Membantah Stigma dengan Pengalaman: Cerita Harmoni dari Kota Ambon

19 Apr 2019
Membantah Stigma dengan Pengalaman: Cerita Harmoni dari Kota Ambon

oleh

Sabara Nuruddin

Efek yang paling nyata dari konflik agama di Maluku antara 1999-2002 adalah segregasi pemukiman yang sangat ketat antara penduduk Muslim dan Kristen. Segregasi ini tentu saja dapat menjadi solusi temporer guna meredam terjadinya kembali konflik. Dalam jangka panjang, segregasi akan menjadi persoalan karena keterpisahan jarak geografis membuat intensitas interaksi menjadi sangat minim. Interaksi hanya terjadi di ruang-ruang publik dalam lokus yang terbatas dan durasi waktu yang minim.

Segregasi pemukiman ini dapat dikatakan sebagai solusi sementara, namun jika ini dibiarkan sama saja membiarkan potensi laten konflik tetap tersemai karena tidak adanya ruang interaksi yang bersifat intim antar kedua penganut agama.

Pola segregasi pemukiman ini yang disebut oleh Arifuddin Ismail  sebagai “prahara yang terselubung”. Segregasi ruang memicu terciptanya ruang segregatif pada ranah persepsi antar masing-masing kelompok agama yang terwujud dalam rasa khawatir dan curiga-mencurigai. Segregasi ruang melahirkan “segregasi imaji” antara masing-masing kelompok agama (Islam dan Kristen).

Stigmatisasi adalah hal yang akhirnya lumrah terjadi diantara keduanya karena adanya jarak sosial yang terbangun mengakibatkan minimnya interaksi, jika pun ada interaksi hanyalah interaksi dalam dunia ekonomi dan kerja, dengan demikian interaksi tidak bersifat intim. Jarak sosial antara kedua komunitas akan membuat soliditas internal pada masing-masing pihak, melanggengkan trauma, dan memunculkan rasa saling curiga yang tak pernah mendapatkan kesempatan untuk terklarifikasi.

Cerita tentang “jangan jatuh di Batumerah” dam ”jangan jatuh di Kudamati” beberapa kali saya dengar. Stigma itu merupakan gambaran betapa jarak sosial melahirkan stigma dan masing-masing pihak kerap bertahan dengan stigma itu. Stigma tersebut hanya dapat diretas dengan membangun relasi yang intim dan dengan pola pemukiman yang bersifat agregatif.

Rumor ”jangan jatuh di Batu Merah” benar-benar menjadi momok bagi orang-orang Kristen, demikian pula sebaliknya, rumor ”jangan jatuh di Kudamati” menjadi momok untuk orang-orang Muslim di Ambon.

Batu Merah adalah kawasan basis Muslim terbesar di kota Ambon, pada saat kerusuhan, Batu Merah merupakan kawasan basis utama dari kelompok Muslim demikian pula Kudamati merupakan basis utama kelompok Kristen. Istilah “jangan jatuh” yang dimaksud adalah ketika seorang mengendarai sepeda motor dan jatuh (baik karena tabrakan, ditabrak, atau lainnya) di Batu Merah, maka dalam rumor tersebut, ia bukannya mendapatkan pertolongan, malah akan semakin “dicelakai” oleh warga sekitar ketika diketahui ia adalah seorang Kristen, demikian pula sebaliknya jika yang terjadi seorang Muslim yang jatuh di Kudamati.

“Saya bersyukur jatuh di Batu Merah”, tutur Frans seorang wartawan di Ambon yang menjadi informan penelitian saya. Frans bercerita tentang pengalamannya mengalami kecelakaan tunggal terjatuh dari motornya pada jalan menanjak dikawasan Batu Merah. Peristiwa itu terjadi sekitar awal Mei 2018, saat itu ia ada liputan mendadak sehingga ia memacu sepeda motornya dengan kecepatan yang agak tinggi.

Ia memacu motor dari kosnya di kawasan Karang Panjang, ketika melintasi jalanan menanjak di kawasan Batu Merah yang berlubang sepeda motornya terperosok dan ia terjatuh, luka-luka yang dialami sedikit parah dan sepeda motornya mengalami kerusakan yang cukup parah. Bukan cedera dan kerusakan kendaraan yang dikhawatirkan oleh Frans, menyadari lokasi di mana ia terjatuh, Frans seketika sangat khawatir mengingat rumor yang sangat santer terdengar tentang bahaya yang mengancam ketika seorang Kristen terjatuh di Batu Merah.

Sesaat kemudian kekhawatiran Frans hilang melihat antusiasme warga sekitar yang dengan sigap memberikan pertolongan. Seorang ibu datang memapah Frans yang sulit untuk bangkit dan berjalan, ibu tersebut dengan penuh perhatian membawa Frans menepi dan didudukkan di depan rumahnya, sementara beberapa orang lainnya memberikan pertolongan pertama atas luka-luka yang dialami Frans. Beberapa tukang ojek yang mangkal di sekitar lokasi kejadian “mengamankan” sepeda motor Frans dan berinisiatif membawa sepeda motor tersebut ke bengkel terdekat.

Setelah keadaannya agak sedikit pulih, Frans diantar oleh salah seorang tukang ojek ke rumah kosnya di kawasan Karang Panjang. Karang Panjang merupakan salah satu kawasan basis Kristen di Ambon, namun tanpa khawatir tukang ojek tersebut menawarkan bantuan mengantarkan Frans pulang ke rumah kosnya. Frans kemudian bercerita bahwa ia bersyukur atas pengalaman jatuh di Batu Merah tersebut, karena dengan pengalaman itu, ia menjadi tahu bahwa betapa anggapan yang selama ini beredar di kalangan Kristen kepada basudaraMuslim, khususnya tentang Batu Merah sebagai kawasan Muslim terbesar di Kota Ambon adalah anggapan yang keliru. Frans menuturkan, seandainya tidak merasakan melalui pengalaman secara langsung, ia masih tetap meyakini stigma,”jangan jatuh di Batu Merah”.

Pengalaman lain diceritakan oleh seorang informan bernama Yahya, seorang aktivis pemuda Muslim di Kota Ambon. Suatu ketika dia mendapatkan tugas untuk melakukan survei di Kawasan Kudamati, sebuah kawasan pemukiman Kristen. Pada awalnya ada rasa takut untuk memasuki kawasan tersebut yang di kalangan muslim disebut sebagai “kawasan danger”.

Yahya menceritakan pengalamannya masuk di lorong-lorong kawasan Kudamati dan mendapatkan sambutan yang hangat, ketika ia masuk ke rumah seorang penduduk dan diketahui bahwa ia adalah seorang Muslim, tuan rumah kemudian menyuguhkan minuman kemasan dan makanan kemasan yang diyakini halal untuk dikonsumsi seorang Muslim. Pengalaman tersebut menjadi titik balik bagi Yahya untuk meninggalkan stigma terhadap komunitas Kristen Ambon, khususnya Kudamati. Sebelumnya Yahya cukup mempercayai stigma Kudamati sebagai daerah yang berbahaya untuk dimasuki seorang Muslim. Pengalaman mendapatkan sambutan hangat dan bersahabat dari warga Kudamati membuat Yahya menyadari kekhawatirannya sangat tidak berdasar.

Berdasarkan dua pengalaman yang dituturkan oleh Frans dan Yahya yang merasakan langsung pengalaman yang berbeda dar irumor yang ia dengar dan percayai, menunjukkan sebenarnya masyarakat Ambon, baik Muslim maupun Kristen telah siap untuk menerima satu sama lain. Pembauran antara kedua komunitas tersebut masih terhalangi oleh segregasi pemukiman yangmembuat minimnya ruang perjumpaan yang bersifat intim. Segregasi tersebut membuat rumor stigmatik tentang masing-masing pihak masih jamak beredar dan seakan sulit untuk membantahnya kecuali dengan pengalaman langsung sebagaimana yang dialami oleh Frans dan Yahya. Memperbanyak ruang perjumpaan antar kedua komunitas yang menghadirkan pembauran secara bertahap di antara keduakomunitas agama tersebut dan perlahan akan meretas pengaruh buruk dari sejarah konflik yang pernah terjadi di Ambon. []

Sabara Nuruddin/diad

Editor:
Apakah informasi di atas cukup membantu?

TERKINI

OPINI