Menjadi Insan Beriman Tanpa Kitab Suci. Mungkinkah?

5 Jul 2019
Menjadi Insan Beriman Tanpa Kitab Suci. Mungkinkah?

Manokawari (5 Juli 2019). Aneka temuan lapangan dalam riset layanan indeks kitab suci di lingkungan Kementerian Agama hendak menyatakan bahwa urgensitas regulasi Menteri Agama terkait pelaksanaan program pengadaan dan pendistribusian kitab suci adalah sebuah keniscayaan. Ketiadaan regulasi tersebut menyebabkan adanya ‘ruang bebas’ sekaligus menggelisahkan karena tidak ada aturan regulasi yang jelas yang dapat dijadikan pedoman. Setidaknya itulah yang selalu diungkapkan para pejabat pada Kanwil di lingkungan Kementerian Agama.

Puslitbang LKKMO mengadakan riset indeks layanan kitab suci di Kanwil Kementerian Agama Propinsi Papua Barat, Manokwari, Jumat (05/07). De facto pola pengadaan dan distribusi Kitab suci tidak sama antar agama agama.

Bimas Kristen, pengadaan – distribusi kitab suci dilaksanakan sendiri di daerah. Alasanya demi efektivitas dan efisiensi anggaran untuk pengiriman barang dari kantor pusat Jakarta. Selain itu, masyarakat Kristen sendiri dapat langsung mengajukan proposal permintaan kitab suci ke kantor pusat lewat website secara daring. Menurut pejabat di Bimas Kristen Manokwari,  cara daring cepat dan praktis, tapi perlu disempurnakan. Kelemahannya adalah kanwil tidak dapat mengontrol dan mengetahui berapa yang mengajukan dan mendapat kitab suci dari pusat karena tidak ada rekomendasi pejabat dari daerah.

 

Bimas Katolik menerapkan kebijakan yang sama dengan Bimas Kristen. Pengadaan dan pengiriman kitab suci diserahkan kepada daerah. Menurut Pembimas Katolik pengadaan kitab suci tidak setiap diadakan tergantung ketersediaan anggaran dari pusat. Lebih jauh dijelaskan tahun 2019 ini ‘terpaksa’ program pengadaan dan distribusi kitab suci tidak dapat dilaksanakan karena pusat hanya memberi dana sebesar sepuluh juta rupiah untuk pengadaan dan pengiriman kitab suci dengan volume 100 buah kitab suci. Alasannya jumlah anggaran tersebut sangat tidak relevan dengan situasi dan kondisi daerah Papua.

Hal berbeda ditemukan pada Bimas Islam. Menurut Kepala Bidang Bimas Islam, pengadaan dan pengiriman kitab suci dilaksanakan langsung oleh pusat. Kanwil setiap tahun mendapat kiriman Alquran dari percetakan di Bogor.

“Bantuan Alquran tahun 2019 sebanyak 100 eksemplar yang diterima sekitar bulan Juni. Bantuan Alquran disimpan di kantor Bimas Islam untuk didistribusikan ke kabupaten kota,” ujar Kabid Bimas Islam.

Pola distribusi bantuan menurut Kabid Bimas Islam ini mengadopsi pola proporsional terstruktur dimana setiap kabupaten kota dibagi tidak sama rata sesuai populasi jumlah umat. Dari plot data bantuan tersebut setiap kabupaten kota dapat mengambil bantuan sendiri karena tidak diantarkan kelokasinya. Hal ini dikarenakan tidak tersedianya alokasi dana untuk distribusi kitab suci tersebut. Masalah biaya distribusi ini bagi daerah Papua Barat menyebabkan masalah tersendiri bahkan bisa jadi biaya pengiriman lebih besar dari pada harga barangnya karena jarak, keadaan, kondisi wilayah yang sulit.

Permasalahan distribusi Alquran tersebut disikapi dengan pola tersendiri. Artinya Alquran dibagikan pada saat ada kegiatan pertemuan-pembinaan, dan dibawakan petugas pada saat melakukan perjalanan dinas ke daerah. Menurut Kepala Bidang Bimas Islam, umat Islam di Papua Barat sebenarnya juga sangat membutuhkan buku keagamaan yang lain selain Alquran, misalnya buku yasin dan tahlil zikir, buku panduan shalat, buku belajar mengaji seperti juz ama dan iqro, kitab-kitab maulid dan kisah-kisah nabi dan sahabat. Buku-buku tersebut sebagai sebuah usulan program pengadaan bantuan untuk umat Islam Papua Barat yang tersebar di daerah-daerah terluar dan terpencil.  

Untuk Bimas Hindu program pengadaan dan distribusi kitab suci juga dilaksanakan sendiri oleh pusat. Memang tidak setiap tahun kanwil mendapat bantuan kitab suci. Menurut pegawai di Bimas Hindu Manokwari, terakhir mereka mendapat bantuan kitab suci pada tahun 2015 dilengkapi dengan dokumen berita acara serah terima barang.

Hal yang sedikit berbeda dalam Bimas Buddha. Menurut pembimas Buddha, mereka belum pernah mendapat bantuan kitab suci dari pusat. Banyak umat Buddha di Papua Barat tidak memiliki kitab suci karena sulit mendapatkan. Bahkan dikatakan pembimas tersebut di kanwil sendiri tidak ada kitab suci. Mereka sangat mengharapkan jika negara dapat hadir dalam memenuhi kebutuhan eksistensial kerohanian tersebut. Pembimas sangat mengharapkan agar ada regulasi yang jelas dan pasti terkait pengadaan-distribusi kitab suci sehingga masing-masing agama mempunyai pola kebijakan yang sama. []

AS/diad

Editor:
Apakah informasi di atas cukup membantu?

TERKINI

OPINI