PEMIMPIN PEMBELAJAR
Muchammad Toha
Kepala Balai Diklat Keagamaan Surabaya
Berbicara kepemimpinan sampai kapanpun tetap menarik karena selama keluarga yang merupakan bagian terkecil dari masyarakat ada, maka kepemimpinan selalu penting adanya. Bahkan sering kita dengar, ketika kita berjalan lebih dari seorang maka diantara kita harus ada yang menjadi pemimpin, bahkan sering pula kita dengar pemimpin yang buruk akan lebih baik dari pada tanpa pemimpin.
Masih tentang kepemimpinan pula bahwa setiap diri kalian adalah pemimpin dan setiap diri kalian akan mempertanggungjawabkan kepemimpinan kalian. Begitu penting kepemimpinan ini dalam mengatur diri pribadi apalagi menata suatu komunitas, sehingga tidak salah bila ada yang berkeyakinan keberhasilan gilang-gemilang suatu karya monumental yang harus diselesaikan secara tim (bersama) tidak pernah lepas dari sentuhan kepiawaian pribadi seorang pemimpin.
Begitu pentingnya seorang pemimpin dalam masyarakat sehingga negara ini harus menyediakan anggaran lumayan besar untuk kebutuhan lima tahun sekali baik untuk pemilihan kepemimpinan pusat, regional maupun daerah. Bahkan masyarakat sendiri juga tidak merasa keberatan untuk mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk menghadirkan atau bahkan menjadikan dirinya sendiri termasuk dalam jajaran pemimpin, misalnya dalam pemilihan kepala desa.
Disamping itu negara ini juga membangun lembaga dan menganggarkan dengan penuh perhitungan untuk melahirkan pemimpin-pemimpin yang tidak saja cerdas dan pintar tapi juga tangguh dan berkepribadian, sehingga berdirilah lembaga pembentukan mulai dari institusi sekolah, tempat kediklatan hingga Lemhannas yang harus dimasuki seorang calon pemimpin, baik yang berasal dari kalangan sipil maupun militer, maka dibangunlah Sekolah Staf dan Pimpinan (Sespim) Polri, Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (Seskoad), bagi kalangan sipil cukup familier dengan Diklat Kepemimpinan sesuai levelnya.
Ada yang berpendapat kepemimpinan tidak harus melalui lembaga khusus karena kepiawaian untuk memimpin itu sesuatu yang ada dalam diri sehingga setiap person akan memiliki stile yang khas dan tidak sepadan dengan yang lain, tentunya pendapat demikian ini akan mengatakan bahwa kepemimpin itu adalah seni bukan ilmu, dikatakan seni karena lebih didasari dengan kemampuan yang memang muncul dari diri pribadi seseorang terutama dalam mengatur dan menyelesaikan problem pribadi maupun bersama.
Walaupun pendapat yang mengatakan kepemimpinan adalah seni itu ada benarnya, namun sejarah mencatat bahwa lahirnya seorang pemimpin tidak pernah lepas dari pengaruh seorang tokoh (pemimpin) lain kendatipun popularitas dan keberhasilannya berbeda masa dan tempatnya. Karena itu lalu muncul ungkapan bahwa setiap tokoh ada masanya, setiap masa ada tokohnya, setiap tokoh ada tempatnya, setiap tempat ada tokohnya.
Sampai hari ini hampir sebagian besar masyarakat Indonesia atau bahkan dunia sepakat bahwa Bung Karno adalah pemimpin hebat yang tidak saja cerdas tapi juga kharismatik dan mempesona tapi tentunya tidak semua orang tahu bahwa dibalik kehebatan kepemimpinan Sang Proklamator Indonesia ini terselip kepiawaian memimpin yang dimiliki seorang Haji Oemar Said Cokroaminoto yang mendapat julukan raja Jawa tanpa mahkota. Seorang tokoh politik yang berwawasan luas retorikanya sangat bagus, kehadirannya di setiap panggung dan podium begitu memukau laksana magnet pergerakan untuk Indonesia merdeka, pada tokoh inilah Bung Karno dititipkan oleh Raden Soekemi Sosrodihardjo atau ada yang menyebut Soekeni Sosrodihardjo (ayahanda Bung Karno).
Meskipun dalam beberapa literatur dibahasakan dengan indekos (kos) namun sejatinya kehadiran Bung Karno lebih dari seorang anak kos di rumah HOS Cokroaminoto yang terletak di Kampung Peneleh Surabaya. Terbukti penempaan HOS Cokroaminoto terhadap diri Bung Karno sungguh sangat berhasil sehingga menjadikan Bung Karno seorang pemimpin tangguh, bahasanya menggema, retorikanya membuat terkesima orang yang mendengarkannya, cerdas berwibawa, begitu bangganya HOS Cokroaminoto terhadap Bung Karno sehingga dijodohkannya dengan Oetari (putrinya sendiri) walaupun perjodohannya tidak berlangsung lama.
Bila ditilik lebih jauh lagi keatas ternyata dari segi genealogi HOS Cokroaminoto sampai pada Kiai Kasan Besari (sesuai pelisanan Jawa) sedangkan maksudnya Kiai Hasan Basri Tegalsari Ponorogo yang merupakan tokoh besar pada zamannya, tempat tinggalnya diberikan status sebagai tanah perdikan oleh Keraton Kasunanan Surakarta, sebagai daerah perdikan dari kata mahardika (merdeka dalam Bahasa Indonesia) maka masyarakat disekitar Kiai Kasan Besari berada dibebaskan dari membayar pajak dan gugur gunung (pengerahan kerja bakti untuk Kerajaan) dengan konsekuensi Kiai Kasan Besari harus mendidik calon pemimpin dan para prajurit utama Keraton Surakarta sehingga menguasai ilmu keagamaan, ilmu kenegaraan, ilmu kanuragan, sampai ilmu olah kebatinan.
Disinilah disiapkan seorang calon pemimpin yang memahami jaya kawijayan guna kasantikan lepas sangkan paraning dumadi, salah satu tokoh didikan Kiai Kasan Besari adalah Raden Bagus Burham (sesuai pelisanan Jawa) maksudnya Burhan yang populer dengan Raden Ngabehi Ronggowarsito seorang pujangga besar Keraton Surakarta yang sangat legendaris sampai hari ini khususnya di Tanah Jawa yang karyanya terus dikaji baik dalam bentuk buku (primbon) atau yang bertebaran diberbagai blog media sosial elektronik dunia maya.
Begitu hormat dan menghargai Bung Karno terhadap Raden Ngabei Ronggowarsito sampai melakukan pemugaran makamnya yang terletak di Desa Palar, Kecamatan Trucuk, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, kemungkinan apa yang dilakukan Bung Karno bukan saja sebagai pengakuan terhadap keilmuannya termasuk penguasaan daya futurology yang dimiliki pujangga besar ini, tapi lebih dari itu antara Bung Karno dengan Raden Ngabei Ronggowarsito berguru pada satu aliran darah walaupun generasi dan masanya berbeda.
Pembelajaran kepemimpinan dalam masyarakat Jawa ternyata telah lama ada dan barangkali masih diyakini efektif hingga zaman sekarang. Salah satu metodenya adalah nyuwito yang berasal dari kata suwito (Bahasa Jawa – Sanskerta) artinya mengabdi atau berguru, sehingga yang dimaksud dengan nyuwito yaitu belajar untuk untuk memimpin dengan cara mengabdi atau berguru secara langsung pada seorang pemimpin (tokoh) besar pada stratanya masing-masing.
Karena pada dasarnya mempelajari kepemimpinan idealnya memahami stratifikasi sosial, maka belajar memimpin biasanya awal suatu ikhtiar untuk membangun strata dalam kehidupan seseorang karena dalam teori sosiologi strata sosial dapat diperoleh melalui achieved status dan ascribed status. Achieved status yaitu status (strata) yang diperoleh karena usaha sendiri seseorang sehingga dapat menduduki strata tertentu, contohnya nyuwito, ngawulo, ngenger, magang dan lain sebagainya, sedangkan ascriebed status adalah strata tertentu yang diterima seseorang tanpa berusaha sendiri karena bersifat turunan, misalnya dalam sejarah pemerintahan di Jawa pada masa lampau, putra adipati menjadi adipati, putra tumenggung menjadi tumenggung, sehingga begitu lahir akan langsung menyandang gelar pangeran (pangengeran) atau rahadyan (raden), maka pulungnya mengikuti rembesing madu trahing kusumo.
Dari kenyataan inilah sedikit dapat menjawab fakta kenapa dalam sejarah kepemimpinan tradisional khususnya di Jawa keberadaan pemimpin (tokoh) sering diikuti cantrik kinasih (murid tercinta) yang selalu melayani kebutuhan dan menemani dimana seorang tokoh (pemimpin) berada.
Contoh yang lebih jelas dalam pembelajaran kepemimpinan di Jawa ini dapat dikaji dari suatu kisah ketika seorang pemuda bernama Danang Sutowijoyo putra Ki Ageng Pemanahan menghadap Sultan Hadiwijaya alias Joko Tingkir alias Mas Karebet penguasa Kerajaan Pajang untuk memohon agar diperkenankan nyuwito kepada sultan, ternyata permohonan itu dikabulkan sultan dan ditugaskan sebagai pakatik (mengurus kuda kerajaan).
Pemuda Danang Sutowijoyo berhasil menyerap berbagai ilmu dari seorang sultan yang menjadi pangengerannya, selama dia bergaul dan melayani sultan dia jadikan sarana pembelajaran bagi diriya, dengan sabar dia melihat, mendengar dan memperhatikan apa yang dilakukan seorang sultan dan ringkasnya apa yang dilakukan Danang Sutowijoyo melahirkan lompatan status yang luar biasa, dari status seorang pakatik menjadi Sultan Mataram Islam dan bahkan lebih dari itu berhasil mengalahkan Kerajaan Pajang. []
M. Toha/diad