Madrasah Lintas Agama

13 Apr 2023
Madrasah Lintas Agama
Mochammad Toha, Kepala Balai Diklat Keagamaan Semarang.

Jakarta (Balitbang Diklat)---"Madrasah bisa menerima murid-murid non Islam.” Begitu salah satu pendapat penting yang disampaikan Dr. KH. Yahya Cholil Staquf Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama ketika hadir diundang pada acara Forum Konsinyering Madrasah Reform yang diselenggarakan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama pada 3 April 2023. Mendengar pendapat ini pasti ada yang kaget, bahkan ada juga yang menilai aneh. Tapi, banyak juga yang berpendapat bahwa ini adalah terobosan luar biasa dan lompatan berpikir yang tidak terbayangkan sebelumnya.

Bagi yang menilai aneh, mungkin dalam benak pikirannya masih terikat argumen bahwa madrasah adalah lembaga pendidikan yang berbasis keagamaan Islam, yang diajarkan selain ilmu-ilmu umum juga pendalaman ilmu-ilmu keislaman, sehingga menurut nalar lurusnya peserta didiknya harus beragama Islam karena pada proses belajar mengajar tidak lepas dari tata cara ritual dan bacaan serta hafalan yang menjadi ciri keislaman.

Sedangkan yang berpendapat logis, pasti dasar pembenarannya bahwa pendidikan merupakan hak yang harus diperoleh setiap anak bangsa yang berada di Indonesia dan pendidikan adalah kegiatan netral terbebas dari pilihan agama. Apalagi bila dihubungkan dengan pendidikan merdeka, pasti makin mendapat pembenarannya karena kata merdeka bukan hanya terpatri pada kurikulum dengan implementasinya saja, tapi pendidikan itu juga benar-benar bisa diikuti siapa saja asal sesuai batas usianya.

Namun, apa yang disampaikan pimpinan tanfidziah kelahiran Rembang ini sesungguhnya menunjukkan pada kita adanya fakta yang benar-benar telah ada di lapangan dan bukan ide yang hanya mencari sensasi belaka. Bahkan kita harus berterimakasih karena atas ketajamannya dapat menyelia dengan detail dan seksama tentang kebutuhan yang lepas dari penginderaan kita.

Kenyataan yang ada di salah satu kabupaten di Pulau Lombok, lokasi tepatnya berada di desa terpencil di lereng gunung, terdapat madrasah swasta yang beberapa peserta didiknya beragama Buddha dan sesuai kisah dari Kepala Sub agian Tata Usaha Kantor Kementerian Agama itu sudah terjadi sejak lama dan tidak pernah terjadi masalah atau baik-baik saja sebagaimana yang diceriterakan pada saya saat dulu dinas di sana.

Kenapa demikian? Tentu saja, karena madrasah itu adalah lembaga pendidikan satu-satunya yang didirikan masyarakat Islam di daerah itu, sementara lembaga pendidikan umum (non madrasah) yang dinaungi Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset Teknologi adanya sangat jauh sehingga tidak mungkin bisa dijangkau dengan mudah dan cepat oleh para peserta didik di usia belum dewasa.

Adanya kohesifitas sosial masyarakat di desa dimana madrasah itu berada telah terbangun cukup baik sehingga agama bukan menjadi unsur pemisah hubungan antar warga desa. Ditambah lagi ketika pengurus dan pimpinan melakukan penataan fisik dan lingkungan madrasah justru para wali murid yang beragama Buddha kelihatan sangat aktif melibatkan dirinya untuk gotong-royong secara sukarena kerja bakti bersama warga muslim lainnya, sehingga tidak manusiawi rasanya ketika harus menolak kehadiran peserta didik walaupun berbeda agama.

Walaupun pertanyaan yang sering muncul dari beberapa person ketika melihat madrasah ini untuk pertama kali yaitu "kenapa beberapa peserta didiknya ada yang tidak menggunakan kerudung, berbeda dengan lainnya.” Munculnya pertanyaan ini cukup beralasan karena tidak tahu bahwa beberapa pembelajar di madrasah itu beragama Buddha.

Hal itu bukan satu-satunya kisah yang ada di luar Jawa, khususnya di wilayah Indonesia Timur, karena keterbatasan lembaga pendidikan yang tersedia sehingga peserta didik yang mengikuti pembelajaran di lembaga pendidikan milik yayasan agama yang berbeda dengan yang dianutnya itu sering terjadi. Maka, tidak heran bila ada peserta didik hafal dengan surat Al-Ikhlas padahal bukan muslim. Sebaliknya, ada juga peserta didik beragama Islam tapi hafal doa Bapa Kami.

Di Nusa Tenggara Timur dan mungkin juga di Papua, tidak sedikit mahasiswa yang paham dengan detail tentang kemuhammadiyahan, bahkan hafal juga mars sang surya padahal agamanya Nasrani. Di Jawa juga masih banyak dijumpai peserta didik yang beragama Islam cukup paham tentang agama-agama lain yang tidak dianutnya. Hal ini karena seringnya mendengar dan bergaul saat menempuh pendidikan di lembaga milik ordo dan diasuh para biarawan dan biarawati.

Singkatnya, mengapa mereka harus berada di lembaga pendidikan yang berbeda dengan agama yang dianutnya. Jawabnya antara lain, negara belum hadir untuk memenuhi kebutuhan lembaga pendidikan secara merata di daerah-daerah terpencil marjinal dan sulit dijangkau. Peningkatan kesadaran masyarakat untuk mencarikan lembaga pendidikan berkualitas bagi generasi penerus bangsa, namun negara belum bisa menyediakan sesuai kebutuhan mereka. Di atas segalanya, apa pun yang terjadi bravo untuk Kementerian Agama, lembaga pendidikan di bawah naungannya telah memberi manfaat bagi pencerdasan anak bangsa, apa pun agamanya.   

Penulis: Mochammad Toha
Editor: Sri Hendriani/Abas
Apakah informasi di atas cukup membantu?

TERKINI

OPINI