Maftuh Basyuni: Kelemahan PBM Tak Mengatur Sanksi

21 Mar 2013
Maftuh Basyuni: Kelemahan PBM Tak Mengatur Sanksi

Jakarta (Pinmas)— Mantan Menteri Agama Muhammad Maftuh Basyuni mengakui bahwa Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri yang kemudian dikenal PBM Nomor 9 dan 8 tahun 2006, adalah tidak adanya ancaman sanksi bagi pelanggarnya.

Pernyataan itu disampaikan pada seminar PBM Nomor 9 dan 8 tahun 2006, Implementasi dan Problematikanya Kini di Hotel Merlynn Park Jakarta, Kamis (21/3).

Hadir pada seminar yang dibuka Kepala Badan Litbang dan Diklat Prof. Machasin Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, mantan Kepala Badan Litbang, Prof. Dr. Lodewijk Gultom, Drs. H. Yusuf Asry MM dan moderator Prof. Dr. Phil. H. M Nur Kholis Setiawan (Puslitbang Kehidupan Keagamaan). Hadir pula psejumlah pengurus majelis agama dari Kristen, Protesten, Hindu, Buddha dan Islam.

Pada kesempatan itu Maftuh mengatakan, kehadiran PBM Menag dan Mendagri tahun 2006 telah menghasilkan keadaan hubungan antarumat beragama dan kerukunan umat beragama yang secara nasional dan secara keseluruhan jauh lebih baik dari keadaan sebelumnya. Tapi diakui ada beberapa masalah harus dihadapi dengan cermat. Beberapa daerah tertentu cenderung sensitif, terkait dengan rumah ibadah, sebagian masyarakat belum memahami secara utuh isi PBM. Masih ada yang mudah terprovokasi dan kurang menjiwai apa yang dikandung di PBM.

Pada kesempatan itu para peserta, dalam sesi tanya jawab, menganjurkan agar PBM segera ditingkatkan statusnya menjadi undang-undang. Dengan begitu kedudukannya semakin kuat. Hingga kini ada yang memandang PBM seperti “macan ompong” meski pendapat tersebut seluruhnya tidak tepat.

Menurut mantan Menteri Agama ini, kehadiran PBM telah melahirkan perubahan sosial dalam tujuh tahun terakhir dengan ditandai berdirinya Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Jumlahnya mencapai 435 FKUB di provinsi kota/kebupaten. Di FKUB dilakukan monitoring bersama masalah yang mengganggu kerukunan umat beragama di daerah dan pencarian solusinya.

PBM , kata Maftuh, merupakan salah satu bentuk instrumen hukum yang mengacu kepada UU No.32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, yang di antara pasal-pasalnya menuntut adanya penjabaran yang menjembatani antara kewajiban pemerinah pusat, daerah dalam era otonomi.

Dalam pemaparannya, Maftuh mengatakan hingga kini masih ada masyarakat yang mempertanyakan, kenapa masalah agama diatur pemerintah, bukankah itu bagian dari kebebasan beragama?

Ia mengatakan, PBM bukanlah aspek doktrin agama yang merupakan kewenangan masing-masing agama, melainkan hal-hal yang terkait dengan lalu lintas para warganegara Indonesia yang memeluk suatu agama ketika bertemu dengan warga negara Indonesia lainnya, yang kebetulan memeluk agama yang sama atau berbeda dan ketika masing-masing mengamalkan ajaran yang dianutnya.

Dengan begitu, katanya, pengaturan itu sama sekali tiak mengurangi kebebasan beragama yang dijamin oleh Pasal 29 UUD 1945. Jadi, dalam kaitan ini, perlu disadari bahwa beribadat dan membangun rumah ibadat adlah dua hal yang berbeda.(ant/ess)

Editor:
Apakah informasi di atas cukup membantu?

TERKINI

OPINI