Merawat Bahtsul Masail Sebagai Tradisi Pesantren Indonesia

12 Feb 2019
Merawat Bahtsul Masail Sebagai Tradisi Pesantren Indonesia

Malang (Balitbang) — Menyikapi sengkarutnya opini yang berseliweran di ruang-ruang publik serta keterbelahan masyarakat akibat kontestasi politik di tengah banjir informasi melalui media sosial, mengakibatkan masyarakat tidak tahu lagi mana yang benar dan salah. Semuanya mengklaim berdasarkan fakta. Begitu banyak banjir narasi, banjir versi mengenai kebenaran di dunia media sosial dan media secara umum. Dalam situasi aktual kebangsaan Indonesia saat ini, maka menjaga-melestarikan Bahtsul Masail sebagai salah satu tradisi pesantren menjadi sebuah keniscayaan. Lewat kegiatan Bahtsul Masail sebagai sebuah forum diskursus akademik-ilmiah menghasilkan banyak kebermanfaatan. Sebutlah misalnya selain menghasilkan sebuah kebenaran, juga melatih para santri untuk berpikir ilmiah, berpikir kritis-anatis-sintesis terhadap realita. Dengan kata lain tradisi pesantren tersebut dapat menelorkan insan-insan manusia berbudaya dengan kemampuan intelektual yang mampu melihat “kemendalaman” realita kehidupan. Dengan demikian akan dapat memberikan dan menawarkan sebuah solusi terhadap aneka persoalan bangsa.

Kesadaran tersebutlah menjadi alasan fundamental dan eksistensial untuk menyelenggarakan acara Bahtsul Masail Perdana Ma’had Aly se-Indonesia yang diselenggarakan oleh Ma’had Aly Al-Zamakhsyari Malang bertempat di Yayasan Pondok Modern Al-Rifa’ie Malang-Jawa Timur, 11-12 Februari 2019. Peserta yang hadir berasal dari civitas akademik universitas dan Pondok Pesantren se-Jawa Madura dan seluruh Ma'had Aly di Indonesia. Hadir juga Novita Siswayanti, MA. peneliti Puslitbang LKKMO Kementerian Agama mewakili Kapuslitbang LKKMO Dr. Muhammad Zain. Tema yang diusung adalah emansipasi wanita menurut perspektif Islam. Tema ini aktual dan relevan dengan situasi dan kehidupan sosial dimana kaum wanita semakin banyak yang tampil dan berperan penting dalam berbagai bidang kehidupan, baik pendidikan, ekonomi, sosial, maupun politik. Tema tersebut juga senada dengan takhassus yang diambil oleh Ma'had Aly Al-Zamakhsyari yakni Fiqh Wa Ushuluhu takhassus Fiqh al-Nisa'.

Acara dibuka secara resmi oleh Pimpinan Kementerian Agama yang diwakili oleh Dr. Ainur Rofiq, M. Ag, Kepala Sub Direktorat Pendidikan Diniyah dan Mahad Aly. Dalam sambutannya Dr. Ainurrofiq menyatakan “pesantren merupakan sistem pendidikan terbaik di dunia. Belakangan ini terdapat perdebatan mengenai UU Pesantren yang menghendaki agar pesantren masuk ke dalam sistem pendidikan nasional melalui pendidikan keagamaan. Namun rancangan ini ditolak karena dianggap akan membatasi ruang lingkup pesantren. Pesantren termasuk di dalamnya Mahad Ali bukan proyek APBN/APBD tetapi peradaban. BJ Habibie merindukan sekolah berbasis pesantren yang mencerdaskan secara intelektualitas dan religiusitas. BJ Habibie mendirikan insan cendekia mengkolaborasikan kurikulum umum berbasis scientistdan agama. Seperti halnya Universitas Harvard atau Cambridge berawal dari padepokan keagamaan,” ujarnya.

Dr. KH Abdul Djalal (Ketua Asosiasi Ma'had Aly se-Indonesia) dalam sambutannya menyampaikan bahwa salah satu tradisi yang ingin dikembangkan, dijaga, dilestarikan dan dikembangkan oleh Ma'had Aly adalah tradisi Bahtsul Masail. Bahtsul Masail ini diharapkan oleh Dewan Masyayikh Ma'had Aly dan Bapak Menteri Agama dapat membahas tentang masalah kebangsaan dan masalah kekinian bangsa ini. "Bahtsul Masail merupakan salah satu tradisi pesantren yang harus terus dilestarikan. Begitupun ketika menghadapi persoalan global, pesantren harus menjawabnya melalui Bahtsul Masail,” ujarnya. Lebih jauh dalam paparannya Kiai Djalal juga mengkritik sistem Bahtsul Masaail yang berjalan selama ini. Ia menyatakan bahwa sudah saatnya Bahtsul Masail tidak hanya merujuk pada Fiqh praktis namun juga harus melibatkan Ushul Fiqh, Maqashid Syar'iyyah maupun Qawaid Fiqhiyyah. Jika Bahtsul Masaail hanya merujuk pada Fiqh praktis, maka daya analisis dan kritis santri tidak akan berkembang. Fiqh praktis merupakan produk jadi yang dibentuk berdasarkan waktu dan konteks tertentu dan tidak selalu bisa diterapkan pada waktu dan konteks yang lain. Beda halnya ketika yang dijadikan rujukan adalah Ushul Fiqh, Maqashid Syar'iyyah maupun Qawaid Fiqhiyyah, karena ketiga akar Fiqh ini merupakan prinsip yang dapat dijadikan acuan kapanpun dan dimana pun. Akhirnya, Yai Djalal berpesan agar santri tidak hanya memandang suatu persoalan hanya dengan kacamata intelektual, namun juga harus memandangnya dengan sisi spiritual. Perpaduan dua hal inilah yang selama ini membedakan pesantren dengan yang lain dan membuat pesantren lebih unggul.

Kegiatan Bahtsul Masail – atau yang populer dengan sebutan BM – bukanlah hal yang baru dalam dunia pesantren. Kegiatan BM ini menjadi agenda rutin bulanan santri Ma’had Aly. Kegiatan BM ini sejatinya melatih para santri, mulai dari persiapan BM seperti pelacakan ma’khadz (referensi) hingga membiasakan diri dengan gaya diskusi dalam forum BM. Tidak cukup sampai disana, santri juga dikader untuk berperan sebagai notulen dan moderator yang mengatur jalannya musyawarah. Sehingga para musyrif dan dosen hanya dilibatkan sebagai perumus dan mushohhih saja. Aththoilah mudir Mahad Ali Zamakhsyari Pesantren Ariifai berharap kegiatan bahtsul masail bisa menjadi ajang praktik para santri untuk menjawab persoalan-persoalan yang terjadi di masyarakat. Jika di kelas para santri lebih banyak mempelajari teori, maka forum Bahtsul Masa’il laboratorium praktiknya.

Mahad Ali Zamakhsyari bersantrikan khusus perempuan, maka bidang kajian yang dibahas adalah fiqhul mar’ah. Para santri mempelajari dan menelaah kitab-kitab fikih wanita dengan memaknainya secara kontekstual kebangsaan.Metode pengajarannya kombinasi dengan pesantren mengkaji dan memaknai kitab-kitab turats. Kitab-kitab yang dikaji modern berbahasa Arab dimaknai dengan bahasa Jawa. Kyai Athoillah juga menyebutkan bahwa Mahad Ali Termas Pacitan pimpinan Kyai Lukman yang konsentrasi mengumpulkan dan mengkaji kitab-kitabatturats nusantara. Diantaranya kitab Kyai Jampes, Syeh Albanjari, Kyai Mahfuzh dan lainnya. Selain itu Mahad Ali Senori Tuban pimpinan Kyai Hisyam anak mantu Kyai Fadhol. Mahad Ali Senori mempelajari, mentahqiq dan mengkaji kitab-kitab atturats asli karya Kyai Fadhol. Kitab Kyai Fadhol menjadi buku bacaan dan dikaji santri di Ummul Quro Masjidil Haram.

Akhir kata, semoga kita semua mempunyai kesadaran yang sama untuk menjaga dan melestarikan Bahtsul Masail, sebagai tradisi forum ilmiah dalam dunia pesantren. []

NS/AS/diad

Editor:
Apakah informasi di atas cukup membantu?

TERKINI

OPINI