Moderasi Beragama Menjaga Keutuhan NKRI
Semarang (Balitbang Diklat)--- Kepala Pusdiklat Tenaga Teknis Pendidikan dan Keagamaan Balitbang Diklat Mastuki mengatakan semua agama-agama besar ada di Indonesia dan tidak saling menyalahkan, tetapi tumbuh dan berkembang sesuai dengan identitas masing-masing.
“Kita tahu bahwa dari sisi penampakan performance masing-masing agama, inilah yang kemudian memperkaya katulistiwa. Juga kita tahu bahwa katulistiwa inilah tempat yang luar biasa di mana kemajemukan agama itu terjadi dan mewarnai Indonesia. Pemeluk-pemeluknya yang juga dengan keragaman memiliki pilihan masing-masing tanpa ada yang mematikan,” ujar Mastuki.
“Inilah konstitusi dari Indonesia Undang-Undang Dasar 1945 yang menjamin bahwa setiap penduduk untuk memeluk agama dan menjalankan ajaran agamanya tanpa ada pemaksaan dan sanksi dari negara sekalipun,” sambungnya
Mastuki mengatakan hal tersebut pada Semiar Sosialisasi Moderasi Beragama “Strategi Penguatan Moderasi Beragama di Lembaga Pendidikan” Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, di Universitas Diponegoro Semarang, Sabtu (16/12/2023).
Menurut Mastuki, pemberian jaminan yang luar biasa inilah yang memungkinkan setiap pemeluk agama dan agama-agama itu bisa berkembang dengan baik. Orang Jawa bisa memeluk agama Islam, bisa memeluk agama Kristen, Hindu dan Buddha. orang Batak memeluk agama Kristen atau Katolik.
“Satu dengan yang lainnya berbeda dan memeluk agama yang berbeda, tetapi bersatu dalam bahasa Indonesia,” tutur Mastuki.
Mastuki menceritakan semalam bertemu dengan kawannya dari Gunungkidul. Ia bercerita dalam satu keluarga berbeda-beda agama dan nyaman, setiap perayaan keagamaan saling mengunjungi. Kehidupan keberagamaan semacam itu, muncul dan tumbuh berkembang sedemikian rupa.
“Keberagaman ini, jika tidak dilakukan pengelolaan yang benar, akan menimbulkan potensi-potensi konflik antar umat beragama,” ungkap Mastuki.
Keberagamaan dan kebangsaan inilah, lanjut Mastuki, yang menjadi arah kebijakan moderasi beragama ditekankan pada posisi Indonesia bukan negara agama, tapi juga bukan negara sekuler. Tapi, negara yang Pancasila sebagai taman platform-platform bersama dalam menata kehidupan bersama yang mewadahi dari keberagamaan yang ada di Indonesia, baik suku bangsa, bahasa, maupun agamanya.
“Indonesia bukan negara agama tetapi memfasilitasi kehidupan keagamaan dan memberikan kebebasan kepada warga negara untuk menjalankan praktik-praktik ibadah keagamaannya,” sambung Mastuki.
Kementerian Agama dalam menjaga NKRI, kata Mastuki, mengembangkan Program Moderasi Beragama. Moderasi beragama bukan moderasi agama tapi memoderasi cara pandang, perilaku, dan praktik keberagamaan.
“Arah kebijakan dari moderasi beragama ini, dilandasi dengan RPJM 2020-2024 dan peraturan presiden berkenaan dengan penataan kehidupan keagamaan yang moderat dilaksanakan secara bersama-sam antar Kementerian/Lembaga,” tandas Mastuki.
Kepala Balai Litbang Agama (BLA) Semarang, Anshori, menyampaikan sosialisasi moderasi beragama (MB) di kampus-kampus di lingkungan Kementerian Agama sudah biasa. Bulan November, dilakukan sosialisasi MB di Universitas Airlangga Surabaya dan Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Hari ini di Universitas Diponegoro Semarang dan akan berkelanjutan pada kampus-kampus yang lain.
“Hal ini sejalan dengan Perpres No. 58 Tahun 2023 tentang implementasi moderasi beragama dan sekretariat bersama implementasi moderasi beragama, di mana disebutkan bahwa moderasi beragama menjadi tanggung jawab semua Kementerian dan Lembaga negara, baik pusat maupu daerah,” tutur Anshori.
Lebih lanjut, Anshori mengatakan kegiatan ini juga menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam rangka menyongsong penyelenggaraan Konferensi Moderasi Beragama Asia Afrika dan Amerika Latin (KMB-AAA) yang akan dilaksanakan pada 19-20 Desember 2023.
Ketua Program Sarjana Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, Dr. Aditya Y. Sulistyawan mengatakan kegiatan ini luar biasa. Kegiatan semacam ini yang kita butuhkan pada konteks saat ini. Tadi menyimak Mars Kementerian Agama juga luar biasa semangatnya mengingatkan kembali bahwa kita adalah Indonesia negara yang berbhineka tunggal ika. Bahwa kita beragama secara merdeka juga menghormati keyakinan agama yang lain di Indonesia.
“Sebagai bangsa Indonesia kita berbeda-beda tapi kita satu dalam Bhinneka Tunggal Ika. Dulu kita memahami bahwa kita berbeda tapi kita mempunyai kesamaan tujuan yang sama sebagai bangsa Indonesia,” tutur Aditya.
“Kita berbeda-beda, namun kita satu, saya analogikan ketika kita mengumpulkan kelereng berbeda-beda warnanya kita kumpulkan dengan 1 ember, kelereng tidak akan menyatu. Mereka tetap kelereng yang berbeda-beda, tapi kita ada dalam satu wadah yang sama yaitu Bineka Tunggal Ika,” kata Aditya.
“Kita membutuhkan kesadaran bersama untuk dapat memahami perbedaan termasuk dalam konteks perbedaan agama,” imbuhnya.
Aditya menjelaskan kita memiliki Pancasila dan Pancasila ini adalah kesepakatan kita sebagai bangsa Indonesia. Konteks pendidikan tinggi di perguruan tinggi, khususnya di Undip, kita memiliki banyak latar belakang mahasiswa dan dosen-dosen yang berbeda-beda. Kita mengakomodasi perbedaan ini dengan sedemikian rupa dalam konteks pendidikan.
Saat ini, kita mengenal kampus merdeka di mana mahasiswa dapat berkesempatan untuk mengambil studi di luar kampus di luar program studi masing-masing. Di Undip banyak kedatangan mahasiswa dari program studi dari kampus-kampus lain di Indonesia. Program seperti ini program pertukaran pelajar nasional.
“Undip memiliki mata kuliah modul nusantara. Dari mata kuliah ini menegaskan tentang bagaimana kita berbeda-beda tapi kita satu dalam bahasa Indonesia,” tandas aditya. (Fathurrozi/bas/sri)