MENGUPAYAKAN MADRASAH DINIYAH BAGI ANAK INDONESIA DI LONDON

22 Des 2016
MENGUPAYAKAN MADRASAH DINIYAH BAGI ANAK INDONESIA DI LONDON

 (H.M.Hamdar Arraiyyah/Kapus Litbang Pendidikan Agama dan Keagamaan)

         Pada tahun 2015 terdapat sekitar 7.000 WNI (warga negara Indonesia) yang bermukim di Inggris. Bagian terbesar atau sekitar 2.000 orang tinggal di London. Perkiraan ini didasarkan pada hasil pendataan untuk keperluan Pemilihan Umum yang dilakukan oleh Keduataan Besar Republik Indonesia (KBRI) di London pada tahun 2014. Diperkirakan, persentase WNI yang beragama Islam lebih dari lima puluh persen. Untuk wilayah London terdapat lebih dari seribu orang. Demikian informasi lisan dari pejabat di KBRI dan pelaksana pendataan.

         WNI di negara ini terdiri dari pejabat dan staf KBRI setempat, pegawai perusahaan, wiraswasta, dosen kontrak, TKW (tenaga kerja wanita) yang umumnya pekerja domestik, mahasiswa Indonesia yang sebagian besar menempuh program pascasarjana, dan orang Indonesia  yang menjalani perkawinan campuran dengan penduduk negeri ini. Sesuai dengan latar belakang tersebut, maka sebagian WNI di negara ini warga permanen atau untuk waktu lama, namun sebagian lainnya tinggal untuk waktu yang relatif singkat.

         Pemeluk Islam asal Indonesia di London/Inggris (lebih1.000 dari 7000) tergolong kecil dibandingkan dengan komunitas muslim dari beberapa negara lain. Menurut data tahun 2011 yang dimuat Wikipedia, dari The Guardian, penduduk muslim di London dari berbagai negara, antara lain Pakistan 240.000 jiwa dari 1.000.000 untuk UK seluruhnya;  Banglades 170.000 dari 500.000, Turki 150.000 dari 500.000, Somalia 140.000 dari 200-250.000; Irak 130.000 dari 240.000; India 100.000 dari 330.000; Afghanistan 71.000 dari 100-150.000, dan Ghana 70.000 dari 100.000. Angka ini agaknya mengalami peningkatan pesat pada waktu sekarang. Perkembangan pemeluk agama Islam disebut di mediaonline sebagai perkembangan tercepat di seluruh wilayah Eropa.

         Kehadiran penduduk muslim di London sangat mencolok. Toko yang menyediakan sembilan bahan pokok, rumah makan dan unit usaha lainnya seperti apotek yang dikelola pengusaha muslim dapat diidentifikasi dengan mudah. Misalnya, rumah makan diberi label halal, diberi tulisan basmalah pada papan nama usaha, memakai nama yang berciri Islam seperti Amin, dan nama usaha ditulis dalam bahasa Arab. Kawasan bisnis di Edgware Road sepanjang satu kilometer didominasi oleh pengusaha dari negara Arab seperti Libanon, Maroko, Irak, dan negara Islam lainnya seperti Turki. Kawasan ini dianggap identik dengan pemukiman Arab karena percakapan di antara warga yang bermukim di kawasan itu sering menggunakan bahasa Arab dan menampilkan tradisi dari negeri asalnya dalam aktivitas sehari-hari. Kondisi pemukiman demikian itu terbentuk mulai tiga puluh tahun silam. Beberapa unit usaha yang berciri Islam juga dijumpai sepanjang jalan antara kawasan Colindale dengan stasiun Kilburn dengan bus kota sepanjang lima kilometer. Di Kilburn dan sejumlah tempat lainnya wanita yang mengenakan busana muslimah mudah dijumpai. Kondisi itu dimungkinkan karena penduduk muslim di London sekitar 12.4 persen dari total penduduk kota. Disebutkan bahwa dominasi penduduk muslim yang paling menonjol terdapat di kawasan London Utara.

         Menurut seorang WNI yang bermukim di London, di sepanjang jalur jalan tersebut di atas (tidak jauh dari jalan raya) terdapat lima masjid yang dikelola oleh golongan Sunni dan satu oleh golongan Syiah. Masjid itu umumnya dikelola oleh komunitas muslim berdasarkan asal negara tertentu. Misalnya masjid di Hendon dikelola oleh komunitas asal Asia Selatan. Hendon Mosque dan Islamic Centre memberikan berbagai bentuk pelayanan sosial kepada jamaahnya. Misalnya, pelayanan pernikahan dan penguburan jenazah. Masjid dengan daya tampung 1.500 jamaah ini menyelenggarakan kegiatan shalat Jumat dua kali karena daya tampung yang tidak memenuhi kebutuhan. Khutbah shift pertama, menurut jadwal yang diterbitkan untuk bulan Desember 2015 dimulai pada pukul 12.20 siang. Khutbah berlangsung sekitar lima belas menit. Sebelum khutbah, ceramah agama disampaikan selama dua puluh menit. Bahasa pengantar yang digunakan ada kalanya bahasa Inggris dan ada kalanya bahasa Arab. Setelah itu shalat Jumat dilaksanakan. Khutbah kedua dijadwalkan pada pukul 13.05 dan dilanjutkan dengan shalat Jumat pada pukul 13.15. Khutbah pada shift kedua terutama untuk memenuhi syarat sah pelaksanaan shalat Jumat. Menurut informan kami, kondisi seperti itu berlangsung di beberapa masjid. Pelaksanaan shalat Jumat seperti itu menawarkan pilihan khutbah yang diminati oleh jamaah dari segi sifat uraian dan bahasa pengantar serta pukul kerja jamaah. Sifat uraian yang dimaksud, misalnya ilmiah dan tekstual.

         Regent Park Mosque (London Central Mosque)  pada minggu ketiga bulan Desember 2015 menyelenggarakan shalat Jumat satu shift dengan jamaah sekitar 2000 orang. Jamaah tidak seluruhnya dapat ditampung di ruang utama. Sebagian jamaah melasanakan shalat di bagian luar. Masjid ini dikelola oleh ulama dari Mesir. Shalat Jumat dilaksanakan dengan dua azan, sementara khutbah disampaikan dalam bahasa Arab dan diselingi dengan bahasa Inggris. Ini mengisyaratkan bahwa mazhab Syafi’i dianut pengelola. Masjid ini memiliki toko buku yang menyediakan koleksi yang cukup lengkap dalam bahasa Arab dan Inggris. Selain itu, masjid memiliki dua kantin untuk melayani jamaah. Masjid ini berperan sebagai patokan bagi banyak masjid lainnya, terutama yang menganut aliran Sunni. Misalnya,  jadwal waktu shalat untuk wilayah London merujuk pada masjid ini. Jamaah yang membludak di masjid ini terjadi pada pelaksanaan shalat Idul Fitri. Karena itu, shalat Id dilaksanakan empat sampai lima shift dengan khatib yang berbeda. Informasi yang disampaikan koran Republika, pelaksanaan shalat Id pada tahun 2012 di masjid ini mencapai enam shift.

         Komunitas muslim dengan jumlah anggota yang besar menyelenggarakan pembinaan bagi warganya secara intensif. Contoh yang disebutkan adalah komunitas asal Pakistan. Pembinaan agama bagi anak-anak mereka berjalan dengan baik. Keterampilan membaca dan menghafal Al-Qur’an bagi anak-anak keturunan Pakistan secara umum dianggap baik. Sewaktu-waktu mereka diberi kesempatan memimpin shalat berjamaah. Shalat Subuh berjamaah sering berlangsung hingga dua puluh menit karena surah yang dibaca cukup panjang. Kondisi seperti ini masih diimpikan sebagian muslim Indonesia di kota ini. Mereka ingin memiliki gedung Islamic Centre yang besar utuk kegiatan keagamaan dan anak yang terampil di bidang keagamaan.  

Kelompok Pengajian WNI                                                                                                                      

         Kegiatan pengajian bagi WNI di London berlangsung sejak tiga puluh tahun silam (1980-an)  dan dipelopori oleh diplomat Indonesia. Beberapa nama yang dianggap berjasa, antara lain Fadal Arafah dan isteri. Pada awalnya pengajian dilaksanakan dari rumah anggota secara bergantian. Beberapa tahun terakhir ini, komunitas yang tergabung dalam Indonesian Islamic Centre (IIC) sudah mempunyai pusat kegiatan yang bersifat tetap, yakni sebuah rumah di kawasan Colindale. Rumah itu peninggalan pegawai KBRI dan diwakafkan ke kelompok pengajian. Kegiatan kelompok ini berlangsung secara rutin, yaitu setiap hari Rabu sore. Anggotanya yang aktif datang sebagian besar perempuan, termasuk sejumlah TKW. Kelompok pengajian ini memberikan layanan upacara pernikahan kepada anggotanya, khitanan, tahlilan, dan kesenian rebana. Kelompok ini didominasi penganut paham keagamaan tradisional dan cenderung ke organisasi Nahdlatul Ulama.

         Pengajian bulanan diadakan pada pekan terakhir di hari Sabtu. Menurut pejabat KBRI yang menangani kegiatan ini, Dpukulal Dpukulalullail, anggota yang hadir sekitar 150-200 orang dan bagian terbesar adalah perempuan. Kelompok ini dibimbing ustaz setempat dan memanfaatkan kedatangan ustaz dan ustazah yang bertugas di London untuk mengisi ceramah, seperti dosen yang sedang mengikuti short course atau kuliah di Inggris. Sebegitu jauh belum ada kurikulum yang dibuat secara khusus. Selain itu, sesekali kelompok ini mendatangkan mubalig dari Indonesia untuk memberikan bimbingan keagamaan secara intensif selama beberapa hari, seperti pada waktu bulan Ramadan. Kelompok ini tidak didominasi oleh paham keagamaan tertentu dan membuka diri terhadap paham tradisional maupun pembaharuan.

          Kelompok pengajian lainnya di London dinamai al-Ikhlas. Pada waktu sekarang kelompok pengajian ini dipimpin oleh seorang dosen Universitas Indonesia yang sedang menempuh pendidikan S3 jurusan Teknik Fisika. Kelompok ini cenderung ke pemahaman keagamaan yang rasional dan pembaharuan. Pembicara pada saat pengajian ada kalanya dari kalangan intelektual yang tidak secara khusus mendalami studi agama.

          Kelompok pengajian lokal terbentuk di sejumlah kota seperti Colchester, Leicester, Nottingham, dan Newcastle. Kelompok pengajian yang cukup besar untuk wilayah UK secara umum memakai nama KIBAR (Keluarga Islam Indonesia di Britania Raya). Hampir setiap tahun organisasi ini mengadakan pertemuan tahunan dan mendatangkan pembicara ternama dari Indonesia. Tahun 2015 kelompok ini mengundang Habiburrahman Syairazi, penulis novel keagamaan. Tokoh yang diundang tidak terbatas pada penganut paham tertentu, walaupun pengurus organisasi ini memiliki kecenderungan pemahaman keagamaan yang progresif. Mereka umumnya adalah kalangan intelektual yang bukan dari bidang studi agama dan memperlihatkan semangat keagamaan yang besar.

          Di Inggris terdapat organisasi yang merupakan cabang dari organisasi besar di Indonesia. Di sini ada Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama. Pada waktu sekarang, ketuanya (tanfiziyah) adalah Prof. Hadi Susanto. Ia  seorang guru besar matematika di Essex University, tak jauh dari kota London. Selain itu, terdapat pengurus Cabang Istimewa  Muhammadiyah di Inggris yang pada saat ini dipimpin oleh Muhammad Hilali Basa, dosen Uhamka Jakarta yang mengikuti program S3 di Leads University, jurusan ilmu politik. Informasi mengenai beberapa organisasi dan kelompok pengajian di Inggris dapat ditelusuri melalui website yang mereka kelola.         

Pendidikan Agama bagi Anak Indonesia

         Siswa sekolah di Inggris tidak memperoleh pendidikan agama secara khusus. Pelajaran agama yang mereka dapatkan di sekolah adalah pengenalan yang bersifat umum terhadap berbagai agama. Dengan kondisi seperti itu, anak Indonesia di Inggris pada umumnya tidak memperoleh pengetahuan dan bimbingan tentang agamanya di sekolah. Sebagian orang tua mengatasi hal itu dengan memberikan bimbingan di rumah. Akan tetapi, orang tua tidak semua mampu melakukan peran itu karena mereka sendiri tidak memiliki pengetahuan agama yang memadai atau sibuk. Kondisi keagamaan yang dirasakan memprihatinkan ditunjukkan oleh keluarga kawin campuran. Umumnya, muslim Indonesia di London yang menjalani perkawinan campuran  mempunyai pendidikan rendah setingkat SMP dan SMA dan kurang memahami ajaran agamanya sendiri. Jumlah pasangan semacam ini lebih dari seratus. Kondisi suami dan isteri  yang tidak seirama dalam bidang agama sering diperparah oleh bahan bacaan yang berbau sekuler sehingga tidak mudah mengajak mereka untuk mengikuti pengajian dengan tekun. Pengalaman seperti itu diungkapkan oleh Al- Khanif, Ph. D. yang aktif pada kegiatan keagamaan selama menempuh program S3 di Inggris.

         Anak Indonesia tidak dapat mengikuti bimbingan keagamaan yang dilakukan oleh komunitas lain di sekitar tempat tinggalnya. Sebagian bimbingan itu, semacam madrasah diniyah takmiliyah di Indonesia, diberikan bukan dengan pengantar bahasa Inggris. Misalnya, bahasa Urdu digunakan pada komunitas asal Pakistan. Akibatnya, banyak anak muslim Indonesia usia belasan tahun di Inggris yang kurang mengetahui ajaran agamanya. Kondisi itu diperparah oleh teman pergaulan mereka yang umumnya juga tidak peduli dengan agama dan cenderung menempuh gaya hidup sesuai budaya Eropa.

         Di beberapa tempat, seperti Colchester, bimbingan keagamaan di luar sekolah formal, menggunakan pengantar bahasa Inggris sehingga anak Indonesia bisa bergabung ke tempat itu. Biaya yang dipungut dari setiap siswa cukup besar. Proses pembelajaran dalam bahasa Inggris menyebabkan banyak anak-anak Indonesia kurang lancar berbahasa Indonesia dan tidak terbiasa dengan bahan bacaan dalam bahasa nasionalnya.

         Masyarakat Indonesia di London pernah menyelenggarakan Sekolah Indonesia  beberapa tahun silam. Kelanjutan sekolah itu tidak dapat dipertahankan karena kesulitan untuk mengadakan guru. Belajar dari pengalaman di tempat lain, seperti Jepang, keberlangsungan sekolah semacam itu, membutuhkan uluran tangan yang ditopang pemerintah (KBRI), Badan Usaha Milik Negara, dan masyarakat.  

         Dengan mengacu pada penjelasan di atas, maka semangat pengurus dan anggota IIC untuk menyelenggarakan MDT (Madrasah Diniyah Takmiliyah) perlu didukung. Hanya saja madrasah yang dimaksud harus dirancang secara khusus dari segi kurikulum dan bahan ajar. MDT di Indonesia biasanya berlangsung sekitar lima hari dalam sepekan. Di London, kegiatan itu hanya dapat dilaksanakan sekali sepekan, yakni pada hari Sabtu. Alasannya, tempat tinggal siswa berpencar dan bejauhan. Bahan ajar sebaiknya disediakan dalam dua bahasa, yaitu Indonesia dan Inggris. Penggunaan bahasa Indonesia dimaksudkan untuk memperkuat masionalisme Indonesia pada diri siswa. Penggunaan bahasa Inggris dimaksudkan agar bahan pelajaran dapat dicerna dengan mudah. Terkait dengan hal ini, salah satu persyaratan guru sesuai harapan pengurus IIC yakni guru harus mampu berbahasa Inggris dengan baik, lisan dan tulisan. 

         Alternatif lain untuk memberikan pelajaran agama Islam bagi anak Indonesia di London adalah pesantren kilat. Kegiatan ini dapat dilaksanakan antara satu minggu dan sepuluh hari pada saat Summer Holidays, memanfaatkan sebagian dari libur panjang di sekolah. Dengan cara ini, kebiasaan berlibur ke tempat yang jauh bagi sebagian keluarga tidak terkendala.

         Sudah saatnya Kementerian Agama bersama dengan organisasi Islam memikirkan masa depan keyakinan keagamaan  WNI yang berdomisili di Luar Negeri. Model MDT untuk anak-anak Indonesia di LN perlu segera dirintis atau dikembangkan. Tantangan utama yang dihadapi adalah penyediaan guru. Ini bisa dilakukan, antara lain, dengan mengintegrasikan pengiriman mahasiswa penerima beasiswa ke LN dengan tugas tambahan membina generasi pelanjut di bidang keagamaan. Cara lainnya melalui pengiriman visiting teachers ke London secara bergantian. Semoga. []

Editor:
Apakah informasi di atas cukup membantu?

TERKINI

OPINI