Penilaian Buku Pendidikan Agama Butuh Keseriusan, Komitmen, dan Kerja Keras
Bogor (25 Agustus 2020). Terbitnya Undang-Undang Perbukuan Nomor 3 Tahun 2017 mengalami perjalanan dan perjuangan yang cukup panjang. Diperlukan beberapa upaya dan diskusi untuk meyakinkan DPR RI terutama Komisi X dan pemangku kebijakan bahwa buku agama seharusnya ditulis oleh Kementerian Agama terutama buku-buku pendidikan agama yang diajarkan pada sekolah dan madrasah. Sehingga pada akhirnya penulisan seluruh buku agama yang digunakan di sekolah, madrasah, dan bahkan perguruan tinggi kewenangannya diberikan kepada Kementerian Agama dalam hal ini Puslitbang Lektur, Khazanah Keagamaan, dan Manajemen Organisasi (Puslitbang LKKMO).
Hal tersebut disampaikan Prof. Kamaruddin Amin, M.A, selaku Direktur Jenderal Bimas Islam Kemenag, saat menyampaikan sambutan yang didampingi oleh Kapuslitbang LKKMO, Dr. Muhammad Zain pada acara Penilaian Buku Pendidikan Agama di Hotel Arch Bogor (25/08).
Penulisan buku pelajaran agama di madrasah atau sekolah mempunyai dua orientasi besar. Pertama, untuk mencetak atau menciptakan anak-anak bangsa yang paham agamanya dan saleh. Pelajaran agama, orientasinya agar peserta didik menjadi saleh dalam arti dapat melaksanakan ibadah-ibadah ritual dengan baik. Kedua, menjadikan pendidikan agama sebagai instrumen kohesi sosial dengan output anak-anak didik mampu menghargai dirinya, orang lain, lingkungannya, termasuk menghargai perbedaan baik agama, budaya, maupun suku. Peserta didik juga dapat menghargai perbedaan pendapat --respect to diversity. Sebab, Indonesia sebagai the most diversity country.
Berkaca pada negara lain seperti Inggris, bagaimana pendidikan agama diajarkan di sana. Di Inggris, meskipun pelajaran agama wajib, tetapi bukan untuk mencetak anak menjadi saleh, seperti rajin ke masjid atau gereja, tetapi agar mereka bisa saling menghormati. Agama diajarkan pada aspek permukaannya saja, sangat sederhana. Di Maroko, pelajaran agana dimaksudkan untuk mencetak peserta didik menjadi anak saleh. Di Indonesia, tentu kombinasi keduanya, sehingga pandangan keagamaan anak-anak kita lebih toleran. Islam yang diajarkan adalah yang kompatible dengan demokrasi.
Buku-buku agama harus dapat meningkatkan nasionalisme anak didik sehingga menjadi anak nasionalis-religius, anak saleh yang mencintai bangsa dan negaranya. Jadi ada keharmonisan antara agama, negara, dan civic.
Terakhir, Kamaruddin Amin pun mengingatkan tentang konten khilafah dan perang yang cukup ramai menjadi pembicaraan di medsos. Bahwa penulisan kedua hal tersebut tidak dihapus sama sekali, tetap diajarkan, tetapi tetap diberi konteks. Bahwa sejak jatuhnya Ottoman Empire pada tahun 1924 di Turki, tidak ada lagi praktek khilafah di dunia. Kita sudah berkenalan dengan nation-state. Di Timur Tengah justeru menerapkan bentuk-bentuk negara yang berbeda, ada negara republik, sosialis, kerajaan, bahkan ada sekuler seperti Turki tadi. Untuk materi perang juga diberi penjelasan. Mengapa Nabi dan para sahabatnya berperang. Nabi kalau berperang menonjolkan etika dalam perang. Seperti jangan membunuh wanita, jangan membunuh anak-anak, jangan menebang pohon, dst.
Sebagai penutup, Kamaruddin Amin menekankan penilaian buku ini sangat berperan sekali dan sangat krusial sehingga membutuhkan keseriusan, komitmen, dan kerja keras dari kita semua untuk dapat mewujudkan keberadaan buku agama yang berkualitas yang dapat dijangkau oleh semua anak-anak bangsa di seluruh Indonesia. (MZ/bas/ar)