Menag: Problemnya pada Kurangnya Sosialisasi PBM

7 Des 2015
Menag: Problemnya pada Kurangnya Sosialisasi PBM

Jakarta (Pinmas) --- “Analisis kami, sama dengan yang Bapak/Ibu sampaikan tadi, memang problemnya pada sosialisasi. Jangankan kepada masyarakat secara luas, kepada elitnya saja memang masih sangat minim. Tokoh-tokoh agama kita, termasuk juga kepala-kepala daerah, memang sangat terbatas pemahamannya terkait dengan isi PBM ini.” Demikian disampaikan Menag Lukman Hakim Saifuddin saat berdiskusi dengan para anggota tim perumus PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006, di ruang kerjanya Rabu (2/12). 

Difasilitasi Kabalitbang dan Diklat Kemenag Abd. Rahman Mas’ud, tim perumus PBM menyampaikan langsung analisis mereka kepada Menag terkait PBM dan kaitan wacana peninjauannya belakangan ini. Hadir KH Zaidan Djauhari (MUI), Maria Farida (KWI), Vera Wenny (KWI), I Nengah Dana (PHDI), Suhadi Sendjaja (WALUBI), serta Sudarsono dan Atho Mudzhar (tim perumus mewakili Pemerintah). Anggota tim perumus lain berhalangan hadir. Adapun Menag dalam diskusi ini didampingi Sekjen Kemenag Nur Syam.

Munculnya kasus-kasus rumah ibadat, seperti di Tolikara dan Singkil, yang sebagian pihak menyebut disebabkan PBM, diyakini Menag justeru karena banyak pihak belum memahami peraturan ini, kurangnya sosialisasi. Ditambahkannya, “mungkin ini juga karena kelemahan kami, sehingga kami di 2016, kita ingin mengembangkan program-program sosialisasi terkait dengan ini.” 

Sementara itu, pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) juga menjadi perhatiannya. Lembaga FKUB, yang juga diatur PBM, dipandang sangat strategis dalam upaya pemeliharaan kerukunan di daerah. Untuk itu, selain soal dukungan anggaran juga perlu diperhatikan mekanisme rekrutmen dan peningkatan kapasitas anggotanya. “Itulah kenapa, isu FKUB ini juga akan mengisi bab tersendiri dalam RUU Perlindungan Umat Beragama,” imbuhnya. Sebagaimana diketahui, Kementerian Agama sedang menggodok RUU ini, dimana antara lain mengatur terkait pendirian rumah ibadat dan FKUB.

Pertemuan yang berlangsung dalam suasana serius namun santai ini merupakan tindak lanjut acara sebelumnya. Bahwa pada Jumat (13/11) lalu, tim perumus PBM berdiskusi di Badan Litbang dan Diklat Kemenag. Mereka mengadakan refleksi, evaluasi, dan proyeksi atas PBM, meresponi isu pencabutannya yang berkembang di media massa. Dalam acara itu, KH Ma’ruf Amin (tim perumus PBM dari MUI), menyampaikan refleksinya bahwa masalah yang terjadi adalah pada pelanggarannya, bukan pada aturannya. Justeru pelanggaran telah diminimalkan oleh PBM. “Karenanya, PBM harus diangkat menjadi undang-undang sehingga setiap pelanggaran akan ada konsekwensinya,” pungkas Ma’ruf. Dalam bahasa lain, Rumadi Ahmad (The Wahid Institute) yang turut hadir mengungkapkan, “soal normanya tidak banyak persoalan, PBM baik, tetapi landing di tempat yang tidak menguntungkan”.    

Jerry Sumampaw (PGI, mewakili Martin Hutabarat) menyampaikan hal senada, bahwa problem utama PBM adalah di soal implementasinya. Meski secara prinsip banyak kelemahan, tetapi diterima sebagai aturan teknis pendirian rumah ibadat. Dari evaluasinya, yang lebih rajin sosialisasi dan evaluasi PBM cenderung yang minoritas, sementara pihak lain (mayoritas) cenderung berbeda. Perlu ada upaya informasi yang sama kepada semua komunitas agama tentang aturan-aturan yang ada dalam PBM.

Diskusi tim perumus yang juga diikuti pakar dan praktisi kerukunan, seperti M. Ridwan Lubis dan Ahmad Syafii Mufid, ini umumnya memandang secara substansial PBM diyakini baik dan masih relevan. Permasalahan yang berkembang dewasa ini ditengarai terletak pada tataran implementasi serta minimnya sosialisasi di masyarakat dan aparat. Untuk optimalisasi sosialisasi itu, diusulkan Atho Mudzhar, agar ada Instruksi Presiden kepada Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri untuk penggalakan sosialisasi dan implementasinya. Di sisi lain, diskusi ini juga memandang perlunya penguatan status hukum PBM ini. []

asr/diad

Editor:
Apakah informasi di atas cukup membantu?

TERKINI

OPINI