Pendidikan Agama Bercorak Moderat dan Bela Negara, Sarana Efektif Menangkal Radikalisme
Jakarta (29 Maret 2016). Pendidikan agama bercorak moderat dan bela negara, sarana efektif menangkal radikalisme. Demikian disampaikan oleh Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Prof. H. Abd. Rahman Mas’ud, Ph.D. saat mewakili Menteri Agama menjadi narasumber pada Seminar Nasional Kurikulum Pertahanan dan Bela Negara Universitas Pertahanan yang diselenggarakan oleh Kementerian Pertahanan RI di Jakarta, 29 Maret 2015.
“Indonesia yang dikenal dengan negara yang ramah tamah dan toleran belakangan sedikit tercederai dengan arus radikalisme yang terjadi dalam masyarakat. Radikalisme berbentuk menguatnya sikap permusuhan antarumat beragama, menghasut, memprovokasi, bahkan dalam bentuk kekerasan”, ujar Mas’ud.
Mas’ud menegaskan, berdasarkan penelitian Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama tentang pola aktivitas kelompok keagamaan di kalangan mahasiswa pasca reformasi menunjukkan bahwa potensi radikalisme yang berbasis pada pemahaman ideologis yang cenderung kaku, tekstualis, dan hitam putih terjadi di semua agama, baik di lingkungan mahasiswa Muslim, Katolik, Kristen, Hindu maupun Buddha.
Mas’ud menambahkan benih-benih munculnya tindakan kekerasan dengan motif agama adalah pemahaman keagamaan yang bercorak literal-skiptural dan cenderung eksklusif yang mengarahkan penganutnya untuk tidak toleran terhadap perbedaan dan kemajemukan.
Oleh karena itu, menurut Mas’ud, langkah konkret yang dilakukan dalam usaha kontra-radikalime adalah melalui pendidikan agama yang moderat dan kesadaran bela negara. Pesantren dalam banyak ragamnya merupakan lembaga kegamaan yang dapat menjadi basis utama dalam menanamkan bela negara dengan mengutamakan pembentukan pola pikir berbangasa dan memperkuat ideologi Pancasila.
Di akhir paparan, Mas’udmengatakanpendidikan agama dan pendidikan bela negara perlu dikaitkan dengan common issues yang lebih menyentuh kebutuhan dasar manusia seperti kesejahteraan ekonomi (entrepreneurship), kesehatan (reproduksi), kesetaraan gender (gender equity), kepemerintahan yang baik (good governance), dan rembuk bersama para pemimpin agama tentang permasalahan sosial; terlebih tentang toleransi dan penghargaan perbedaan. (hb/bas/rin).