Moderasi Beragama di Tengah Gempuran Digitalisasi, Mampukan Bertahan?

4 Sep 2024
Moderasi Beragama di Tengah Gempuran Digitalisasi, Mampukan Bertahan?
Sekretaris Arskal saat menyampaikan materi pada Pelatihan Penggerak Penguatan Moderasi Beragama Angkatan XVII di Balai Diklat Keagamaan Denpasar, Rabu (4/9/2024).

Denpasar (Balitbang Diklat)---Sekretaris Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama (Sesban) Arskal Salim menegaskan bahwa beragama di Indonesia merupakan sesuatu yang fundamental dan dijamin oleh konstitusi. Namun faktanya, diantara umat beragama ini, masih ada orang-orang yang tidak bisa mendamaikan dan justru memicu konflik.

 

“Baik dalam kehidupan bernegara maupun beragama, ada yang sangat fanatik. Ia Menganggap negara tidak sesuai dengan agama atau sebaliknya,” ujar Sesban Arskal saat menyampaikan materi pada Pelatihan Penggerak Penguatan Moderasi Beragama Angkatan XVII di Balai Diklat Keagamaan Denpasar, Rabu (4/9/2024).

 

Padahal, lanjutnya, hubungan antara agama dan negara itu sangat erat dan tidak dapat dipisahkan. Keduanya akan memerkaya tradisi bangsa.

 

“Sekarang yang harus ditekankan adalah bagaimana menjadi warga negara dan umat beragama 100%. Inilah tantangan kita semua,” kata Sesban Arskal.

 

Lebih lanjut, Sesban Arskal menjabarkan kondisi kehidupan harmonis Indonesia. Menurutnya, kehidupan harmonis sudah lama terwujud, meskipun berbeda latar belakang.

 

“Jika kita melihat keadaan di seluruh wilayah Indonesia, bisa tetap aman dan damai karena ada peran mayoritas. Oleh karena itu, mayoritas bukan masalah siapa yang paling berkuasa, tetapi mayoritas adalah kohesi sosial, yang memiliki tanggung jawab paling berat untuk kepentingan masyarakat,” tegasnya.

 

Terkait moderasi beragama, Sesban Arskal menjelaskan urgensi moderasi beragama. Menilik teknologi yang saat ini semakin masif digunakan menjadi tantangan tersendiri.

 

“Di era digital ini, orang bisa belajar tanpa institusi formal. Yang menjadi perhatian dan perlu dikhawatirkan adalah bisa seseorang belajar tanpa guru dan tanpa pengawasan. Jika info yang diakses adalah informasi buruk maka bisa menjadi sesat dan berbahaya,” paparnya.

 

Setidaknya bila dikulik lebih dalam, menurut Arskal terdapat tiga tantangan. Pertama, tantangan keagamaan seperti adanya kebencian karena keyakinan yang tidak sama.

 

“Kedua, tantangan kemanusiaan yakni hilangnya rasa persaudaraan dan adanya pemahaman tentang lebih rendahnya manusia lain yang tidak sepaham agama sehingga meniadakan unsur kemanusiaan,” urainya.

 

Tantangan ketiga, lanjutnya Arskal, merupakan tantangan kebangsaan yang pada level ini seseorang bisa dengan tegas menolak Indonesia sebagai NKRI, Pancasila sebagai ideologi negara, dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan negara.

 

Arskal dalam kesempatan tersebut juga menjabarkan bagaimana seseorang dapat dikatakan ekstrem kedalam tiga keadaan. Pertama, seseorang dianggap ekstrem jika atas nama agama, seseorang melanggar nilai luhur dan harkat mulia kemanusiaan.

 

Kedua, seseorang dianggap ekstrem jika atas nama agama, seseorang melanggar kesepakatan bersama yang dimaksudkan untuk kemaslahatan. Sementara yang ketiga, dianggap ekstrem kalau atas nama agama, seseorang kemudian melanggar hukum.

 

“Jadi, orang yang atas nama menjalankan ajaran agamanya tapi melanggar ketiga batasan ini, bisa disebut ekstrem dan melebihi batas,” ucapnya.

 

Terakhir, Arskal mengimbau agar jangan sampai membiarkan ektrem tersebut membesar. “Di sini peran Bapak Ibu guru dapat menguatkan moderasi beragama di dunia pendidikan melalui identifikasi dan pengenalan karakter peserta didik,” pungkasnya.

 

(Cucu Ardiah Ningrum)

Penulis: Cucu Ardiah Ningrum
Sumber: BDK Denpasar
Editor: Dewi Indah Ayu/Sri Hendriani
Apakah informasi di atas cukup membantu?

TERKINI

OPINI