Menentang Perubahan, Menentang Sunnatullah
Surabaya (Balitbang Diklat)---Tatanan sosial saat ini terus berkembang. Dan, satu-satunya yang tidak berubah di dunia ini adalah perubahan. Apa yang sesuai dan relevan di suatu waktu atau tempat yang lain mungkin tidak relevan lagi pada waktu dan tempat yang kita alami sekarang ini.
“Memaksakan cara hidup yang statis tanpa mempertimbangkan terjadinya perubahan-perubahan, itu sama saja dengan menentang sifat perubahan itu sendiri yang juga berarti menentang sunnatullah,” ujar Menag Yaqut saat pembukaan Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) 2023 di Sport Center UIN Sunan Ampel, Surabaya, Selasa (2/5/2023).
Menurut Menag, tema “Rekontekstualisasi Fikih untuk Kesetaraan Kemanusiaan dan Perdamaian yang Berkelanjutan” sebagai tema yang diusung pada perhelatan AICIS 2023 ini merupakan tema yang luar biasa.
“Sangat penting dan relevan dengan apa yang sedang kita hadapi saat ini, yaitu rekontekstualisasi fikih, kesetaraan kemanusiaan, dan perdamaian yang berkelanjutan,” ungkap Gus Men sapaan akrab Menag Yaqut Cholil Qoumas.
Dikatakan Menag, prinsip yang sama juga berlaku untuk pemahaman keagamaan terutama yang berkaitan dengan kehidupan sosial atau muamalah yang bersifat ijtihadiyah.
Rumusan norma agama, menurut Menag, akan selalu dan seharusnya mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan sosial yang terjadi dari waktu ke waktu. “Hal ini menegaskan bahwa karakteristik fikih merupakan produk ijtihadiyah ilmuwan harus bersifat fleksibel dan dinamis mengikuti dinamika perkembangan zaman untuk menjawab persoalan-persoalan baru yang muncul kekinian,” tutur Menag.
Menag berharap pembahasan rekontekstualisasi fikih ini dilakukan bertahap isu per isu, supaya lebih detail, yang selama ini menjadi problem serius dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini terutama isu yang berkaitan dengan hubungan antara muslim dan nonmuslim.
Gus Men mencontohkan beberapa hal, seperti ketika rezim Oorde Baru runtuh pada 1998, kita dihadapkan pada berbagai konflik berdarah yang semuanya dibalut dan dieskalasi melalui narasi agama.
“Jika hal ini tidak kita cegah, kita membayangkan kerusakan yang sangat dahsyat yang akan terjadi di muka bumi. Masing-masing akan berpegang pada keyakinannya dan memusuhi mereka yang berbeda keyakinan dengannya tanpa kecuali,” imbuhnya.
Kontekstualisasi hukum agama, lanjut Menag, atau yang disebut dengan fikih mutlak diperlukan untuk hidup berdampingan secara damai.
“Perhelatan AICIS yang sudah berjalan selama 22 tahun ini, sebuah etape yang sangat panjang dengan tujuan besar bagaimana agama menjadi rahmatan lil alamin. Kepada seluruh peserta AICIS 2023 selamat berpadu pikir untuk memberi sumbangan terbaik bagi peradaban manusia,” tandas Menag. (Barjah/bas/sri)