Menyambut Kehadiran Direktorat Guru Madrasah

23 Feb 2017
Menyambut Kehadiran Direktorat Guru Madrasah

Oleh: Hayadin

Peneliti pada Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan

 

Kehadiran direktorat baru berdasarkan PMA nomor 42 tahun 2016, yakni direktorat guru dan tenaga kependidikan madrasah di lingkungan Direktorat Jenderal Pendidikan Islam patut disambut dengan hangat. Lembaga ini diharapkan akan membawa angin segar bagi masa depan madrasah yang lebih bermutu. Direktorat ini akan mengemban tugas  perumusan dan pelaksanaan kebijakan, standardisasi, bimbingan teknis, fasilitasi penjaminan mutu, evaluasi, dan pengawasan pengembangan kualifikasi, kompetensi, serta sertifikasi guru dan tenaga kependidikan; yang mencakup seluruh jenjang pendidikan, mulai dari Raudlatul Athfal (RA), Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), dan Madrasah Aliyah/Madrasah Aliyah Kejuruan (MA/MAK). Angin segar tersebut diharapkan tidak hanya untuk madrasah dengan status negeri atau milik pemerintah, tetapi seluruh madrasah yang mayoritas berstatus swasta.

Sebagaimana diketahui bersama, bahwa dalam sistem pendidikan nasional Indonesia, madrasah merupakan unit pendidikan seperti halnya sekolah. Kehadirannya hingga hari ini diiringi oleh dinamika dan romantika sejarah yang kuat. Setidaknya ada dua hal yang menjadikan status madrasah di Indonesia dipandang unik. Pertama, madrasah sebagai mana pesantren, merupakan lembaga pendidikan yang telah lahir dan berkiprah, jauh sebelum kemerdekaan bangsa. Dan ketika Indonesia merdeka dengan sistem pendidikan yang dibangun berbasis warisan kolonial, madrasah tetap dipelihara oleh masyarakat. Kedua, mayoritas status madrasah  adalah swasta, atau milik masyarakat.

Daya tahan eksistensi madrasah hingga hari ini, dilandasi oleh semangat masyarakat untuk tetap belajar dan mempelajari ilmu agama dan ilmu umum sepanjang hayat, mulai dari jenjang kanak-kanak hingga akhir hayat. Sejarahnya yang lahir jauh sebelum kemerdekaan juga menjadi salah satu romantisme yang senantiasa bersemayam dalam jiwa masyarakat Indonesia untuk tetap memilih madrasah sebagai tempat belajar. Berdasarkan jenjangnya, maka madrasah terdiri atas Raudhatur Athfal (RA) setingkat pendidikan usia dini, madrasah ibtidaiyah (MI) setingkat sekolah dasar, madrasah tsanawiyah (MTs) setingkat sekolah menengah pertama (SMP), dan madrasah aliyah (MA) setingkat sekolah menengah atas (SMA).

Berdasarkan data pada Ditjen Pendidikan Islam tahun 2015, jumlah madrasah di Indonesia sebanyak 76.551 buah/unit. Dari jumlah tersebut, sebanyak  94,9% atau 72.669 adalah berstatus swasta. Sejumlah madrasah tersebut baru diampu oleh guru madrasah sebanyak 851.227 orang. Dari jumlah tersebut, sebanyak 84,3 % atau sebanyak 717.697 orang adalah guru non-PNS (berstatus swasta). Disamping data tersebut profil guru madrasah juga sangat beragam dari sisi latar belakang pendidikan dan kualifikasinya.

Status tersebut menjadi salah satu isu krusial dalam pengembangan madrasah, khususnya pada keberadaan guru dan tenaga kependidikan. Secara umum, masalah mendasar yang menyelimuti guru madrasah adalah, ketersediaan atau jumlahnya yang masih sangat terbatas, kualifikasi dan kompetensi mengajar yang juga masih tidak merata dan mayoritas masih rendah, dan kesesuaian bidang studi ajar dengan kualifikasi dan disiplin pendidikan banyak yang tidak sesuai (mis-match). 

Selain ketersediaan tenaga pendidik (guru) yang masih sangat terbatas, beberapa tenaga kependidikan lainnya yang juga masih bermasalah dan penting untuk diagendakan, adalah: keberadaan kepala madrasah, pengawas (supervisor), laboran (laboranorium sains, teknologi informasi, agama, bahasa), pustakawan, dan konselor. Dalam konteks kepala madrasah, dari total 76.551 buah madrasah, ada 13.126 (17,15%) lembaga yang tidak memiliki kepala madrasah.

Dalam konteks kesupervisian (pengawas), regulasi yang kini mengatur pengawas di madrasah yakni PMA nomor 2 tahun 2012, yang menekankan tugas pengawas pada aspek manajerial, perlu didiskusikan lebih lanjut. Isunya  adalah apakah tugas pengawas madrasah berorientasi pada aspek manajemen organisasi secara kelembagaan, ataukah berorientasi pada keahlian berbasis mata pelajaran yang ada di madrasah. Untuk menunjang pengembangan mutu pembelajaran pada madrasah, maka pengawas atau supervisor sebaiknya menjadi pembimbing dan penjamin mutu pada setiap guru dan mata pelajaran yang ada di madrasah. Urusan manajerial sesungguhnya dapat diemban secara langsung oleh kepala dan wakil kepala madrasah. Supervisor harus lebih memberikan penguatan pada aspek substansi akademik pembelajaran ketimbang urusan majerial. Pola ini akan mengurangi ketergantungan guru pada lembaga diklat dalam mengembangkan keterampilan dan kompetensinya. Tantangannya adalah jumlah, kualifikasi dan kompetensi pengawas serta regulasi pengawas masih perlu ditinjau ulang. Berdasarkan data pendis, jumlah dan kualifikasi pengawas masih jauh dari yang diharapkan yakni 3128 orang berbanding 76551 madrasah. Jika diasumsikan mereka harus menangani madrasah (secara kelembagaan dan bukan berbasis bidang studi atau kelompok keilmuan) maka setiap satu pengawas harus mengontrol 24 atau 25 madrasah. Jika pengawas (supervisor) diarahkan untuk menjadi pembimbing mutu guru maka dibutuhkan tenaga pengawas dengan kualifikasi lebih tinggi, pengetahuan dan kompetensi lebih tinggi dan jumlah yang lebih banyak.

Selain keberadaan guru, kepala madrasah, dan pegawas, beberapa tenaga kependidikan lainnya yang penting untuk menunjang mutuoutput dan outcome madrasah adalah: laboran, pustakawan, dan konseling. Keberadaan laboran dan pustakawan masih sangat minim, sementara konselor belum terdata.

Untuk mengatasi hal tersebut beberapa agenda strategis harus dilakukan pemerintah. Dalam konteks pengadaan pendidik dan tenaga kependidikan di madrasah, masalah terkait kebijakan moratorium pengangkatan PNS, dan keterbatasan anggaran pemerintah untuk memenuhi ketersediaanya, harus dicarikan solusinya. Pemerintah memerlukan kerja sama dengan pihak pemerintah daerah dan masyarakat pemilik yayasan pendidikan. Madrasah sebagai unit pendidikan, mestinya dapat dikelola secara kordinatif oleh pemerintah pusat cq Kementerian Agama RI dan pemerintah daerah melalui urusan pendidikan. Kenyataannya, masih banyak pemerintah daerah tidak memandang madrasah sebagai unit pendidikan yang harus diperhatiakan, karena dianggap sebagai urusan pemerintah pusat. Sementara pemerintah pusat, secara formil lebih fokus pada pengembangan madrasah dengan status negeri yang merupakan milik negara. Dalam konteks ini maka eksistensi madrasah, khususnya “madrasah swasta” menjadi lemah, karena jarang didukung oleh tenaga pendidik dan kependidikan yang bermutu.

Kebijakan sertifikasi guru juga memberi dampak pada guru madrasah, jika sebelumnya para guru pada lembaga pendidikan umum, secara suka rela meluangkan waktunya untuk mengabdi di madrasah swasta, maka hal tersbut menjadi terhenti sejak sertifikasi guru diberlakukan. Beberapa paket kebijakan pemerintah menyatakan secara tegas bahwa guru PNS tidak boleh menjadi kepala sekolah pada madrasah swasta.

Di awal kelahirannya, direktorat ini diharapkan menyusun roadmap dan pola pemenuhan jumlah, dan mutu guru dan tenaga kependidikan di madrasah baik negeri maupun swasta. Institusi kelitbangan, khususnya Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan, dapat mengambil peran pendukung dan menjadi mitra strategis untuk mempersiapkan roadmap dan kajian pola pemenuhan jumlah dan mutu guru dan tenaga kependidikan di madrasah. Data dan pemetaan yang telah dibuat dirjen Pendis, dan hasil-hasil riset yang sudah dilakukan terkait kelemahan dan tantangan madrasah akan menjadi bahan baku dalam menyusun roadmap mutu guru dan tenaga kependidikan madrasah. Ayo Madrasah. Berbenah untuk Indonesia yang religius, maju, toleran, dan beradab.

 

sumber foto: http://berita.suaramerdeka.com

Editor:
Apakah informasi di atas cukup membantu?

TERKINI

OPINI