Litbang Agama Makassar di Awal Periode (In Memoriam Abd. Shadiq Kawu)
Andai Suatu Saat Bisa Bersama Lagi
Akan Kupeluk Sukmamu dengan Kasih
Akan Kucium Aroma Wajahmu
Yang mulai melambai ke hari esok
Yang membayangkan optimisme dan cinta suci
Ke gerbang cinta kasih yang sejati
(Abdul Shadiq Kawu)
Lima tahun pertama. Sejak litbang dibuka di Makassar, dari tahun 1979 - 1983. Ada dua kepala balai yang tampil paradoks dan dengan karakter yang bertolak belakang. Kalau yang satu di barat maka yang lainnya di timur. AH (Ahsan Husain), kepala balai pertama, dan TS (Tanetting Syamsuddin) pada periode kedua.
Tipologi AH bersahaja dan sederhana. Wajahnya teduh, tak pernah meninggalkan kopiah hitam di kepalanya. Sehari-hari ke kantor mengenakan safari dengan kerah lebar di leher bagian depan. Warna bajunya tak menonjol, kalau bukan warna krem, atau putih susu pasti warna biru muda. Dan yang paling spesifik, ke mana pun dia pergi, pasti dengan sepeda motor tua yang modelnya mirip vespa atau matic merek scoopy yang sekarang sedang booming. Dan - inilah satu satunya kepala Balai Litbang yang tidak pernah menggunakan mobil dinas sampai lengser dua tahun kemudian. Orangnya perfeksionis. Dia memperhatikan kesejahteraan stafnya seperti seorang ayah yang mencintai anak anaknya.
Suatu ketika. Dia datang ke rumah saya bersama Arifuddin Ismail yang duduk di boncengan scoopy tempo dulunya. Sambil minum teh matanya iseng menatap ruangan tamu. Perabotan dengan harga murah disapanya dengan wajah terharu. Ketika sudah berada di atas motornya, dia memanggil saya dan berbisik perlahan, "Kenapa belum juga ada perkembangan?”.
Ketika mengucapkan itu, saya melihat ketulusan. Air mata menetes setengah pesimis. Bagaimana mungkin seorang PNS golongan tiga dengan tunjangan fungsional 27.000 rupiah per-bulan bisa memenuhi harapan-harapan besar beliau terhadap kondisi ekonomi pas-pasan dan masa depan keluarga saya?. Tapi, gagalkah dia memimpin litbang hingga lengser sebelum masa jabatan lima tahunan berakhir?. Tentu saja tidak, karena lewat dialah sejarah awal litbang Makassar dibenahi. Betapa pun litbang kelak berusia sangat panjang namanya akan tetap abadi dalam sejarah institusi ini.
Tidak elok, kalau saya tidak menuliskan sosok pemimpin Litbang selanjutnya pak TS (Tanetting Syamsuddin) sebagai kepala balai kedua. Kalau pak AH dikenal tenang, lembut, dan sangat familier dengan stafnya. TS berada pada posisi terbalik. Beliau tegas, tegar dan cenderung tanpa kompromi. Kalau sedang marah, giginya gemeretak dan tulang rahangnya bergetar pertanda emosinya sedang memuncak. Tampil necis, dengan safari yang bervariasi. Di hari Jumat, beliau sering menggunakan kemeja lengan pendek dengan kerah tipis seperti baju koko sekarang ini.
Salah satu warisannya yang paling menonjol, adalah keberhasilannya mendapatkan anggaran pembangunan kantor permanen di Jl. AP Pettarani (alamat permanen BLAM saat ini). Meskipun arsitekturnya belum semegah sekarang, tapi kami karyawan balai sudah merasa sangat puas. Karena ini berarti kami tidak perlu lagi direpotkan pengangkatan meja kursi dan peralatan kantor lainya ke atas mobil truk untuk pindah ke rumah kontrakan baru. Nah- kalau AH menggunakan scoopy nya, maka TS tampil dengan sedan pribadi berwarna merah darah. Dia untuk jajaran Depag di Sulsel menjadi salah satu ikon kelas menengah kota, yang sedang menuju ke puncak struktur piramida.
Berbeda dengan AH yang ditinggalkan jabatannya. TS justru dia yang meninggalkan jabatannya. Dan- andai ajal tidak cepat menjemputnya, hampir pasti dia akan menjadi Kakanwil Depag Sulsel yang baru. Dan bila itu terjadi, saya tidak akan meniti karier di litbang hingga saat ini. Saya akan pensiun lebih awal maksimal 60 tahun. Karena dia pasti mengajak saya bersamanya, menabuh gendang mengikuti irama yang ingin dia mainkan. Wassalam.
(Abdulshadiq Kawu, Palanro Barru, 7 September 2016).