MEMIMPIN OMBAK
Muchammad Toha
Kepala Balai Diklat Keagamaan Surabaya
Kehadiran seorang pemimpin begitu penting demi keberhasilan dan keselamatan suatu tujuan dan rencana bersama, bahkan sering kita dengar pemimpin yang zalim sekalipun masih lebih baik daripada tanpa seorang pemimpin. Kendatipun begitu pentingnya seorang pemimpin bukan berarti kehadirannya mulus tanpa penilaian dari mereka yang dipimpinnya bahkan kadang-kadang penilaian itu tidak jarang disampaikan dalam bentuk lisan atau tulisan yang isinya tidak nyaman ketika masuk telinga.
Walaupun pemimpin sering dinilai miring dari berbagai sisinya oleh mereka yang dipimpinya namun itu harus disikapi dengan perasaan wajar, karena pemimpin sudah seharusnya diperhatikan banyak orang. Laksana guru yang sedang melaksanakan tugas pendidikan dan pengajaran berdiri di depan para peserta didiknya pasti akan ditemukan kekurangannya oleh para peserta didik yang mengamatinya.
Mulai dari busana kurang rapi sampai sepatu yang tidak disemir, belum lagi kebiasaan gerakan tubuh yang kurang baik maupun bahasa dan pilihan kata serta suara yang tidak menarik. Namun sebaliknya cukup sulit bagi seorang guru untuk mengetahui dengan detail para peserta didiknya.
Bertolak dari kenyataan itu, maka seorang pemimpin harus siap untuk diperhatikan bahkan sampai hal yang sangat kecil oleh mereka yang dipimpinnya. Jika demikian adanya maka pemimpin harus memiliki kemantapan diri untuk hadir memimpin dan ini akan muncul ketika telah dibangun persiapan pada setiap apa yang akan dilakukan sebagaimana ungkapan yang cukup populer ”sekali maju tanpa persiapan bersiaplah mundur tanpa penghargaan dan penghormatan”.
Seorang pemimpin harus memiliki pemahaman bahwa kritik atau penilaian yang dilontarkan adalah suatu yang positif dalam rangka ikhtiar agar seorang pemimpin dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. Sehingga untuk tampil sebagai pemimpin yang baik sekurang kurangnya memiliki beberapa hal penting demi keberhasilan kepemimpinannya serta menghindari kritikan mereka yang dipimpinnya.
Jiwa Penakut
Pemberani adalah sifat yang diperlukan seorang pemimpin, karena dengan keberanian dan ketegasan pemimpin akan menjadikan mereka yang dipimpin mantap dan tenang dalam bekerja karena pemimpin pemberani biasanya tidak lemot dan bertele tele dalam berpikir sebelum memberikan perintah kepada mereka yang dipimpinnya, apalagi dengan sengaja mengolor ngolor waktu yang sebenarnya itu hanya untuk menutupi kegamangannya dalam memutuskan pilihan pekerjaan yang seharus dilaksanakan mereka yang dipimpinnya.
Pemimpin pemberani akan bertanggung jawab atas kemungkinan yang muncul sebagai efek dari pekerjaan mereka yang dipimpinnya yang telah dilaksanakan pekerjaan sesuai perintah pemimpin, jika karena perintah itu kemudian muncul gelombang protes datang laksana banjir bah, seorang pemimpin akan tampil paling depan dan dengan lantang mengatakan bahwa mereka yang dinilai salah dalam pekerjaan itu sesungguhnya melaksanakan perintah darinya. Sehingga sebagai pemimpin akan benar-benar bertanggung jawab dan tidak merasa malu untuk menyatakan permohonan maaf dan mengakui salah atas apa yang menjadi pilihannya dan telah diejawantahkan sebagai perintah.
Bila mendapati pemimpin yang bernyali maka mereka yang dipimpin akan dapat bekerja dengan penuh konsentrasi karena sang pemimpin pasang badan untuk mengayomi mereka yang telah melaksanakan perintahnya, bukan malah sebaliknya anak buahnya selalu bingung meraba raba pekerjaan apa yang harus dilaksanakannya, karena pemimpin tidak berani bersikap tegas dalam memberikan perintah tetapi bila pekerjaan itu salah maka kesalahan itu akan ditimpakan pada mereka yang dipimpinnya, padahal sebenarnya kesalahan itu berawal dari pemimpin tidak berani secara tegas memutuskan suatu pekerjaan yang harus dilaksanakan mereka yang dipimpinnya.
Pemimpin yang bernyali kecil atau bahkan tidak bernyali akan menjadikan pekerajaan semakin lama dan capaikan kinerja tidak sesuai target dan harapan, karena pada level mereka yang harus melaksanakan pekerjaan terus menerus menunggu perintahnya yang tak kunjung datang, padahal seorang pemimpin harus memaklumi tidak semua pekerjaan birokratis yang begitu banyak dan rinci selalu dilengkapi regulasi, juklak dan juknis yang sangat rinci dan detail, disitulah dibutuhkan seorang pemimpin yang berani namun harus tetap memegang teguh kearifan dan kepatutan serta sense terhadap kepentingan dan kegentingan akan tugas bersama dan hakikat yang menjadi tujuan negara.
Pemimpin pemberani tidak segan segan membela anak buahnya ketika diadili teman temannya sesama pekerja karena dianggap salah, pemimpin harus lantang menyatakan yang patut dipersalahkan adalah dirinya karena apa yang telah dikakukan seorang pegawai tidak lain atas perintah darinya, tidak malah memutar balikkan fakta dan ikut mengadili dan mempersalahkan mereka yang sudah membantu tugasnya dan sudah dibulli kawan kawan sekerjanya, sedangkan sang pemimpin cuci tangan berlagak bersih cuek tidak mau tahu tentang permasalahan itu dan pada akhirnya menumbalkan mereka yang telah membantunya demi hasrat dan kemauannya.
Termasuk keberanian ini adalah keberanian untuk membangun komunikasi dengan struktur diatasnya, pemimpin yang penakut akan memerintahkan pegawai dibawahnya untuk melakukan komunikasi langsung dengan diatas dirinya padahal fenomena seperti ini tidak seyogyanya terjadi dalam birokrasi karena komunikasi bersifat lompat level, komunikasi seperti ini dipilih oleh seorang pemimpin karena takut resiko buruknya hubungan dengan level diatasnya karena ketidak pahaman menerjemahkan perintah, biar tidak disalahkan karena kesalahan pekerjaan dan andaikan harus dipersalahkan maka yang salah adalah langsung anak buahnya. Disamping itu model komunikasi lompat struktur akan memberikan penilaian yang buruk bagi mereka yang dipimpin karena dianggap lancang oleh struktur diatas sang pemimpin.
Tidak etis seorang pemimpin selalu berlindung dibelakang mereka yang dipimpinnya, karena sejatinya pemimpin adalah imam yang harus menempati posisi didepan dan siap mempertanggung jawabkan apa yang telah perintahkan dan dilaksanakan mereka yang dipimpinnya, maka berikutnya adalah diperlukan keberanian seorang pemimpin untuk meluruskan bahkan harus menggeser posisi mereka yang dipimpinnya karena selalu salah menerjemahkan perintahnya baik sengaja atau tidak sengaja karena sejatinya kesalahan mereka yang dipimpin adalah kesalahan pimpinannya.
Maka bila ada pemimpin yang terus menerus memantau pekerjaan mereka yang dipimpinnya bahkan terkesan sangat cerewet dan mengurusi pekerjaan yang kecil, sebenarnya karena dorongan rasa tanggung jawab yang cukup besar demi keberhasilan tugas dan keselamatan mereka yang dipimpin, diri pemimpin serta institusi dimana mereka bekerja karena jalannya roda tugas kedinasan menggunakan uang negara yang dihimpun dari rakyat sehingga harus dapat dipertanggung jawabkan sebagaimana mestinya.
Namun yang tidak boleh dilupakan adalah keberanian seorang pemimpin harus diiringi dengan pemahaman terhadap aturan karena tidak sedikit seorang pemimpin yang pemberani terjerembab karena dimanfaatkan atau bahkan karena jebakan anak buahnya sendiri, untuk lebih memahami ini ada baiknya kita ingat kembali kisah musyawarah para tikus untuk menghadapi kegarangan kucing lapar. Diceritakan dalam suatu dongeng dalam musyawarah itu, seekor tikus mengajukan usul dengan sangat berapi api dan percaya diri karena merasa usulnya pasti didukung oleh mayoritas musyawirin yang inti usulnya bahwa untuk menyelamatkan para tikus maka pada leher kucing harus dikalungkan genta sehingga ketika kucing datang maka tikus akan dapat lari menyelamatkan diri karena adanya sinyal suara gemerincingnya genta, atas usul itu semua setuju dan musyawarah bertepuk sorai karena solusi sudah ditemukan, namun musyawarah kembali hening dan sepi ketika pemimpin musyawarah para tikus bertanya, siapa yang bertugas mengalungkan genta dileher kucing, mendengar pertanyaan itu musyawirin tikus pada diam bahkan ada yang mengkeret bahkan nangis sampai kumisnya basah takut ketiban tugas termasuk tikus yang melontarkan usul, sehingga walaupun seorang pemimpin dituntut untuk memiliki keberanian maka tetap harus dengan kehati-hatian dan terus menggunakan kaidah berpikir yang benar.
Jiwa Penurut
Sebenarnya jiwa penurut bila dihubungkan dengan ketaatan terhadap aturan bagi seorang pemimpin adalah sangat baik karena akan dapat menyelamatkan bahtera besar berupa lembaga dan seluruh person yang ada di dalamnya, namun yang dimaksud penurut disini adalah kedudukan seorang pemimpin seperti siwur ilang pate’e (peribahasa Jawa Gresikan) yaitu gayung air dari tempurung kelapa yang gagangnya hilang pasaknya, maka terus goyang kiri goyang kanan sesuai siapa yang meremot atau mempengaruhi dan memberi masukan.
Pemimpin tipe ini juga membingungkan mereka yang dipimpinnya karena terus berubah ubah sesuai siapa yang membisikinya, padahal idealnya perubahan akan dianggap rasional bila didasari adanya regulasi terbaru atau adanya perintah dari struktur diatasnya. Pada pemimpin model ini kedudukan pembisik sangat penting dan kemana pemimpin ini bergerak tentunya akan mengikuti masukan para pembisik, sehingga tak ubahnya seperti monyet membagi roti, ketika sepotong roti telah terbelah menjadi dua, monyet pembagi roti dibisiki oleh sebelah kirinya maka digigitlah roti sebelah kanan, sebaliknya ketika dibisiki sebelah kanan maka digigitlah roti sebelah kiri dan begitu seterusnya akhir cerita rotinya habis dan kanan kiri tinggal menangis.
Maka seorang pimpinan tidak boleh terlalu khawatir tidak disukai mereka yang dipimpinnya sehingga selalu gamang dan ragu ragu ketika mengambil suatu tindakan karena harus menyenangkan seluruhan mereka yang dipimpinnya padahal itu tidak mungkin karena setiap orang yang dipimpin menghendaki keputusan yang diambil pimpinan akan menguntungkan dan mempermudah dirinya, disinilah diperlukan kekokohan seorang pimpinan yang tidak lain penentu suatu kebijakan yang sekaligus suara instansi yang dipminnya sehingga anak buahn ya mematuhi seluruhnya walaupun sebelumnya centang perenang.
Untuk memudahkan pemahaman kedudukan seorang pemimpin ada baiknya kita bandingkan dengan peran dan kedudukan sais (kusir) kereta yang dihela beberapa ekor kuda kekar gesit dan pelari kencang, tanpa kekuatan daya kuda kereta tidak bisa bergerak kemanapun, tapi bila kekuatan kuda tanpa diarahkan secara benar oleh sais tidak mungkin kereta bisa bergerak sesuai arah bahkan lebih jelek lagi kereta akan porak poranda tidak berbentuk lagi wujudnya. Coba kuda sisi kanan melesat lari ke kanan sebaliknya kuda sisi kiri melesat ke kiri tentu kereta akan berantakan dan kalaupun masih beruntung dalam kondisi positif kereta akan berhenti statis saja, kondisi buruk juga akan terjadi bila kuda kanan lari ke kiri dan kuda kiri lari ke kanan, ekses yang terjadi bisa bisa kuda saling bergelimpangan karena benturan sesama kuda atau bisa juga hentakan daya yang tidak searah kereta akan terguling dan terbalik tak tentu arah dan pada akhirnya akan mencelakakan seluruh penumpangnya.
Contoh lain yang hampir mirip untuk menjelaskan kedudukan pemimpin adalah seperti pemimpin perahu dayung yang sedang berlaga, sebagai pemimpin perahu dayung dituntut untuk bisa memotivasi dan membangun kesamaan arah gerakan para pendayung yang berada di sisi kanan dan kiri sehingga perahu akan dapat melaju dengan cepat dan sempurna. Bila tidak dapat menyelaraskan antara pendayung kanan dan kiri maka yang akan terjadi adalah perahu akan bergoyang goyang atau berputar putar ditempat saja.
Sebagai pemimpin yang baik dia harus menjadi pendengar yang baik pula maka setiap mendapat bisikan seyogyanya tetap didengarkan sebagai bentuk penghargaan terhadap mereka yang dipimpinnya karena ini merupakan bentuk pembelajaran agar kita bisa menjadi pendengar yang baik, tetapi untuk memutuskan sesuatu yang berekses terhadap orang banyak tidak cukup hanya dasarnya bisikan seseorang yang hanya menguntungkan dirinya saja. Maka keputusan hendaknya didasari logika yang tepat dan bermanfaat bagi sesama yang mayoritas jumlahnya.
Bila ditengok dari pengaruhnya, lebih baik dibenci beberapa orang demi meraih kebaikan dan kebahagian banyak orang. Dan sekali lagi pemimpin yang selalu takut dimusuhi orang akan melahirkan rasa gamang berkepanjangan, untuk membangun rasa tenang dan mengurangi rasa risau dalam memimpin, “Nabi saja ada yang benci apalagi saya manusia biasa” dan dalam pepatah pesisiran yang cukup populer, “nuruti ronde gak dadi rombong nuruti lambe gak dadi uwong” (selalu risau dengan perkataan orang maka selamanya kita tidak akan menjadi orang).
Jiwa Penghasut
Pemimpin yang baik harus berusaha mengarahkan semua daya agar sesuai gerak dan arah tidak malah sebaliknya membentur benturkan sesama mereka yang dipimpinnya, ada beberapa kemungkinan kenapa seorang pemimpin kadang kadang menjadi juru hasut mereka yang bekerja untuk dirinya, salah satunya adalah agar kelemahan dan perilaku negatif pemimpin tertutupi oleh ributnya mereka yang dipimpin karena bertarung terus menerus sehingga mayoritas akan terlena dengan kejelekan pemimpin, bahkan dalam teori politik sendiri ada yang dikenal dengan politik belah bambu, yaitu satu diangkat sedangkan yang lain dinjak, akibatnya karena kelompok satu diperlakuan lebih baik, maka tentu saja kelompok yang diperlakukan kurang baik akan cemburu dan biasanya akan menaruh rasa benci pada kelompok yang diperlakukan lebih baik tersebut, yang pada akhirnya akan terbentuk suasana kerja yang tidak harmonis, saling curiga, saling tidak percaya dan saling menuduh diantara mereka padahal pangkal masalah sebenarnya ada pada diri pemimpin sedangkan mereka yang dipimpin sangat lemah dalam menganalisis hubungan sebab akibat dan apa sesunggguhnya yang akan diraih seorang pemimpin.
Pemimpin jenis ini tentunya akan mengambil pilihan dalam gerakannya seperti ikan lele, biasanya ikan lele akan menciptakan air dalam kondisi keruh sehingga dengan keruh itu dia akan leluasa mencari makan, sebaliknya dia tidak akan berbuat leluasa ketika berada di air jernih, kendatipun memang dalam teori politik strategi adu domba memang ada dan masih cukup efekttif untuk digunakan tapi bagi pemimpin yang mengutaman akhlak mulia seharusnya ini dihindari. Sejarah telah mencatat penjajahan di Nusantara cukup langgeng dengan politik yang cukup terkenal devide et impera.
Jiwa pemimpin yang suka menghasut berpadu dengan mereka yang dipimpin mudah tersulut akan terbangun suasana kerja silang sengkarut, dan pada akhirnya roda birokrasi berjalan tidak sehat, sesama pekerja tidak saling sapa, sesama level eselon tidak mau bekerjasama bila ini benar benar terjadi pasti lembaga atau institusi itu tidak dapat memberikan pelayanan prima bagi para usernya. Meskipun pilihan strategi adu domba ini sangat beresiko pada pemimpin itu sendiri namun bila pemimpin bisa berhati hati mengaturnya ini akan menguntungkan pemimpin karena tidak saja dia bisa makan dengan leluasa tapi dia sekaligus bisa menepuk dada bahwa dirinya tetap eksis, tangguh dan kokoh walau terus menerus didera gejolak gelombang perselisihan di level dibawahnya, namun pemimpin gaya adu domba akan mendapat celaka jika level di atasnya akan memberikan penilaian bahwa pemimpin tersebut justru tidak bisa membengun rasa damai dan aman bagi sistem kerja di lingkungannya.
Jiwa Penyudut
Keburukan lain dari seorang pemimpin adalah apabila dia memiliki kebiasaan menyudutkan anak buahnya, dalam maksud lain dia akan mengkondisikan anak buah yang tidak dia suka selalu dalam posisi dan kondisi salah, apapun pekerjaan dan perilaku anak buah sama sekali tidak ada benarnya, ketidak etisan seorang pemimpin seperti ini adalah bahwa anak buah itu adalah bagian dari entitas yang ada dalam suatu kesatuan gerak kerja maka apabila ada yang tidak maksimal dalam pekerjaan tentunya menjadi kewajiban seorang pemimpin untuk membinanya, sehingga kekurangan anak buah akan dapat dicari solusinya bukan diselesaikan dengan cara menyudutkan begitu saja karena tidak akan dapat menyelesaikan masalah.
Apabila dibangun komunikasi yang baik dengan mereka pasti pemimpin akan lebih tahu apa yang sebenarnya ada dalam diri mereka sehingga pekerjaannya selalu membuat pimpinan kecewa, ketika hanya menyudutkan yang muncul adalah hukuman yang menyakitkan karena kekurangan mereka akan semakin diketahui teman temannya maka pilihan yang bagus adalah tidak semakin disudutkan tapi diberi perhatian. Apalagi bila mendapati mereka yang disudutkan memiliki sensitifitas tinggi, maka sangat dimungkinkan akan terjadi perlawanan dan tidak jarang akan semakin liar tak terkendali dan yang lebih jelek lagi akan menunjukkan antagonis secara kasatmata pada pemimpin sehingga akan menistakan dan meruntuhkan kehormatan pemimpin.
Bagi manusia dewasa dengan posisi selalu disudutkan pasti akan melahirkan protes, tapi apabila dibangun komunikasi yang intens dan harmanis pasti akan tumbuh perasaan yang saling memahami dan saling memberi solusi, dalam dunia sirkus ada suatu pemahaman untuk tidak terus memaksa hewan agar melakukan perintahnya ketika musim kawin hewan tersebut, karena tidak sedikit para pelatih atau pawang diserang dan dicederai karena terus saja memaksa untuk melakukan atraksi sesuai perintahnya padahal libido saat tinggi tinggnya. Apalagi pekerja kalau terus menerus disudutkan dan dipaksa tanpa dipahami kondisi jiwanya pasti akan melahirkan tindakan yang tidak disangka sangka.[]
M. Toha/diad