Pakar Islam Dunia Bahas Isu-isu Multikultural di Indonesia

24 Nov 2014
Pakar Islam Dunia Bahas Isu-isu Multikultural di Indonesia

Balikpapan (23-11-2014). Para pakar Islam perwakilan tujuh benua  berkumpul di  Kota Balikpapan, Kalimantan Timur,  untuk mengkaji isu-isu strategis terkait multikulturalisme di Indonesia lewat forum Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) 2014.

Menteri Agama Lukman Hakim Saefudin  mengatakan, Kementerian Agama (Kemenag) selaku penyelenggara sengaja mengangkat  tema multikulturalisme dalam AICIS 2014  karena arus globalisasi yang semakin deras. Masuknya nilai-nilai asing ke Indonesia merupakan salah satu ancaman yang harus diwaspadai, karena paham baru bisa dengan mudah merusak generasi penerus bangsa. “Paham-paham itu ada yang tidak sesuai dengan konteks ke-Indonesia, dengan realitas di Indonesia. Seperti aliran ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) yang dengan mudah sekali memisahkan mereka-mereka yg tidak sepaham dengannya. Perbedaan itu justru menjadi landasan atau pijakan untuk saling bermusuhan bahkan bertumpahan darah. Ini yg harus kita waspadai,” ujar Lukman saat membuka AICIS 2014 di Balikpapan, kemarin malam.

Menurut Lukman, bagaimanapun kehidupan global maupun peradaban dunia harus memiliki makna menyeluruh untuk memahami arti multikulturalisme.  Apalagi Indonesia punya pengalaman panjang dalam menjalani kehidupan multikulturalisme. Meskipun masyarakatnya hidup di tengah-tengah perbedaan budaya, suku, bahkan agama, tapi tetap bisa hidup bersama sejak ratusan tahun lalu.

“Dalam kehidupan yang semakin mengglobal seperti sekarang ini, dimana kompetisi persaingan hidup semakin tinggi, maka kesadaran untuk hidup di tengah keberagaman semakin relavan. Jangan sampai perbedaan justru memecah belah kita. Tapi bagaimana perbedaan itu diambil spirit positifnya, bisa saling melengkapi, saling menyempurnakan, dan saling mengisin,” katanya.

Lukman menyebutkan paling  tidak ada lima isu krusial dan tantangan multikulturalisme di Indonesia saat ini. Pertama, perlunya perhatian terhadap posisi para penganut di luar enam agama yang diakui di Indonesia. Karena Para penganut  paham di luar enam agama resmi tersebut juga ingin diakomodasi di dalam berbangsa dan bernegara. “Hal ini yang kemudian menguat jadi perbincangan, perlu tidaknya paham mereka muncul secara eksplisit di KTP, termasuk dalam akta kelahiran, akta kematian, pernikahan, pendidikan, termasuk proses pemakamannya kalau meninggal dunia bagaimana,” ujar Lukman.

Isu kedua, negara perlu menyikapi munculnya gerakan paham atau keagamaan baru yang semakin lama semakin menunjukkan grafik peningkatan. “Bukannya di masa lampau tidak ada gerakan serupa, tetapi gerakan gerakan semacam ini tidak berani menunjukkan identitasnya karena takut sanksi hukum dari negara kala itu yang tidak seterbuka sekarang,” jelasnya.

Isu ketiga terkait pendirian rumah ibadah yang kadangkala menimbulkan konflik, baik kalangan intern masyarakat maupun antarumat beragama. Padahal, pendirian rumah ibadah semestinya tidak perlu memunculkan keresahan antarumat beragama jika terdapat kematangan beragama pada masing-masing umat beragama.

Keempat, kekerasan antarumat beragama, terutama terhadap kelompok minoritas. Sejatinya, kaum mayoritas dan minoritas terkait wilayah di mana konteksnya berada. Apalagi Indonesia berada dalam wilayah geografis yang sangat luas, sangat beragam, dan sangat flural. Artinya, tidak selamanya posisi golongan tertentu jadi mayoritas maupun minoritas. Dalam wilayah tertentu bisa jadi kondisinya berbalik.

Adapun isu kelima, terkait penafsiran agama yang sempit, literal dan konservatif yang pada gilirannya mengancam kelompok keagamaan yang memiliki tafsir berbeda. Misalnya jihat yang hanya ditafsirkan sebagai perang, padahal jihat adalah setiap usaha yang sungguh sungguh untuk mendapatkan Ridha Allah.

Lukman berharap, hasil dari konferensi ini tidak hanya sebatas kajian ilmiah tapi bisa jadi bahan untuk pengambilan kebijakan pemerintah ke depan, serta bisa memberikan kontribusi pada revolusi mental di Indonesia.

Direktur Pendidikan Tinggi Islam, Kemenag Dede Rosyada selaku  ketua panitia pelaksana melaporkan, dalam kegiatanAICIS ke-XIV itu hadir sejumlah pembicara dari luar negeri, seperti  Maroko, Mesir, Inggris,  Qatar,  Ameriksa, Afrika, Australia, dan Malaysia.  Mereka akan menyampaikan pandangannya  terkait isu-isu multikulturalisme sekaligus mengkaji makalah dari pera peniliti di Tanah Air. Dia menyebutkan, awalnya ada 1.006 makalah atau artikel ilmiah terkait tema multikulturalisme yang masuk ke panitia.  Akan tetapi, hanya 580 artikel yang memenuhi syarat, sementara artikel lain banyak yang tidak menyampaikan rekomendasi dari pimpinannya.

“Tapi 1.006 paper yang masuk itu sudah termasuk luar biasa. Dari 1.006 paper itu, ada 160 yang akan dipresentasikan di sini (forum AICIS),” katanya.

Konferensi  ini akan berlangsung hingga Senin (24/11) untuk membahas seluruh artikel ilmiah yang masuk.  Tim penilai melibatkan sejumlah profesor dan cendikiawan muslim di Tanah Air, di antaranya Azyumardi Azra (mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), dan Amin Abdullah, (mantan Rektor UINSunan Kalijaga Yogyakarta). Konferensi  tahunan ini juga dihadiri seluruh  Rektor IAIN dan STAIN seluruh Indonesia.

Dirjen Pendidikan Islam Kemenag Kamarudin Amin dalam sambutannya menjelaskan,  konferensi tahunan ini merupakan  forum yang  telah, akan dan terus menjadi kekuatan organisasi akademik yang penuh pesona dan prestisius. Konferensi ini akan menjadi saksi bahwa perguruan tinggi Islam di Indonesia bersama Kemenang akan terus berkontribusi dan memainkan peran-peran strategis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk itu, dia berharap  hasil penelitian dan kajian dalam konferensi ini dapat memberikan kontribusi yang masif demi kemajuan Islam Indonesia dan dunia.

Sumber: Pinmas (thomas pulungan/mkd)

Editor:
Apakah informasi di atas cukup membantu?

TERKINI

OPINI