Pancasila Tegak Berkat Kuatnya Peran Umat Islam
Jakarta (19 Juni 2017). Kepala Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI, Muharram Marzuki, mengatakan Pancasila bisa tegak sebagai konsensus bersama berkat kuatnya peran umat Islam. Oleh karena itu, kaum muslimin diharapkan mampu mengisi sekaligus berperan untuk tidak memposisikan Pancasila sebagai musuh.
Hal tersebut dikatakannya saat berbicara pada seminar kajian aktual bertema ‘Agama dan Penguatan Nilai-nilai Pancasila’ di Hotel Millenium Jakarta, Senin (19/6). “Sebaliknya kita jadikan nilai-nilai yang kita miliki sebagai pendukungnya. Kalaulah kita menjadikannya sebagai musuh, maka kita telah melanggar kesepakatan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,” tandasnya.
Muharram menambahkan, seminar sehari tentang Pancasila ini untuk sementara menyasar aktivis ormas keagamaan Islam. Hal ini dilakukan supaya ormas Islam memiliki cara pandang yang sama dalam menyikapi persoalan negara terutama terkait Pancasila.
“Saking gegap gempitanya, bahkan Presiden sampai menunjuk Pak Yudi Latif memimpin lembaga baru untuk pembinaan Pancasila ini. Sebenarnya, Pancasila sebagai konsensus bersama ini berkat peranan Islam yang sangat kuat,” ujar Ketua DKM Masjid Jami’ Matraman ini.
Oleh karena itu, pihaknya menilai pentingnya seminar tersebut sehingga ke depan kita tidak ingin ada ormas Islam yang membenturkan paham keislaman dengan Pancasila. “Tetapi lebih bagaimana memberikan makna bagi Pancasila sehingga menjadi pendorong keadilan bagi seluruh anak bangsa,” kata Muharram.
Sementara itu, Kepala Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP), Yudi Latif, yang didaulat sebagai narasumber mengatakan bahwa Pancasila merupakan jembatan penghubung agama-agama. Dalam sejarah, kita bisa meneladani Piagam Madinah di zaman Rasulullah di mana komunitas wilayah ini juga plural.
“Kalau agama semacam tower-tower atau menara menjulang yang ada penghuninya masing-masing. Gimana cara orang di masing-masing tower tersebut bisa terhubung satu sama lain, pasti dibutuhkan adanya jembatan,” kata Yudi.
Jembatan tersebut, lanjut dia, perlu supaya penduduk di semua tower agama bisa berhubungan. Jika agama vertikal, maka jembatan penghubung tersebut horisontal yang menghubungkan bagi semua. Jadi, tidak bisa dipersamakan antara Pancasila dengan agama. “Pancasila menjadi jembatan antargolongan untuk urusan publik. Artinya, Pancasila tidak ingin memasuki wilayah-wilayah kehidupan moralitas keluarga. Silakan mereka mengamalkan ajaran dan keyakinan privat masing-masing. Mau pakai ajaran agama atau adat istiadat,” ujarnya.
Tapi ketika mereka bertemu dalam kehidupan bersama, kita harus menghargai moral publik yang disebut Pancasila, yang tentu ini diilhami dari gagasan inti agama-agama tersebut. “Pasti setiap agama telah mempersiapkan umatnya untuk hidup berdampingan dengan kelompok lain,” tandas Yudi.
Apalagi Islam sebagai agama Ibrahim tergolong paling baru, di mana hidup sejak adanya masyarakat majemuk Islam sudah mengandung gagasan bagaimana berinteraksi dengan yang lain. Dan ini dipraktikkan Nabi Muhammad SAW di Madinah. Bagi dia, Indonesia merupakan model yang selama ini paling dibanggakan dunia. Pasalnya, masyarakat kita demikian majemuk, multi agama, multi identitas.
Selain Yudi Latif, dalam seminar yang diinisiasi Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan Balitbang Diklat Kemenag RI ini hadir dua narasumber lain, yakni Rais Syuriah PBNU K.H Masdar F. Mas'udi, dan Sekum PP Muhammadiyah Abdul Mu'thi. Dalam diskusi panel tersebut, peneliti senior, Abdul Aziz, didaulat sebagai moderator. []
Musthofa Asrori/diad