Perempuan dan Moderasi Beragama
Jakarta (Balitbang Diklat)---Dalam perjalanan saya menjadi Instruktur Nasional (Inas) Penguatan Moderasi Beragama (PMB), yang paling beda dari kepesertaan adalah ketika mengampu Orientasi Pelopor Penguatan Moderasi Beragama bagi Pendakwah Perempuan dan Pengelola Majelis Taklim Perempuan. Kegiatan digelar Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) bekerja sama dengan Dewan Masjid Indonesia (DMI) di Aria Gajayana Kota Malang (21-24/7). Istimewanya, semua fasilitator instruktur nasional dan menariknya ketiga-tiganya ternyata pengurus DMI. Saya tercatat sebagai Majelis Pakar Dewan Masjid Indonesia Kabupaten Sidoarjo.
Sejatinya pelibatan perempuan sudah pernah di Pacitan. Pesertanya Dharma Wanita, tapi sekadar sosialisasi. Atau insersi dalam pengajian PKK di kampung. Tapi kali ini digelar langsung PKUB Kemenag RI. Mengapa keterlibatan perempuan apa lagi pendakwah dan pengelola majelis taklim perempuan penting dalam penguatan moderasi beragama?. Pertama, perempuan memiliki kepekaan sosial tinggi. Di kampung saya, jika ada orang sakit, ibu-ibu PKK yang besuk. Kedua, perempuan memiliki basis data kuat dan mengakar di masyarakat.
Ketiga, kegiatan majelis pengajian relatif kaum perempuan lebih banyak. Ibu saya hampir setiap minggu ada empat kumpulan ngaji. Mulai yasin tahlil senior (muslimat), khatmil Qur'an, hingga dzibaiyah remaja. Keempat, perempuan lebih intens dalam pendidikan keluarga karena "al Umm madrasatul ula.”
Posisi strategis perempuan ini penting dalam gerakan Penguatan Moderasi Beragama (PMB). Apa lagi seorang pendakwah dan pengelola majelis taklim. Setiap hari mereka bertemu jamaah. Para jamaah memiliki banyak karakter dan latar berbeda. Kemajemukan ini sebagai tantangan yang harus dikelola dengan baik oleh pendakwah agar bisa diterima, termasuk pesan moderasi beragama.
Dalam teori Gunung Es (Iceberg analysis), kekerasan dan kasus intoleransi di sebuah tempat (event) sering dipicu dari mimbar kajian yang provokatif (pola dan tren). Pelibatan perempuan dalam kasus ekstremisme juga masih ada. Para dai dan pelaku ekstrem ini berdalih menyampaikan kebenaran. Sementara kebenaran yang dimaksud hanya versi dirinya atau sepihak. Di sisi lain, apa yang dianggap benar berlawanan dengan tradisi (baik) setempat dan kesepakatan bersama. Diperkuat budaya masyarakat yang paternalistik, mengikuti apa kata pemimpinnya. Tidak adanya penindakan terhadap ujaran kebencian bernuansa agama di media sosial memperkuat sistem struktur.
Semua itu tidak lepas dari cara pandang (mental model) beragama yang sempit, jumud, dan suara kekhawatiran berlebihan terhadap kelompok lain. Para pendakwah dan pengelola majelis taklim merupakan bagian dari ekosistem PMB. Mereka harus mengelola kemajemukan jamaah. Para pendakwah dalam hal ini harus memiliki cara pandang, sikap, dan praktik beragama yang lebih mengedepankan esensi ajaran agama sebagaimana konsep MB. Maka, jika masih ada mental model sempit, harus diubah menjadi mental model baru (rethinking) yang lebih terbuka (inklusif).
Setelah itu, para pendakwah dan pengelola majelis taklim mendesain program (redesaining) majelis taklim dengan materi agama secara sistematis dan sistemik bermuatan nilai-nilai universal. Sebagai contoh, kajian muamalah, menjaga ukhuwah, dan bagaimana bertetangga yang baik diposisikan sebagai forum eksternum.
Muatan kajian bernuansa ketauhidan dan ubudiah yang mengandung unsur perbedaan dalam penerapan, ditempatkan sebagai forum internum. Tidak ada pemaksaan tafsir keagamaan yang bisa memecah belah umat. Apa lagi saling menghakimi kelompok lain salah dipastikan tidak ada di ruang publik (reframing). Jika para pendakwah dan pengelola majelis taklim perempuan sudah moderat, jamaah juga moderat. Pada akhirnya tercipta harmoni Indonesia (reacting). (Sholehuddin, widyaiswara BDK Surabaya dan instruktur nasional Penguatan Moderasi Beragama Kemenag RI. Selain Ketua PC ISNU, penulis juga Sekretaris Komisi Fatwa MUI dan Majelis Pakar DMI Sidoarjo. Saat ini masih tercata sebagai pengajar di IAI Al Khoziny dan UNUSIDA)