Pelaku Pendidikan Keagamaan di Perbatasan Negara Tidak Boleh Berkecil Hati

15 Sep 2016
Pelaku Pendidikan Keagamaan di Perbatasan Negara Tidak Boleh Berkecil Hati

Kupang (15 September 2016). Pelaku Pendidikan Agama dan Keagamaan di daerah perbatasan negara tidak boleh berkecil hati dalam melakukan tugasnya. Dahulu para ulama yang saat ini dikenal sebagai tokoh bangsa seperti KH Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan adalah pelaku-pelaku agama yang medannya sama atau bahkan lebih berat dibandingkan daerah perbatasan negara saat ini. Sekarang di daerah perbatasan negara sudah banyak yang teraliri listrik, jaringan layanan handphone, dan jalan yang mulus sehingga memudahkan orang untuk datang, tinggal, dan pergi. Bayangkan para ulama awal pengembangan agama mengalami banyak kesulitan datang ke pelosok-pelosok daerah karena tidak ada fasilitas yang tersedia.

Demikian pernyataan disampaikan Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, Prof. H. Abdurrahman Mas’ud, Ph.D. pada acara Workshop Perumusan Model Pendidikan Agama dan Keagamaan di daerah Perbatasan Negara, yang diselenggarakan Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan di Neo Hotel Aston, Kupang, 15 September 2016.

Selanjutnya, Mas’ud menyatakan ada beberapa tipologi kyai atau ulama dalam memberikan layanan agama dan keagamaan di Indonesia. Dari hasil penelitiannya, ia menunjukkan ada lima model kyai: kyai ensiklopedis, kyai spesialis, kyai spiritualis, kyai pergerakan, dan kyai keliling. Kyai ensiklopedis serba tahu dan banyak menghasilkan karya tulis seperti Kyai Nawawi Al-Bantani. Kyai spesialis mempunyai keahlian khusus di bidang ilmu agama tertentu seperti Kyai Mahfudz Termas. Kyai spiritualis mempunyai kedalaman batin dan mampu membaca pikiran orang seperti Kyai Kholil Bangkalan. Kyai pergerakan aktif dalam menggerakkan masyarakat termasuk dalam usaha memajukan bangsa merebut kemerdekaan di zaman penjajahan seperti KH Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan. Terakhir, kyai keliling yang lebih memilih berdakwah berkeliling ke pelosok-pelosok seperti Kyai Raden Asnawi Kudus.  

Pada kesempatan ini, Mas’ud juga menyinggung jumlah umat yang sedikit tidak boleh jadi alasan untuk merasa kalah dan tidak kreatif. Ia mencontohkan, di Amerika ada sekelompok mahasiswa Islam di University of California Los Angeles (UCLA). Sekalipun jumlahnya sedikit, mereka mampu membuat koran yang oplahnya hingga ribuan. “Itu artinya sekalipun jumlahnya kecil, kelompok mahasiswa mampu memengaruhi opini masyarakat lokal yang jmlahnya banyak,” ungkapnya. “Demikian juga dalam melihat perkembangan Islam di NTT ini. Alasan jumlah umat yang sedikit tidak bisa dijadikan alasan untuk tidak berdaya,” ungkapnya lagi. 

Workshop ini dihadiri Kepala Kanwil Kemenag Provinsi Nusa Tenggara Timur Drs. Sarman Marcelinus. Dalam sambutannya, ia mengucapkan selamat datang dan terima kasih kepada Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan yang melaksanakan kegiatan di Kupang. Menurutnya, posisi NTT berada di perbatasan negara ternyata menjadi tempat yang menarik untuk dijadikan kajian kelitbangan. Ia menambahkan kerukunan di NTT merupakan modal utama yang dimiliki provinsi ini dalam memajukan agama. “Karena itu, ia berharap workshop ini mampu menghasilkan pemikiran dan terobosan pendidikan agama dan keagamaan yang mengedepankan kerukunan beragama dan kemajuan masyarakat,” ujarnya.

Sementara itu, Kepala Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan, Dr. HM. Hamdar Arraiyah, menyatakan kajian pendidikan agama dan keagamaan penting, karena sudah diamanahkan Undang-undang bahwa layanan pendidikan agama menjadi hak warga negara dimanapun tempatnya, termasuk di daerah perbatasan negara seperti NTT. “NTT yang mempunyai garis perbatasan dengan dua negara yaitu Timor Leste dan Australia menjadi lokasi yang penting untuk kajian ini. Paradigma menjadikan daerah perbatasan sebagai latar depan bangsa menjadi salah satu pertimbangan pelaksanaan workshop ini,” ungkapnya.

Kegiatan ini diikuti perwakilan pesantren di dataran Pulau Timor bagian Indonesia, para penyuluh agama, guru agama, pengasuh majlis taklim, dosen, mahasiswa, dan organisasi masyarakat di daerah Kupang dan sekitarnya. Workshop diselenggarakan selama tiga hari (14-16 September 2016). Turut hadir sebagai peninjau sekaligus memberikan pembanding pengasuh pesantren Bina Insan dari Tabanan Bali dan dosen dari Perguruan Islam As’adiyah di Sengkang Sulawesi Selatan.

Bertindak selaku narasumber Prof. Dr. Munandjar Widiatmoko (Universitas Cendana, Kupang); praktisi pendidikan agama dan keagamaan di perbatasan negara; Drs. Husen (Kabid Pendis Kemenag Kanwil Provinsi NTT); Dr. Waryono (Pembantu Rektor II UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta); Drs. Halim (Dompet Dhuafa Republika Jakarta); dan beberapa tokoh masyarakat setempat.

Kepala Bidang Litbang Pendidikan Nonformal/Informal Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan, Dr. M. Murtadlo, mengatakan kegiatan ini merupakan workshop lanjutan mencari rumusan layanan pendidikan agama dan keagamaan di daerah tertinggal dengan kategori daerah perbatasan negara. Sebelumnya, pernah dilaksanakan di Provinsi Jambi untuk mengetahui model layanan pendidikan untuk masyarakat tertinggal pada Komunitas Suku Anak Dalam. “Terakhir, insya Allah akan dikaji juga layanan pendidikan agama dan keagamaan di daerah tertinggal dengan kategori daerah pesisir (maritim),” ungkapnya. (mtd/bas)

Editor:
Apakah informasi di atas cukup membantu?

TERKINI

OPINI