Moderasi Beragama: Jawaban Tiga Tantangan Kehidupan di Indonesia
Jakarta (Balitbang Diklat)--- Indonesia adalah negara yang bermasyarakat religius dan majemuk. Menjaga keseimbangan antara hak beragama dan komitmen kebangsaan menjadi tantangan bagi setiap warga negara.
Hal tersebut disampaikan Plt. Sekretaris Badan Litbang dan Diklat Prof. Arskal Salim GP saat memaparkan ‘Menalar Keberagaman: Sketsa Kehidupan Beragama di Indonesia’. Materi dipaparkan dihadapan peserta Pelatihan Penggerak Penguatan Moderasi Beragama yang diselenggarakan BDK Surabaya.
“Urgensi Moderasi Beragama untuk menjawab tantangan kemanusiaan, tantangan keagamaan, dan tantangan kebangsaan. Tiga hal ini tidak bisa terelakkan sebagai bagian dari perkembangan teknologi informasi,” ujar Arskal melalui zoom meeting, Selasa (16/5/2023).
Pertama, tantangan kemanusiaan yakni berasal dari orang-orang yang menganggap dirinya paling benar dan paling saleh. Tindakan ekstrem bisa berupa sikap maupun serangan verbal dari golongan tertentu kepada golongan lain yang berbeda.
“Orang-orang ini menggunakan agama untuk meneror, atau menggunakan agama untuk memojokkan sesama. Ini masuk pada tantangan kemanusiaan,” kata pria asal Makassar ini.
Kedua, tantangan keagamaan. Kondisi ini lahir dari orang-orang yang ingin memaksakan tafsirnya dan pendapatnya mengenai suatu agama. “Ini jelas tidak rasional, sebab agama memiliki banyak tafsir dan keanekaragaman pendapat mengenai suatu hal. Ini bisa membuat dinamika keagamaan menjadi terancam,” imbuhnya.
Ketiga, tantangan kebangsaan. Tantangan ini berasal dari orang-orang yang ingin menjadikan agama sebagai dasar negara.
Seluruh tantangan ini perlu disikapi dengan moderasi beragama. Oleh karena itu, ASN Kemenag perlu ambil bagian dalam menjaga, mengamalkan, dan mengawal UUD 1945 serta kesatuan NKRI.
“Kita tidak bisa membiarkan kelompok-kelompok tersebut menggerogoti persatuan dan kesatuan bangsa,” tegasnya.
Moderasi Beragama Bagi Generasi Milenial
Milenial terdiri dari Gen Y dan Gen Z. Generasi ini berusia di bawah 40 tahun dengan jumlah yang cukup besar. Hal tersebut menentukan dinamika yang terjadi di Indonesia, terutama diharapkan mampu berperan penting dalam era Indonesia Emas 2045.
“Kehadiran generasi milenial menunjukkan optimisme Indonesia untuk menghadapi dan mengatasi berbagai macam persoalan seperti kebodohan dan kemiskinan. Nantinya diharapkan mampu mengakselerasi kehidupan yang lebih baik di Indonesia,” kata Arskal.
Lebih lanjut, Arskal mengatakan generasi milenial Indonesia sangat religius. Mereka patuh dan taat beragama, bahkan menganggap agama berperan penting dalam kehidupan di dunia dan akhirat.
“Berdasarkan Global Citizen Survey tahun 2017, Indonesia menempati urutan pertama yang mengatakan agama penting sebagai penentu kebahagiaan hidup. Ini artinya generasi milenial Indonesia paling religius dibandingkan negara maju seperti Jepang, Prancis, Jerman, Inggris, Australia, Amerika,” tuturnya.
Artinya, meski bukan negara agama, masyarakat Indonesia lekat dengan kehidupan beragama dan kemerdekaan beragama dijamin oleh konstitusi.
Dari sisi karakter digital, berdasarkan penelitian, masyarakat Indonesia oversupply gadget dengan pengguna media sosial aktif yang luar biasa besar.
Karakter demografi dan karakter digital ini bisa menjadi dasar informasi dalam memetakan peluang sekaligus tantangan untuk bisa menyampaikan pesan-pesan penguatan Moderasi Beragama.
“Berdasarkan kondisi tersebut, kita perlu melakukan kampanye Moderasi Beragama dengan mempertimbangkan media sosial sebagai medium. Berbagai generasi yang ada saat ini menjadi harapan untuk dapat menjembatani Indonesia menjadi negara yang maju,” pungkasnya.
Diad/Sr/Bas