Pendataan Umat Konghucu Harus Dimulai dari Penertiban Rumah Ibadat
Tanjung Pinang (26 April 2017). “Umat Konghucu memang belum bisa didata secara maksimal. Itu akibat Kebijakan Presiden Soeharto yang memaksa kami beribadah secara internal dan tidak mencolok di depan umum. Selama itu kami melaksanakan ibadah bersama di Kelenteng bersama umat Buddha. Bila dengan Kebijakan Pemerintahan Gusdur sekarang kami diakui sebagai agama tersendiri dan diperlukan pendataan umat, maka yang harus dilakukan terlebih dahulu adalah penertiban rumah ibadah”, demikian yang terungkap dari lisan Soedarmadi saat berbincang santai di sebuah warung makan di depan Hotel Comfort Tanjung Pinang hari Jumat (21/4) lalu.
Pernah pada satu kesempatan kami ditanya tentang berapa jumlah umat Konghucu dalam satu pertemuan bersama tokoh-tokoh agama di Batam, akhirnya kami lemparkan jawabannya kepada Pimpinan Walubi yang hadir saat itu. Saat beliau jawab 1000 orang, maka kami pun bilang jumlah yang sama, cerita Soedarmadi diiringi ketawa kecil. Bukan lain, karena memang sejauh ini umat kami memang “menyatu” dengan umat Buddha, imbuhnya.
Sebagaimana diketahui, Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000 mencabut Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 Tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina. Dalam diktum menimbang disebutkan bahwa selama ini pelaksanaan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, Adat Istiadat Cina dirasa oleh Warga Negara Indonesia keturunan Cina telah membatasi ruang geraknya dalam menyelenggarakan kegiatan keagamaan, kepercayaan, Adat Istiadatnya.
Selain itu, disebutkan bahwa penyelenggaraan kegiatan agama, kepercayaan, dan adat istiadat pada hakikatnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari hak asasi manusia. Dengan adanya Keppres ini, Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina dicabut dan penyelenggaraan kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat istiadat Cina dilaksanakan tanpa memerlukan izin khusus sebagaimana berlangsung sebelumnya. Keputusan Tersebut berlaku sejak 17 Januari 2000.
Penjelasan Ketua Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (MATAKIN) Kepulauan Riau tersebut seirama dengan Kasubag Kerukunan Umat Beragama (KUB) Kanwil Provinsi Kepri M. Siddiq. Menurutnya, sejauh ini sulit dilakukan pendataan karena rumah ibadah mereka bareng dengan umat Buddha. Selain itu, ada juga keengganan pada umat Konghucu untuk pindah status agama resmi mereka dikarenakan tidak mau ribet untuk membuat KTP.
Apa yang diungkap oleh Ketua Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (MATAKIN) Kepulauan Riau tersebut merupakan temuan lapangan saat penjajakan Penelitian Peta Umat Konghucu di Tanjung Pinang yang dilaksanakan dari tanggal 18 sampai 22 April 2017 kemarin. Peneliti juga mendapatkan bahwa keberadaan masyarakat Tionghoa di Tanjung Pinang ternyata cukup tua, setidaknya ini terindikasi dari salah satu Kelenteng di sana yang tercatat berdiri pada tahun 1817. Temuan ini menjadi penguat alasan kenapa penelitian ini begitu penting dilaksanakan di provinsi yang secara geografis tetangga dengan Singapura ini. []
Edijun/diad