PENJAMINAN KOMPETENSI MUBALIG/DAI
Oleh: Hayadin
Peneliti pada Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Balitbang Kemenag RI
E-m@il: hayadin006@gmail.com
Pendahuluan
Dakwah adalah pekerjaan mengkomunikasikan pesan Islam kepada manusia. Dan sebagai peristiwa komunikasi, aktivitas dakwah dapat menimbulkan berbagai peristiwa di tengah masyarakat seperti harmoni, ketegangan, dan kotroversial. Dakwah ditujukan kepada manusia (madʻū) yang bukan hanya memiliki telinga, tetapi juga memiliki jiwa, dapat berpikir, dan merasa. Oleh karena itu, dai/mubalig tidak cukup hanya menguasai materi, tetapi juga menguasai karakter manusia yang menjadi madʻū.
Dai dan mubalig adalah salah satu aktor dakwah yang sangat kasat mata hadir di barbagai pertemuan keagamaan, sering melibatkan banyak audience atau massa, yang berlangsung dalam durasi waktu tertentu. Mubalig dipersepsi dan mendapat atribusi publik sebagai figur yang menguasai ilmu agama yang luas. Oleh karena itu, mereka memiliki pengaruh yang besar dalam membentuk opini, pandangan, dan wawasan publik tentang berbagai isu, khususnya keagamaan. Karena perannya, mereka memiliki otoritas untuk menginterpretasi fakta-fakta sosial kemasyarakatan dan kenegaraan berdasarkan nas-nas firman Allah dan sabda Rasulullah.
Beberapa event dan moment dimana para mubalig mendapatkan kesempatan dan otoritas penuh menyampaikan materi agama antara lain: khotbah Jumat, khotbah hari raya, ceramah dakwah pada bulan suci Ramadan, dan pada pengajian di majelis taklim keagamaan. Di antara event tersebut, khotbah Jumat merupakan momentum yang paling otoritatif bagi mubalig (baca: khatib) untuk menyampaikan informasi dan pengetahuan keagamaan. Event ini juga berlangsung setiap pekan di setiap masjid di seluruh Indonesia. Dengan syarat dan rukun tertentu yang harus dipenuhi dan bersifat baku, lalu content yang disampaikan menjadi hak prerogatif sang khatib untuk menyatakannya. Tidak ada diskusi, tidak boleh ada protes, apa lagi interupsi dalam prosesi khotbah Jumat.
Pada sisi lain, seiring perkembangan taraf ekonomi masyarakat, maka peran mubalig di tengah masyarakat mendapatkan imbalan tertentu dari audience (jemaah), yang secara ekonomi dapat menjadi mata pencaharian. Karena status, otoritas dan atribusi yang melekat pada peran dan aktor mubalig, tidak jarang banyak orang yang memiliki keingian untuk menjadi mubalig.
Dimana-mana, terutama di daerah perkotaan, dapat ditemukan mubalig dadakan (overnight mubalig), yakni seseorang yang tiba-tiba tampil menjadi pembicara (mubalig) pada acara-acara publik dengan topik-topik keagamaan, misalnya di majelis taklim, khotbah Jumat, caramah Ramadan. Secara teknis, tentu sangat mudah. Dengan modal buku bacaan yang tersedia di toko-toko buku atau melalui bahan bacaan yang tersebar luas di dunia maya, seseorang dapat mempelajari materi yang menjadi inti pesan dari ceramahnya. Lalu, dengan modal percaya diri dan keterampilan berbicara (public speaking skill) maka mubalig dadakan tersebut dapat menjadi tokoh publik atau dapat menghibur, atau juga dapat meresahkan dan menyesatkan publik.
Untuk tipe mubalig yang menghibur publik, sesungguhnya tidak terlalu mengkhawatirkan, dibanding beberapa kasus mubalig yang meresahkan atau menyesatkan publik dan melahirkan disharmoni sosial. Beberapa kasus mubalig yang meresahkan dan menyesatkan publik biasanya terkait dengan interpretasi nas kitab suci atau hadis Rasulullah yang tidak disampaikan pada waktu dan kepada audience yang tepat.
Siapa yang menjamin bahwa muatan materi dari ceramah agama atau khotbah adalah benar? Selama ini jaminan tersebut berasal dari individu sang (oknum) mubalig. Jemaah yang awam tidak pernah tahu dan tidak bisa menyaring mana yang benar, mana yang salah, mana yang dapat dipakai dan mana yang tidak perlu. Percaya diri dan semangat para mubalig menjadikan apa yang disampaikan menjadi sesuatu yang harus diterima dan tanpa disaring. Jemaah yang cerdas dan memiliki pengetahuan agama yang cukup selalu ada pada posisi yang lemah untuk membenarkan apa yang disampaikan oleh khatib atau oleh mubalig. Peran atau aktor mubalig telah mendapatkan otoritas yang begitu kuat untuk mengklaim kebenaran yang disampaikan.
Atas kasus mubalig yang meresahkan publik baik pada event khotbah Jumat, ataupun pada acara ceramah keagamaan di tempat umum, semestinya dapat dilakukan kontrol jika setiap mubalig memiliki lembaga atau organisasi, yang bertanggung jawab untuk membinanya. Publik dapat mengajukan keberatan kepada lembaga tersebut terkait dengan siapa dan materi apa yang meresahkan tersebut. Secara teknis, hal tersebut dapat dengan mudah dilakukan, jika setiap mubalig dan khatib yang tampil untuk berbicara memegang piagam atau sertifikat yang berasal dari ormas keagamaan tertentu atau PTKI tertentu. Ide pemberian sertifikat atau piagam tersebut bermanfaat bagi individu sang mubalig dan khatib, karena menunjukkan adanya pihak tertentu yang mengafirmasi kompetensi dan profesionalismenya. Bukan untuk membatasi dan melarang berkhotbah atau berdakwa.
Pemerintah dapat bekerja sama dengan ormas keagamaan atau organisasi profesi mubalig atau dai, dan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI). Di Indonesia terdapat berbagai organisasi kemasyarakatan yang beridentitaskan Islam, antara lain: Majelis Ulama Indonesia (MUI), Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), Nahdhatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persis, PUI, Ikadi, Mathlaul Anwar, dan lain sebagainya. Secara normatif, ormas keagamaan Islam yang melekat pada dirinya fungsi dakwah, mendidik, melatih dan mencetak kader mubalig atau dai dalam sebutan dan definisi yang lain, untuk melakukan aktivitas dakwah tablig di masyarakat, baik untuk umat atau anggota atau jemaah yang tergabung dengan organisasi tersebut, ataupun kepada masyarakat luas dalam rangka memberikan penanaman iman, dan memperluas pengetahuan keagamaan. Ormas keagamaan dapat menyediakan dirinya sebagai penjamin kompetensi para mubalig yang dibinanya.
Selain ormas keagamaan Islam, Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI), juga dapat menjalankan fungsi tersebut. PTKI memiliki sejumlah kapasitas dan potensi untuk melakukan fungsi tersebut, yakni sejumlah mata kuliah yang bermuara pada penanaman kompetensi dan pengetahuan agama yang luas, seperti dirāsah Islāmiyah, tafsir, hadis, dan bahasa Arab. PTKI dapat mengambil peran sebagai lembaga yang mempersiapkan mubalig profesional, dan melakukan penjaminan kompetensi mubalig. Dalam mempersiapkan atau membentuk tenaga mubalig profesional, maka beberapa PTKI telah melengkapi dirinya dengan fakultas atau jurusan dakwah dan penyiaran Islam, lengkap dengan fasilitas laboratorium dakwah sebagai tempat praktek menguasai keterampilan dakwah.
Gagasan serupa sebelumnya
Gagasan tentang penjaminan kompetensi mubalig sudah dilontarkan oleh para ilmuwan dan praktisi dakwah dan pendidikan pada beberapa saat yang lalu.
Tokoh agama dan cendekiawan di daerah pada 13 Agustus 2011, sudah menyatakan pentingya sertifikasi mubalig, antara lain Guru Besar UIN Suska Riau Prof. Dr. Alaidin Koto, Pimpinan Kelompok Kajian Tafaqquh Dr. Musthafa Umar, Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Riau Prof. Dr. Tengku Dahril, Rektor Universitas Islam Riau (UIR) Prof. Dr. Detri Karya. Mereka menyatakan bahwa hal tersebut penting dalam rangka merespon fenomena mubalig yang tampil di depan publik hanya dibekali ilmu sekadarnya dan tidak mumpuni dalam menyampaikan ceramah. Bahkan dengan ilmu yang belum mumpuni terdapat mubalig yang berani berfatwa sehingga menimbulkan keresahan dan kebingungan umat. Mereka menyatakan bahwa saat ini sudah mendesak dilaksanakan sertifikasi mubalig.
Masykuri Abdillah, Guru Besar UIN Sahid, juga menyatakan dukungan terhadap gagasan sertifikasi mubalig. Beliau menanggapi gagasan sertifikasi ulama yang disampaikan oleh BNPT pada tahun 2012. Menurutnya, yang penting untuk disertifikasi adalah para mubalig, khatib, dan guru agama. Beliau juga mengusulkan peningkatan profesionalisme terhadap khatib maupun mubalig. Pasalnya, sebut Masykuri, Indonesia menjadi satu-satunya negara di dunia yang belum mempunyai jaminan mutu terhadap isi syiar agama. Sehingga banyak bermunculan beragam ceramah moderat hingga radikal di tengah masyarakat dengan bebasnya.
Pemerintah Kota Dumai, pada tahun 2013 telah mewacanakan dan merencanakan untuk melakukan sertifikasi terhadap mubalig di Kota Dumai yang tergabung dalam Persatuan Mubalig Dumai. Tujuan sertifikasi tersebut adalah untuk menciptakan mubalig yang memiliki ilmu dan kemampuan dalam menyampaikan pesan Ilahi. Sehingga masyarakat dapat menerima ilmu agama yang baik dan benar, bukan fitnah atau menyebarkan aliran sesat.
Berita pada arrahmah.com, pertanggal 23 Juni 2013, menyatakan tentang gagasan dari Puslitbang, Kementerian Agama, Ridwan Lubis mengatakan seperti halnya profesi, mubalig membutuhkan sertifikasi untuk mengakui kompetensinya. Sertifikasi yang dimaksud bukan bermaksud sebagai usaha untuk mempersulit seseorang yang hendak melakukan syiar Islam tetapi lebih kepada usaha untuk menunjukkan manifestasi kompetensi seorang mubalig. Menurut Ridwan, fungsinya yang vital di hadapan umat tentu memerlukan acuan. Selama ini, standar ukuran menjadi mubalig itu hanya sebatas “mengerti agama”, pandai pidato atau ceramah. Disamping itu, ruang geraknya cenderung sendiri-sendiri dan tidak terorganisir. Dengan sertifikat, kedepannya diharapkan akan memberikan perkembangan positif dalam dakwah Islam.
Terakhir, Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama pada bulan Agustus 2016, mengatakan bahwa sertifikasi para mubalig atau dai penting karena beberapa alasan, yakni: pemahaman terhadap budaya bangsa, pendakwah haruslah mereka yang berkompeten dalam bidang agama, mereka juga tidak boleh bertentangan dengan regulasi pemerintah apalagi sampai anti-NKRI dan anti-Pancasila, harus mengerti budaya setempat.
Penutup
Di tengah dinamika dan tantangan dakwah yang kian kompleks, maka proses dan upaya penciptaan mubalig yang profesional menjadi mutlak dan sangat strategis untuk dilakukan. Para mubalig profesional yang berasal dari PTKI atau yang lahir dari organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan perlu senantiasa dibina agar keterampilan, pengetahuan, dan etika profesinya tetap aktual. Selain mubalig, para khatib yang memegang peran mirip sebagai penyampai pesan-pesan moral religius, dan ajaran agama perlu juga mendapatkan perhatian agar kompetensinya senantiasa aktual.
Gagasan penjaminan kompetensi dan profesionalisme mubalig dan dai, bersifat imperatif. Artinya, gagasan ini tidak membatasi ruang gerak dan kebebasan kaum muslimin melakukan aktivitas tablig dan dakwah kepada masyarakat. Di daerah dan pelosok yang belum terjangkau oleh PTKI dan ormas keislaman maka aktivitas tablig dan dakwah tetap dilakukan sebagaimana biasa, sambil berproses untuk melakukan kaderisasi dan pelatihan kepada mereka yang berminat dan berpotensi menjalani fungsi mubalig dan khatib.
Penjaminan kompetensi dapat berupa piagam atau sertifikat yang dikeluarkan oleh PTKI dan atau ormas keagamaan yang menerangkan bahwa seseorang yang memegangnya telah mendapatkan pelatihan atau pendidikan. Sebagai konsekuensinya, organisasi yang mengeluarkan (menandatangani) piagam mubalig dan/atau khatib harus bertanggung jawab secara etik terhadap kinerja mubalig yang dijamin. Mereka harus bersedia menampung dan menerima klaim/keberatan dari audience/publik terhadap materi dan gaya ceramah yang disampaikan oleh mubalig dan khatib. Itu akan menjadi bahan feed back dalam membina dan memelihara kompetensi dan kualitas mubalig yang mereka bina.