Pelajaran Toleransi Tanpa Basa-Basi dari Pak Flore

30 Agt 2024
Pelajaran Toleransi Tanpa Basa-Basi dari Pak Flore
Sholehuddin, widyaiswara Balai Diklat Keagamaan Surabaya. Saat ini mendapat tugas Instruktur Nasional Penguatan Moderasi Beragama Kemenag RI.

Jakarta (Balitbang Diklat)---Saya mengenal Pak Flore saat kami berada di pesawat dan kebetulan duduk bersebelahan. Saat itu, beliau sudah duduk bersama istrinya, dan saya mendapatkan kursi di sebelah jendela. Dengan senyuman ramah, beliau mempersilakan saya untuk duduk.

Ketika saya sedang mengambil video panorama laut dan gunung yang indah, beliau berkata, "Bagus ya, Pak?" tanya Pak Flore. "Ya, Pak, bagus sekali," jawab saya. Dari perkenalan itu, saya mengetahui bahwa beliau adalah orang asli suku Manggarai yang tinggal di Labuan Bajo.

Perbincangan kami pun berlanjut. Menurut Pak Flore, masyarakat Manggarai yang mayoritas beragama Katolik sangat terbuka terhadap umat beragama lain, termasuk umat Muslim. Bahkan, dalam keluarganya sendiri banyak yang beragama Islam. Pak Flore tidak ragu untuk mengingatkan keponakannya yang Muslim agar menjalankan ajaran agamanya dengan baik. Suatu ketika, pada hari Jumat, seorang keponakannya yang Muslim berkunjung ke rumahnya. Melihat keponakannya enggan menunaikan salat Jumat, Pak Flore langsung menegurnya, "Ambil sajadah, berangkat kau ke masjid," perintahnya. "Untuk apa kamu menjadi Muslim jika tidak taat," tegasnya.

Bagi Pak Flore, hidup ini sementara, maka berbuat baik kepada siapa saja tidak boleh ditunda. Baginya, kebaikan tidak memandang agama. Dia meyakini bahwa kebaikan yang disemai bersama-sama akan menjadikan hidup ini damai bagi semua orang. Menurutnya, di Kabupaten Manggarai, praktik saling membantu dalam ibadah lintas agama sudah lama berjalan. Ketika ada perayaan ibadah umat Kristen dan Katolik, pemuda Muslim yang menjaga keamanan. Sebaliknya, saat ada perayaan ibadah umat Islam, para pemuda Kristen yang menjaga. Inilah yang disebutnya sebagai toleransi tanpa basa-basi, yang berlangsung secara kultural dan membudaya.

Di lingkungan kerja sebagai pengawas sekolah, Pak Flore juga sering mengajak rekan-rekannya untuk menjaga harmoni. "Coba dicek di kitab suci, mana ada yang mengajarkan kekerasan," ujarnya kepada teman-temannya. Tidak heran, jika Pak Flore menjadi tempat sharing bagi rekan-rekannya.

Mental model seperti yang dimiliki Pak Flore penting dimiliki oleh setiap umat beragama. Tujuannya adalah untuk merawat keberagaman. Jika mental model umat beragama salah, hal itu bisa memicu tindak kekerasan berbasis agama. Bajo, Manggarai, dan Komodo telah memberikan pelajaran penting tentang arti toleransi tanpa basa-basi. Toleransi bukan sekadar slogan dan seremonial, tapi diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

 

 

Penulis: Sholehuddin
Sumber: Sholehuddin
Editor: Abas dan Sri Hendriani
Apakah informasi di atas cukup membantu?

TERKINI

OPINI