Merajut Keharmonisan Melalui Bedah Buku
Jakarta (29 Maret 2016). Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama melalui Puslitbang Kehidupan Keagamaan menggelar acara bedah buku yang bertempat di Wisma Maluku, Selasa (29/3). Buku yang dibedah kali ini berjudul: “Fikih Kebhinnekaan: Pandangan Islam Indonesia tentang Umat, Kewargaan, dan Kepemimpinan Non-Muslim”.
Kegiatan ini bertujuan untuk memperluas cakrawala pandang masyarakat, terutama dari kalangan ormas agama tentang keberagaman yang seharusnya bisa dijadikan suasana keharmonisan dalam kehidupan sehari-hari. Buku ini diterbitkan atas kerja sama Maarif Institute dan Mizan, yang ditulis lebih dari 10 tokoh, antara lain: Syafii Maarif, Azyumardi Azra, Lukman Hakim Saifuddin, Syamsul Anwar, Yudi Latif, dan Hendar Riyadi. Oleh karenanya, buku ini memiliki kekuatan dalam hal keberagaman itu sendiri.
Bedah buku ini menghadirkan salah satu penulisnya yaitu Hendar Riyadi, dengan Ridwan Lubis sebagai narasumber, dan Nuhrison sebagai moderator. Adapun peserta yang diundang merupakan perwakilan dari berbagai ormas Islam dan perwakilan dari lembaga agama lain. “Buku ini mengangkat fikih kebhinnekaan yang diharapkan menjadi panduan filosofis, teoritis, dan metodologis dalam mendorong hubungan sosial yang harmonis,” ujar Hendar.
Buku ini juga tidak dimaksudkan untuk penyeragaman pandangan, tetapi lebih menekankan pada sikap berbagi terhadap sesama, terutama untuk menangani ketidakadilan sosial. Fikih kebhinnekaan adalah fikih ala Indonesia yang lahir dari keberagaman dan kekhasan Indonesia. Produk dari fikih ini adalah Islam yang moderat, toleran, dan ramah terhadap keanekaragaman budaya. Cara baca yang disajikan buku ini adalah kontekstual dan progresif terhadap isu-isu perbedaan pandangan yang muncul akhir-akhir ini.
Peserta memberikan tanggapan yang beragam, seperti perwakilan dari Universitas Islam Nusantara yang menyatakan bahwa buku ini adalah pasangan dari buku Islam Nusantara yang juga sudah dibedah sebelumnya. Dengan demikian, maka Muhammadiyah sudah mulai dekat dengan NU. Sedangkan perwakilan dari Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) berpendapat bahwa buku ini adalah angin segar bagi non-muslim yang sedang mengalami kegalauan tentang nasionalisme di Indonesia.
“Perbedaan antar golongan dalam Islam di Indonesia pada periode awal terbentuknya Muhammadiyah dan NU sangat sedikit,” ujar Ridwan Lubis. Di sisi lain, Ridwan juga mengungkapkan kekhawatiran akan terjadinya pendangkalan mengenai fikih. Hal ini karena tiga fikih yang ada, yaitu: ibadah, dakwah, dan siyasah hanya berbeda mengenai cara, namun memiliki tujuan sama. Konflik mengenai fikih terjadi karena perbedaan diperlebar oleh pemicu-pemicu konflik.
Di akhir acara, Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Muharam Marzuki, mengungkapkan rasa syukur karena kegiatan dapat terselenggara dengan baik sekaligus berterimakasih kepada narasumber dan peserta dari berbagai agama yang sudah menyempatkan hadir. (rm/diad/vics/bas)