang-kurangnya dapat dilakukan dengan cara melihat seberapa jauh forum-forum Musyawarah Daerah dan Rapat Kordinasi yang diselenggarakan FKUB selama ini telah merumuskan rekomendasi yang kemudian disampaikan secara resmi kepada kepala daerah.

  4. Melakukan sosialisasi peraturan-perundangan dan kebijakan di bidang keagamaan yang berkaitan dengan kerukunan umat beragama dan pemberdayaan masyarakat. Tugas ini pun dibebankan baik kepada FKUB propinsi maupun FKUB kabupaten/kota. Tugas ini jelas telah dilaksanakan oleh FKUB-FKUB propinsi dan kabupaten/kota. Evaluasinya yang perlu dilakukan mungkin menyangkut pentahapan dan kontinuitas pelaksanaannya, pemetaan sasarannya, dan seberapa jaug keberhasilannya, selain soal siapa pelaku sosialisasinya, apa saja materi sosialisasinya dan bagaimana metode sosialisasi yang digunakan.

  5. Memberikan rekomendasi tertulis atas permohonan pendirian rumah ibadat. Tugas ini hanya dibebankan kepafa FKUB Kabupaten/Kota. Tugas ini pun telah dilaksanakan oleh FKUB Kabopaten/Kota. Evaluasi yang perlu dilakukan mungkin menyangkut inventarisasi jumlah permohonan rekomendasi yang diajukan setiap tahunnya dan jumlah yang telah diberikan rekomendasinya, apakah rekomendasi itu telah dibuat dengan cara yang benar sesuai PBM (harus dalam bentuk tertulis, hasil keputusan rapat FKUB, dan keputusan itu tidak diambil dengan cara voting), apakah sebelum pembahasan rekomendasi dalam rapat FKUB telah dilakukan kunjungan lapangan terlebih dahulu oleh tim FKUB ke lokasi yang diusulkan pendirian rumah ibadatnya itu, apakah segala persyaratan formal dan administrative yang telah diatur dalam PBM dipenuhi, apakah aspirasi masyarakat sekitar ditelusuri, dan apakah antar sesama lembaga pemberi rekomendasi (FKUB dan Kantor Kementrian Agama Kbupaten/Kota) telah menjalankan tugasnya masing-masing secara independen (tidak main mata) sehingga pemerintah memperoleh masukan yang benar.

Selain lima butir tugas strategis yang telah termuat dalam PBM di atas, FKUB propinsi dan kabupaten/kota juga memiliki sedikitnya tiga tugas strategis lain bagi pemeliharaan kerukunan umat beragama, yaitu:

  1. Tugas deteksi dini dan pemetaan gangguan kerukunan umat beragama. FKUB diharapkan dapat mengidentifikasi potensi gangguan kerukunan umat beragama secara dini dengan memetakan gangguan kerukunan yang telah terjadi di daerah dan dengan mengidentifikasi kemungkinan pengaruh gangguan kerukunan di daerah lain terhadap daerahnya, dan mengidentifikasi pengaruh factor-faktor non-keagamaan (politik, ekonomi, kesukuan, kedaerahan, dll.) yang dapat mempengaruhi kerukunan antar umat beragama.

  2. Tugas meredam dan mencari solusi terhadap gangguan kerukunan umat beragama. Apabila terjadi suatu gangguan kerukunan umat beragama, sekecil apapun, maka FKUB diharapkan dapat membantu pemerintah daerah guna melokalisir gangguan itu (agar tidak menyebar dan meluas), meredamnya (agar intensitasnya menurun) dan mencarikan solusi jangka pendek dan jangka panjangnya melalui proses negosiasi, mediasi, arbitrasi, maupun  kalau perlu ajudikasi.

  3. Tugas mengidentifikasi dan merevitalisasi kearifan local yang dapat mendukung kerukunan antar umat beragama. Menurut berbagai kajian dan penelitian Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, setiap daerah ternyata telah memiliki sejumlah kearifan local, baik yang telah lama hidup maupun yang baru disepakati bersama, yang secara langsung atau tidak langsung mendukung kerukunan umat beragama. Sebagian kearifan local itu masing berjalan dan berfungsi dengan baik, tetapi sebagian lainnya tidak berfungsi lagi karena tidak sanggup menopang beban berat akibat laju kemajemukan penduduk dan kemajuan teknologi komunikasi dan informasi, sehingga perlu direvitalisasi secara terencana.

Demikianlah beberapa catatan tentang tugas dan sekaligus peran strategis FKUB dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama dan kerukunan serta persatuan nasional dengan memperhatikan tiga lingkungan strategisnya yaitu kerangka landasan hukum yang ada, kebjikan pemeritah yang telah diberlakukan, dan dukungan system social dan partisipasi masyarakat.

Catatan penutup

Dari uraian di atas nampak bahwa terdapat sedikitnya tiga lingkungan strategis yang mengkondisikan peran FKUB. Meskipun kita belum memiliki suatu UU tersendiri mengenai kerukunan umat beragama, sesungguhnya kita telah memiliki seperangkat peraturan-perundangan yang menjamin kebebasan beragama dan penghargaam terhadap sesama pemeluk agama dalam rangka kerukunan umat beragama dan persatuan nasional. Sebagian peraturan perundangan itu telah dijabarkan oleh pemerintah ke dalam bentuk kebijakan yang pelaksanaannya memerlukan dukungan dan partisipasi masyarakat karena pemeliharaan kerukunan umat beragama adalah tanggung jawab bersama masyarakat dan pemerintah. Di sinilah letak peran strategis FKUB dalam mendukung upaya pemeliharaan kerukunan umat beragama itu secara terus menerus, bukan saja melalui tugas-tugas yang secara formal telah tertuang dalam PBM tetapi juga melalui tugas-tugas lainnya yang tersirat yaitu deteksi dini dan pemetaaan gangguan kerukunan, meredam dan mencari solusi jangka pendek dan jangka panjang gangguan kerukunan, dan indentifikasi serta revitalisasi kearifan local.

Sesungguhnya menurut ilmu-ilmu social, tidak ada yang terjadi secara tiba-tiba di dunia ini, semuanya mesti memiliki rangkaian sebab dan akibatnya. Terkadang sebab-sebab itu pun banyak jumlahnya dan prosesnya terjadi dalam waktu yang panjang pula. Demikian pula dengan kerukunan umat beragama. Gangguan terhadap kerukunan umat beragama yang terjadi pada hari ini umpamanya, sesungguhnya mempunyai rangkaian panjang dengan sebab-sebab atau kejadian-kejadian sebelumnya. Demikian pula sebaliknya, kerukunan umat beragama yang kita capai hari ini sesungguhnya juga merupakan hasil dari upaya kita bersama secara terus menerus pada masa yang lalu. Oleh karena itu sekecil apapun upaya kita hari ini harus terus kita lakukan, karena akan merupakan investasi untuk kerukunan umat beragama pada masa yang akan datang. Memang ketika kerukunan umat beragama itu demikian baiknya dan semua orang menikmatinya, sebagian orang mengira hal itu terjadi dengan sendirinya dan lupa bahwa ada peran kelompok tertentu di dalamnya. Mungkin ibarat seseorang yang meminum kopi, ketika kopi itu dirasakan manis dan enak, ia tidak menyebut jasa gula di dalamnya. Namun ketika kopi itu terasa pahit, barulah ia bertanya di mana gulanya. Seperti itulah peran sulit tetapi strategis FKUB. Ketika kondisi kerukunan umat beragama itu baik mungkin tidak disebut, tetapi ketika kerukunan umat beragama terganggu pastilah FKUB yang dicari atau bahkan disalahkan. Tugas sulit tetapi strategis seperti itu memang sepatutnya diperankan oleh para pemuka agama yang sebagiannya diwadahi dalam Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). FKUB memang harus terus aktif bergerak, tanpa harus menunggu datangnya gangguan kerukunan umat beragama. ***

 

 

[1][1] Makalah disajikan pada acara Fasilitasi Peningkatan Kapasitas dan Kelembagaan FKUB Propinsi dan Kabupaten Kota, diselenggarakan oleh Direktorat Jendral Kesatuan Bangsa dan Politik, Kementerian Dalam Negeri, pada tanggal 3 dan 4 September 2013 di Hotel Jayakarta, Jakarta. Makalah ini dikembangkan dari keynote speech yang disampaikan penulis pada acara Rapat Kordinasi FKUB Propinsi Kalimantan Selatan pada tanggal 31 Agustus 2013 di Banjarmasin.

[2][2] Gurubesar Sosiologi Hukum Islam pada Fakultas Syariah dan Hukum (FSH), Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dan mantan Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI, 2002-2010.

Editor:
Apakah informasi di atas cukup membantu?

TERKINI

OPINI