Membangun Budaya Damai di Ruang Pendidikan
Jakarta (17 Mei 2017). Kepala Badan Litbang dan Diklat Prof. H. Abdurrahman Mas’ud, Ph.D. mengatakan sekolah merupakan tumpuan harapan bagi anak didik. Guru dan dosen sebagai garda depan di sekolah yang bertugas menata nilai-nilai lingkungan dan budaya sekolah, baik melalui pembelajaran di rungan kelas maupun pembelajaran di luar sekolah, memiliki peran besar menuntun perilaku anak lebih menyerap dan mempraktikkan budaya damai dan persahabatan.
Pernyataan tersebut disampaikan pada saat menjadi pembicara 1 st International Conference on Education, Language, and Arts dengan tema “Intercultural Communication through Language, Literature, dan Arts”, yang diselenggarakan Universitas Negeri Jakarta, bertempat di Aula Latief Hadiningrat, Dewi Sartika Building, 2nd Floor, Universitas Negeri Jakarta, (17/5).
Konferensi ini, selain mengundang Kepala Badan Litbang dan Diklat, juga mengundang pembicara lain, yaitu: Prof. Dr. Abdullah Abdurrahman, M.A. (Direktur Studi Bahasa Arab untuk Orang Asing, Universitas Qatar), Aquarini Priyatna, Ph.D. (Kepala Departemen Studi Budaya dan Kesusastraan, UNPAD), Prof. Dr. Khaeruddin Al-Junaidi (Fakultas Ilmu Sosial dan Seni, Universitas Nasional Singapura), dan Mr. Huang Bin (Direktur Pusat Bahasa Mandarin Universitas Al Azhar, Indonesia).
Selanjutnya, Mas’ud mengutarakan lingkungan (iklim) sekolah yang dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti norma-norma dan aturan sekolah, bentuk hubungan antara aktor-aktor seperti siswa, guru, staf dan pemimpin sekolah serta hubungan dengan aktor dan faktor luar, amat mempengaruhi prestasi dan sikap siswa, bahkan terhadap sikap dan motivasi guru dalam pengajaran.
Mas’ud menegaskan guru agama di sekolah dipandang sebagai aktor yang mempunyai prasyarat untuk menjalankan peran di atas. Guru agama mempunyai kesempatan untuk berinteraksi langsung dengan siswa, mempelajari pandangan keagamaan mereka serta mengarahkan ke praktik keagamaan yang konstruktif dan produktif.
Namun, kata Mas’ud, kini perlu juga dibangun dialog di kalangan guru antar-agama. Dialog ini menjadi penting dengan adanya potensi sikap keagamaan intoleran di kalangan siswa dan bahkan guru di sekolah. “Meskipun sikap intoleran itu tidak begitu besar, namun kemungkinannya haruslah diantisipasi, “ujarnya.
“Lewat dialog dimungkinkan pihak-pihak yang terlibat dalam upaya membangun budaya damai bisa saling tukar gagasan dan membangun pemahaman dan kesepakatan bersama lebih luas untuk mewujudkan hubungan yang harmonis dan damai, “ujarnya lagi.
Mas’ud juga berbagi pengalaman saat mengajar sebagai visiting professor di kampus AS, yang mana juga kala itu bertepatan dengan bulan Ramadhan. Beliau dalam satu kesempatan mengingatkan kepada mahasiswa-i AS bahwa sesungguhnya umat Islam tidak kalah memiliki kesempatan yang lebih besar untuk mempraktekkan ajakan Mother Theresa dalam puisinya yang berjudul Love Them Anyway. Pengalaman beliau berinteraksi dengan dunia kampus AS di bulan Ramadhan dapat menjadi bukti bahwa potensi manusia untuk damai semestinya harus diberi ruang dan dilatih secara berkesinambungan. (bas)