PENDIDIKAN KEAGAMAAN BAGI KELOMPOK-KELOMPOK KHUSUS

9 Agt 2010
PENDIDIKAN KEAGAMAAN BAGI KELOMPOK-KELOMPOK KHUSUS

PENDIDIKAN KEAGAMAAN BAGI KELOMPOK-KELOMPOK KHUSUS 

 

Salah satu aspek yang layak dicermati dari penanganan terhadap kelompok-kelompok khusus ini adalah bagaimana pendidikan agama diberikan kepada mereka. Pendidikan keagamaan bagi kelompok ini penting dilihat karena dua alasan. Pertama, ada sebuah asumsi umum yang menyatakan bahwa salah satu alasan penting yang memicu maraknya persoalan sosial adalah kurang tertanamnya pendidikan agama dalam masyarakat. Asumsi ini kemudian melahirkan berbagai treatment keagamaan di kawasan rumah bordil, panti rehabilitasi pecandu narkoba, dan lembaga-lembaga pemasyarakatan. Kedua, meskipun penting, pendidikan keagamaan di kelompok-kelompok khusus ini masih dilihat sebelah mata, terutama oleh pemerintah. Artinya, belum ada suatu cetak biru yang disusun dan bersifat baku terkait bagaimana pendekatan, model, dan kurikulum pendidikan agama yang diperuntukkan bagi kalangan ini. Selama ini pendidikan keagamaan bagi kelompok-kelompok khusus ini diselenggarakan secara mandiri oleh masyarakat. Akibatnya, selain penyelenggaraannya sangat bergantung kepada kesadaran masyarakat setempat sehingga tidak ada akses yang sama, orang juga tidak bisa mengukur apakah suatu penyelenggaraan pendidikan keagamaan tersebut akan berhasil atau tidak.

 

Secara singkat perlu digambarkan bahwa dalam penelitian yang telah dilakukan di 6 kota di Propinsi Jawa Timur, Jawa Barat, Lampung, Sumatera Barat, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Selatan didapatkan betapa minimnya peran pemerintah dalam penyelengaraan pendidikan keagamaan bagi kelompok-kelompok khusus. Jika pun ada, peran tersebut diambil oleh instansi yang kurang relevan; dinas sosial. Instansi-instansi yang semestinya berkompeten seperti Departemen Agama dan Departemen Pendidikan Nasional malah kurang aktif mengambil peran. Akibatnya, pendidikan agama bagi kelompok-kelompok khusus tersebut tereduksi hanya sebagai pembinaan spiritual. Pendidikan agama tidak terselenggara sebagaimana layaknya suatu kegiatan pendidikan pada umumnya. Penelitian ini mencoba menelusuri persoalan tersebut dengan merumuskan masalah penelitian bagaimana formula kebijakan, peran masyarakat dan implementasi pendidikan keagamaan pada kelompok khusus.

 

      Tujuan Penelitian untuk :

1. Menganalisa aspek-aspek makro dari pendidikan keagamaan kelompok-kelompok khusus

2. Menganalisa aspek-aspek meso dari pendidikan keagamaan kelompok-kelompok khsusus

3.Menganalisa aspek-aspek mikro dari pendidikan keagamaan kelompok-kelompok khsusus

4. Merumuskan rekomendasi kebijakan bagi Departemen Agama bagi pembuatan cetak biru pendidikan keagamaan untuk kelompok-kelompok khusus dan marjinal

 

Metode

Lokasi penelitian : Surabaya, Bandung, Padang, Makassar, Lampung dan NTB. Subyek penelitian ini adalah enam kelompok masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan keagamaan bagi kelompok-kelompok khusus. Enam kelompok masyarakat ini diambil dari enam kota/kabupaten di enam Provinsi di Indonesia. Mereka diambil berdasarkan kategori karakter kelompok-kelompok khusus yang ada.

Informan penelitian ini terdiri atas dua kategori, yaitu pihak internal yang meliputi pengurus institusi, pendidik, peserta didik dan eksternal yang terdiri atas tokoh masyarakat setempat, aparat pemerintah lokal; Dinas Sosial/Kementerian Agama, praktisi pendidikan/NGO Pendidikan lokal dari setiap kelompok yang diteliti.

Teknik pengumpulan data ini terdiri atas wawancara mendalam, observasi, dan studi dokumen.

Analisis data dari penelitian ini dilakukan dengan tahapan-tahapan berikut. (1) Peneliti mengumpulkan semua data yang terkumpul dan memilah-milahnya berdasarkan aspek makro, messo, dan mikro. (2) Untuk hasil temuan di tiap-tiap daerah dinarasikan secara deskriptif berdasarkan topik-topik yang disusun dalam format penulisan laporan. (3)  Untuk hasil temuan secara keseluruhan dilakukan komparasi dengan hasil-hasil temuan di tiap-tiap lokasi berdasarkan aspek-aspek makro, meso, dan mikro. (4) Selain itu juga dilakukan komparasi untuk menemukan pola karakteristik pendidikan keagamaan yang berbeda antara kelompok satu dengan kelompok lain.

 

Temuan :

 

<!--1. Berdasarkan aspek institusi/tokoh, pendidikan keagamaan kelompok-kelompok khusus melibatkan aktor yang beragam. Namun, yang paling banyak terlibat adalah organisasi masyarakat dan pemerintah. Keduanya kadang terlibat secara bersama-sama, tetapi kerap sendiri-sendiri. Untuk kasus pecandu narkoba di Padang, yang terlibat hanya pemerintah. Sedangkan untuk pendidikan keagamaan nelayan di Mataram, yang terlibat hanya organisasi masyarakat. Dalam kasus pendidikan keagamaan buruh pelabuhan di Makassar terlibat pula individu.

2.  Biaya untuk pendidikan keagamaan kelompok-kelompok khusus tersebut, rata-rata melibatkan pemerintah, walaupun dengan derajat yang berbeda-beda, ada yang penuh, seperti dalam kasus pecandu narkoba di Padang dan LP Rajabasa di Lampung, adapula yang terbatas, misalnya dalam kasus nelayan Mataram dan buruh pelabuhan Makassar. Selain pemerintah, yang terlibat dalam pembiayaan tersebut adalah organisasi masyarakat dan individu. 

 

3.  Fasilitas untuk pendidikan keagamaan kelompok-kelompok khusus tersebut ada yang memadai (fasilitas untuk penanganan pecandu narkoba di Padang dan LP Rajabasa di Lampung), cukup memadai (Dolly dan Saritem, yang juga melibatkan pemerintah) dan kurang memadai (Mataram dan Makassar, yang lebih banyak dikelola organisasi masyarakat/individu).

 

4. Tenaga pendidik umumnya dari kalangan internal organisasi/lembaga/individu yang mengelola pendidikan keagamaan kelompok-kelompok khusus tersebut. Ada pula pelibatan pihak-pihak eksternal, yang biasanya tokoh yang cukup dipandang atau orang yang memiliki keahlian khusus yang tidak dipunyai kalangan internal, seperti terlihat dalam kasus Dolly, Saritem, buruh pelabuhan Makassar, dan LP Rajabasa Lampung.

 

5. Peserta yang mengikuti aneka program dalam rangka pendidikan bagi kelompok-kelompok khusus tersebut meliputi pekerja seks dan germo (Dolly), pecandu narkoba (Padang), nelayan dan masyarakat umum (Mataram), pekerja seks dan germo (Saritem), buruh pelabuhan dan masyarakat umum (Makassar), dan narapidana (LP Rajabasa).

 

6. Materi yang diberikan dalam berbagai pendidikan keagamaan bagi kelompok-kelompok khusus itu relatif sama di semua lokasi penelitian, yaitu mencakup teori ibadah, perilaku islami, dan praktik ibadah.Begitupun dengan metode yang diberikan, rata-rata sama, meliputi bimbingan langsung (tatap muka) secara intensif, ceramah, dan praktik dengan panduan dari pembimbing.

 

7. Peran pemerintah terhadap pendidikan keagamaan kelompok-kelompok khusus dapat dilihat dari berbagai aspek. Dari aspek kebijakan setidaknya ada beberapa pola. Pertama, pemerintah mengeluarkan kebijakan khusus terkait dengan kasus (Dolly, Saritem, LP Rajabasa). Kedua, pemerintah hanya mengeluarkan kebijakan yang sifatnya umum (Mataram, Makassar). Ketiga, pemerintah tidak memiliki kebijakan spesifik karena kasus tersebut biasanya dianggap sebagai pekerjaan khusus suatu lembaga (pecandu narkoba di Padang.

 

8. Dukungan yang diberikan masyarakat, kelompok/organisasi maupun individu, terhadap pendidikan keagamaan kelompok-kelompok khusus, kebanyakan berupa dana, SDM. Untuk Mataram dan Makassar adapula dukungan fasilitas fisik. Bandung dan Surabaya ditambah dengan dukungan moral. Untuk Lampung hanya dukungan SDM. Sedangkan Padang hanya dukungan moral. Proses pelibatan masyarakat dalam program pendidikan keagamaan mencakup dua kategori, yaitu masyarakat (organisasi/lembaga atau individu) langsung berinisiatif dan terlibat dalam program-program tersebut dan masyarakat terlibat ketika diminta oleh organisasi/lembaga lain yang membutuhkan, seperti yang terjadi pada kasus pecandu narkoba di Padang dan narapidana di LP Rajabasa Lampung.  Intensitas peran masyarakat dalam pendidikan keagamaan kelompok-kelompok khusus paling tidak terbagi kedalam dua kategori, yaitu intensif dan kurang intensif. Yang intensif terjadi di Dolly, sedangkan kurang intensif di Padang. Pada kasus-kasus lainnya (Mataram, Saritem, Makassar dan Lampung), ada kegiatan yang melibatkan masyarakat secara intensif dan adapula yang kurang intensif.

 

 

Rekomendasi

<1. Perlu ditekankan adalah bagaimana seluruh pemangku kepentingan berperan dalam pendidikan keagamaan kelompok-kelompok khusus.

2. Dalam enam kasus yang diteliti, tidak semau pemangku kepentingan terlibat dalam pembiayaan tersebut. Jika pun ada, jumlahnya terbatas. Karenanya, para pemangku kepentingan perlu didorong untuk terlibat dalam pembiayaan sesuai dengan kemampuannya masing-masing.

3. Untuk memperluas jaringan sosial, pengayaan materi dan metode pembelajaran, pendidik/pembimbing dalam pendidikan keagamaan kelompok-kelompok khusus perlu juga melibatkan pihak lain (eksternal) diluar yang disediakan oleh lembaga. Ini khususnya direkomendasikan bagi pendidikan keagamaan terhadap pecandu narkoba di Padang dan nelayan di Mataram.

4. Metode pendidikan keagamaan perlu juga diarahkan untuk memenuhi kebutuhan psikologis (individual). Konsultasi individual adalah salah satu yang bisa dilakukan. Metode lain yang bisa diberikan dalam pendidikan keagamaan tersebut adalah memasukkan cerita sukses(success story) yang disampaikan oleh orang-orang yang mengalami hal itu, misalnya bekas pekerja seks yang sukses sebagai pedagang atau narapidana yang berhasil sebagai wiraswasta, dan sebagainya.

5. Salah satu bentuk dukungan pemerintah terhadap pendidikan keagamaan kelompok-kelompok khusus adalah aspek kelembagaan. Dalam hal ini perlu ada lembaga khusus yang relevan, misalnya Dinas Sosial, Dinas Pendidikan atau Kanwil Depag, yang mengkoordinir lembaga-lembaga pemerintah lainnya dan organisasi masyarakat serta individu/tokoh untuk menyelenggarakan pendidikan keagamaan kelompok-kelompok khusus. Secara khusus, Depag/Kanwil Depag bisa menyediakan SDM, materi, dan metode pengajaran dalam rangka pendidikan keagamaan kelompok-kelompok khusus tersebut.

6. Masyarakat bisa memberikan dukungan terhadap pendidikan keagamaan dalam beragam bentuk. Yang paling ideal adalah dukungan dana, fasilitas, SDM, dan moral (motivasi, jaminan rasa aman, dan sebagainya). Namun dalam enam kasus yang diteliti, tidak seluruh dukungan tersebut terpenuhi. Jadi, penting untuk mendorong masyarakat agar memberikan keempat dukungan yang diperlukan. Dari aspek intensitas, peran masyarakat dalam rangka pendidikan keagamaan bagi pecandu narkoba di Padang perlu untuk ditingkatkan. Sedangkan untuk Mataram, Bandung, Makassar dan Lampung, intensitas yang perlu ditingkatkan hanya untuk kegiatan-kegiatan tertentu.[]

Editor:
Apakah informasi di atas cukup membantu?

TERKINI

OPINI