Peneliti Harus Temukan Pola Baru Publikasikan Karya Ilmiah

17 Sep 2019
Peneliti Harus Temukan Pola Baru Publikasikan Karya Ilmiah

Jakarta (16 September 2019). Kepala Balai Litbang Agama Jakarta Nurudin Sulaiman mengatakan, para peneliti harus menemukan pola baru dalam mempublikasikan hasil-hasil penelitian dan karya ilmiah lainnya. Pola baru tersebut bisa diteladani dari model penulisan buku Politik Sirkulasi Budaya Pop: Media Baru, Pelintiran Agama, dan Pergeseran Otoritas.

“Buku karya sahabat saya, Wahyudi Akmaliah, ini merupakan pola baru dalam diseminasi dan publikasi ilmiah,” kata Nurudin saat membuka resmi bedah buku yang digelar di Hotel Lumire Senen, Jakarta Pusat, Senin (16/09).

Menurut dia, buku tersebut memberi inspirasi bagi para peneliti untuk mempublikasi karya ilmiah. “Model penulisan buku ini juga bisa menampilkan karya baru agar lebih banyak dibaca banyak orang,” tandasnya.

“Ikhtiar Mas Yudi ini semoga menjadi bagian menambah wawasan isu-isu kehidupan keagamaan,” harapnya.

Doktor jebolan UI ini menambahkan, perlu ada pengarusutamaan hasil-hasil penelitian dalam bentuk karya yang bisa menyasar ke pembaca di dunia maya dan seluruh platform media sosial seperti Facebook, Twitter, dan  Instagram.

“Hal ini perlu dilakukan agar hadir terobosan baru dalam mempromosikan hasil-hasil penelitian para peneliti yang biasanya sangat segmented pembacanya. Perlu ada strategi penulisan ilmiah hasil riset dan kajian ilmiah yang lebih menarik. Sebab, gagasan baik dan hasil riset harus lebih bisa dinikmati khalayak luas,” tegasnya.   

Dalam paparannya, penulis buku Wahyudi Akmaliyah mengatakan setidaknya ada tiga hal yang dipaparkan: internet dan pertumbuhan, di tengah kematian para pakar, apa tugas kita sebagai peneliti.

“Ide buku ini merupakan hasil riset David Beer berjudul Popular Culture and New Media,” kata peneliti Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI ini.

Di budaya pop yang mewabah ini, kata dia, banyak terjadi pergeseran otoritas keagamaan. “Jadi, pergeseran otoritas keagamaan baru warga Muhammadiyah dan NU lebih banyak yang tidak taat kepada pimpinan. Misalnya, saat ada gerakan 212. Dua pimpinan ormas Islam terbesar itu melarang anggotanya turun ke jalan. Tapi faktanya banyak yang turun juga,” ungkapnya.

Bedah buku karya Wahyudi Akmaliah, peneliti  Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ini menghadirkan dua narasumber, yakni Chamami Zada (Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), dan Abdul Jamil Wahab (Peneliti Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan Balitbang Diklat Kemenag).

Hadir dalam acara tersebut 75 peserta terdiri dari para peneliti di lingkungan Balai Litbang Agama Jakarta, sejumlah akademisi, dan aktivis ormas keagamaan. Antara lain NU, Muhammadiyah, HMI, dan PMII. []

Musthofa Asrori/diad

Penulis: Musthofa Asrori
Editor: Dewindah
Apakah informasi di atas cukup membantu?

TERKINI

OPINI