Penelitian Kekerasan Seksual Tidak Cukup Menggunakan Kuesioner
Semarang (Balitbang Diklat)---Penelitian Kekerasan Seksual (KS) di kampus tidak cukup menggunakan kuesioner. Sebab kuesioner tidak bisa menggambarkan sesuatu, maka yang paling tepat adalah menggunakan participatory research.
Kepala Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI (Kaban) Prof. Suyitno menyampaikan hal tersebut pada Review Finalisasi Instrumen Pengukuran Deteksi Dini dan Mitigasi Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi Keagamaan. Kegiatan digelar Balai Litbang Agama Semarang bekerja sama dengan peneliti BRIN.
“Penelitian ini tidak semudah mengekspos kekerasan seksual. Mengungkap (KS) di rumah tangga saja susah, apalagi di kampus,” ujar Kaban Suyitno di Semarang, Rabu (12/7/2023).
“Riset KS membutuhkan energi lebih karena menyangkut pada kehidupan yang bersifat privat,” lanjutnya.
Menurut Kaban Suyitno, background penelitian tersebut perlu lebih diperjelas yakni pada perguruan tinggi sehingga fokus pada lokus kampus. “Fokus kita adalah PTKI berarti harus melihat data anomali kekerasan seksual yang terjadi di kampus,” tutur Guru Besar UIN Raden Fatah ini.
Selain itu, Kaban mengimbau agar bermitra dengan PSG atau PSGA, maupun Women's Crisis Center. “Maksudnya, kita sudah mapping dari awal terkait data kekerasan seksual,” imbaunya.
Lebih lanjut, Kaban mengatakan, secara regulasi terdapat Undang-undang No. 2 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Peraturan tersebut berkaitan pula dengan Permendikbud dan KMA.
“Kementerian Agama sudah punya juknis yang secara regulatif responsif terhadap masalah kekerasan seksual. Oleh karena itu, perlu memastikan beberapa regulasi terkait, kemudian data awal kekerasan seksual yang terjadi di PTKN. Semakin spesifik, semakin baik,” tandasnya.
Fathurozi/diad