PENELITIAN MUSHAF DI INDONESIA

27 Okt 2005
PENELITIAN MUSHAF DI INDONESIA

PENELITIAN MUSHAF DI INDONESIA 

Allah berfirman dalam Al-Qur’an yang artinya: “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al-Qur’an dan pasti Kami (pula) yang memeliharanya. (Q.S. 15:9). Upaya pemeliharaan Al-Qur’an tidak hanya dilakukan oleh umat Islam saat ini, tapi juga telah dilakukan oleh Rasulullah dengan menjaga hafalannya hingga wafat. Rasulullah selalu mengulang-ulang hafalannya setiap tahun dengan bimbingan dari Malaikat Jibril.  

Pada saat ini upaya pemeliharaan Al-Qur’an tidak hanya dalam bentuk hafalan, tapi juga dalam bentuk pemeliharaan mushaf Al-Qur’an dari generasi ke generasi. Sebagaimana yang dilakukan oleh Puslitbang Lektur Keagamaan Balitbang dan Diklat Keagamaan Departemen Agama RI. Penelitian mushaf ini bertema “Sejarah Perkembangan Penulisan Mushaf Al-Qur’an di Nusantara” tahap I yang dilaksanakan di 13 propinsi tahun 2003. Penelitian ini berangkat dari temuan sebelumnya bahwa penulisan mushaf Al-Qur’an di Indonesia telah dimulai sejak empat abad yang lalu. mushaf yang dianggap tertua ditulis oleh seorang ulama al-faqih al-shalih ‘Afifudin Abdul Baqi bin ‘Abdullah al-‘Adni, bertahun 1585 M, di Wapanwe, Kaitetu, dan oleh seorang bernama Nur Cahya (tahun 1590 M) yang menyelesaikan penulisan mushaf di pegunungan Wawane, Ambon. Abad ke-16 itu merupakan awal pertumbuhan penulisan mushaf Al-Qur’an di Indonesia. Beberapa naskah al-Qur’an kuno juga dijumpai di Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara Barat, Bali dan Sebagainya.  

Hingga saat ini belum ada buku monografi yang memaparkan sejarah penulisan mushaf Al-Qur’an dari masa ke masa. Demikian pula belum banyak diketahui biografi penulisnya dan tempat mushaf-mushaf tersebut di tulis. Penelitian ini bertujuan: pertama, mengetahui perkembangan penulisan mushaf Al-Qur’an di Indonesia. Kedua, Menginventarisasi, mengidentifikasi, dan mengkaji naskah-naskah mushaf Al-Qur’an di Indonesia. Ketiga, mengetahui penulis, pemrakarsa, dan pendukung penulisan mushaf di Indonesia dan mengetahui tipologi rasm, kaligrafi dan iluminasinya.  Penelitian mushaf Al-Qur’an ini dilakukan secara bertahap, pada tahap pertama penelitian di lakukan pada tahun 2003, mencakup 13 wilayah penelitian dengan hasil temuan sebagai berikut:  

No. Propinsi Jumlah Judul Naskah
1 Banten 5 naskah
2 DI Jogyakarta 9 naskah
3 Jawa Barat 4 naskah
4 Jawa Tengah 21 naskah
5 Jawa Timur 57 naskah
6 Kalimantan Selatan 1 naskah
7 Sumatera Selatan 10 naskah
8 NTB 15 naskah
9 Sumatera Barat 3 naskah
10 Riau 10 naskah
11 Sumatera Utara 1 naskah
12 Kalimantan Timur 10 naskah
13 Sulawesi Selatan 15 naskah
  Jumlah 161 naskah

Dari pengkajian terhadap 161 mushaf Al-Qur’an di atas, tim peneliti berhasil mendapatkan beberapa penemuan sebagai berikut: Pertama, keadaan naskah-naskah Al-Qur’an yang ditemukan pada umumnya kurang terawat, sehingga kertas naskah sudah banyak yang lapuk dan dimakan rayap, serta sulit untuk dibaca. Pada umumnya naskah sudah tidak utuh lagi, terutama pada beberapa halaman awal dan ahir. Para petugas museum dan ahli waris nampaknya belum memahami bagaimana cara merawat dan menyimpan naskah mushaf dengan baik. Dari naskah-naskah Al-Qur’an yang ditemukan, hanya sebagian kecil yang mempunyai kolofon, walaupun tidak lengkap, sehingga tidak diketahui siapa penulisnya, pemesannya, serta tahun penulisannya. Untungnya sebagian besar naskah ditulis di atas kertas Eropa yang memiliki cap kertas, sehingga dapat memberi petunjuk tentang perkiraan usia naskah.   

Kedua, naskah-naskah yang ditemukan hanya sebagian kecil yang ditulis dengan Rasm Utsmani. Selebihnya ditulis dengan Rasm imla’i. Sistem penulisannya nampak beragam, ada yang dengan sistem pojok, dan ada yang tidak. Ada yang setiap awal Juz dimulai pada awal halaman, dan adapula yang tidak diatur sama sekali.  

Ketiga, penelitian ini juga menemukan bahwa semua naskah terdapat kesalahan dan ketertinggalan (kekurangan) dalam menulis teks ayat. Terjadinya kesalahan atau ketertinggalan dalam penulisan teks ayat menjelaskan bahwa penulisan mushaf tersebut tidak melalui proses pentashihan. Kesalahan tersebut ada yang diperbaiki langsung dengan cara menambah kalimat di tepi luar halaman teks, atau di sela-sela baris, dan ada yang tidak diperbaiki.  

Keempat, kaligrafi yang digunakan sangat sederhana, dan penulisnya belum dapat di kategorikan sebagai penulis Arab yang baik (Khattat). Namun semua tulisannya cukup konsisten, dilihat dari besar tulisan, kerapatan, maupun gayanya. Gaya kaligrafi yang digunakan untuk nash Al-Qur’an adalah naskhi, kepala surah dan tulisan juz menggunakan sulus, naskhi, dan “kaligrafi floral”, yakni gaya tradisional khas yang dikembangkan secara lokal.  

Kelima Iluminasi Mushaf pada umumnya terdiri atas tiga bagian:1.     Iluminasi pada Ulumul Qur’an, Nisful Qur’an dan Khatmul Qur’an2.     Iluminasi pada kepala-kepala surat (‘unwan) dan3.      Iluminasi pada pinggir halaman, untuk tanda-tanda Juz, Nisf, Hizb, Nisfu Hizb dan lain-lain. Masing-masing bagian iluminasi tersebut dilukis dengan tingkat intensitas berbeda-beda, ragam hias yang digunakan pada umumnya adalah floral (tumbuh-tumbuhan), dan ada pula yang menggunakan sketsa binatang (Sumatera Barat dan Sumedang).  Berdasarkan temuan mushaf tertua bertahun 1585 M dari Ambon, diperkirakan bahwa abad ke-16 merupakan awal pertumbuhan penulisan mushaf Al-Qur’an di Indonesia. Ulama-ulama di berbagai tempat lain di Indonesia diperkirakan juga melakukan hal yang sama, karena naskah-naskah Al-Qur’an kuno juga di jumpai di pulau-pulau lain; Jawa, Nusa Tenggara, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi sebagaimana data di atas. (sir)  

Editor:
Apakah informasi di atas cukup membantu?

TERKINI

OPINI