Masyarakat Perbatasan Perlu Peningkatan Pelayanan Keagamaan
Jakarta (15 September 2014). Perlu adanya perhatian lebih serius dalam peningkatan pelayanan keagamaan. Demikian salah satu rekomendasi hasil penelitian yang diselenggarakan oleh Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat , Kementerian Agama.
Pada tahun 2014, Puslitbang Kehidupan Keagamaan menyelenggarakan penelitian “Pelayanan Keagamaan bagi Masyarakat Perbatasan”. Penelitian yang mengambil lokasi Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Utara; Kabupaten Karimun, Provinsi Kepulauan Riau; Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat; dan Kabupaten Belu, Provinsi Nusa Tenggara Timur, melibatkan para peneliti dari Puslitbang Kehidupan Keagamaan dan Peneliti dari berbagai perguruan tinggi seperti Universitas Indonesia serta Universitas Islam Negeri Jakarta.
Rekomendasi perlunya peningkatan pelayanan keagamaan disampaikan oleh koordinator Tim Peneliti “Pelayanan Keagamaan bagi Masyarakat Perbatasan”, Prof. Dr. Koeswinarno dalam kegiatan Seminar Hasil Penelitian yang diselenggarakan oleh Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Senin, 15 September 2014.Kegiatan yang diselenggarakan di hotel Akmani, Jakarta, diikuti oleh 50 orang peserta. Peserta terdiri dari perwakilan seluruh direktorat di lingkungan Kementerian Agama, para akademisi, serta seluruh Tim Peneliti.
Pada kegiatan ini, hadir sebagai narasumber (1) Prof. Dr. Koeswinarno selaku koordinator Tim Peneliti; (2) Dr, Muharram Marzuki, Kepala Biro Ortala, Setjen Kementerian Agama; dan (3) H. Muhammad Adib Machrus, Kasubdit Pemberdayaan KUA, Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah, Ditjen Bimas Islam.
Dalam paparannya, Koeswinarno menyampaikan bahwa mayarakat perbatasan merupakan komunitas masyarakat yang memiliki karakteristik khas dan berbeda dengan lainnya. Oleh karena itu, menurutnya penelitian ini menghasilkan temuan-temuan yang cukup beragam.
Beberapa temuan lapangan yang dipaparkan diantaranya adalah terjadinya borderless (hilangnya batas-batas kebudayaan dan fisik) masyarakat perbatasan. Bahkan berkaitan dengan hal ini, muncul slogan-slogan di masyarakat yang membuktikan adanya “dualisme” kewarganegaraan masyarakat perbatasan. Ungkapan-ungkapan seperti “Garuda di dadaku, Ringgit di perutku” dan “bodoh sudah lewat, pintar belum sampai” menjadi slogan umum di masyarakat perbatasan.
Selain itu, masalah-masalah keagamaan di daerah perbatasan juga terungkap dalam penelitian ini. Beberapa temuan tersebut diantaranya adalah: pertama, banyaknya angka pernikahan yang tidak tercatat. Hal ini dikarenakan selain minimnya tenaga pencatat nikah di wilayah perbatasan, juga banyaknya kasus pernikahan antar agama yang menyebabkan mereka lebih memilih menikah secara adat yang tidak membutuhkan persyaratan administratif yang dianggap memberatkan.
Kedua, kasus administrasi haji. Di beberapa tempat ditemukan adanya perbedaan nama yang tertera di KTP dengan nama yang tertera di dalam pasport. Masalah ini mengakibatkan adanya nama ganda pada satu orang yang sama.
Ketiga, masalah konflik keagamaan tidak banyak ditemukan pada daerah perbatasan. Masyarakat perbatasan dinilai lebih dapat menerima berbagai perbedaan dengan baik. Meskipun demikian, terdapat beberapa kasus keagamaan yang tidak sempat meluas menjadi kasus besar karena dapat diselesaikan dengan cepat oleh pemuka masyarakat setempat. Kasus tersebut lebih banyak dilatarbelakangi pendirian rumah ibadah.
Keempat, penelitian ini menemukan “ketidakhadiran” pemerintah juga dibuktikan dengan ketiadaan fisik Kantor Urusan Agama (KUA) di beberapa kecamatan. Jikapun tersedia, tetap menyisakan permasalahan, diantaranya masalah kepemilikan lahan tempat berdirinya KUA, serta ketiadaan fasilitas-fasilitas pendukung perkantoran, seperti instalasi listrik dan fasilitas lainnya.
Penelitian ini juga menemukan bahwa kurang optimalnyanya pelayanan keagamaan pada masyarakat perbatasan dikarenakan adanya kekosongan sumberdaya yang bertugas menjadikan pelayanan keagamaan. Bahkan dalam kasus tertentu, terdapat KUA yang vakum lebih dari dua tahun karena pejabatnya mengalami sakit.
Untuk mengatasi permasalahan diatas, penelitian ini merekomendasikan agar adanya redistribusi dan pemetaan kembali pegawai Kementerian Agama di daerah perbatasan. Selain itu, untuk mengatasi minimnya kasus pernikahan yang tidak tercatat, penelitian ini juga merekomendasikan pengaktifan kembali P3N yang sejak tahun 2011 dihapuskan serta perlu dipertimbangkan penyediaan pejabat pencatat nikah di Kantor Konsulat, seperti di daerah Tawau untuk mengantisipasi pernikahan antarnegara yang tidak tercatat.
Penelitian ini juga merekomendasikan percepatan pemanfaatan teknologi informasi bagi pelayanan keagamaan di daerah perbatasan. Percepatan tidak hanya dilakukan dengan penyediaan sarana prasarana yang menunjang, tetapi juga penyiapan sumberdaya manusia yang memiliki kemampuan dalam mengoperasikan sarana prasarana berbasis teknologi informasi agar sarana prasarana dapat digunakan secara optimal.
(AGS)