PERLU AKTOR NON PEMERINTAH DALAM MENGATASI EKSTRIMISME
Jakarta (3 November 2016). Radikalisme agama berkembang karena pemahaman yang dangkal serta minimnya nilai-nilai spiritual dalam beragama. Agama dipahami secara parsial, teks-teks agama dipisahkan dari konteksnya. Fenomena radikalisme dan ekstrimisme bukan merupakan representasi dari Muslim mayoritas Indonesia yang toleran, ramah, dan penuh senyum (smiling Islam). Ekstrimisme ini perlu upaya pembinaan umat yang lebih efektif serta kerjasama kebangsaan yang lebih kokoh. Demikian salah satu poin yang diungkapkan oleh Prof. H. Abdurrahman Mas’ud, Ph.D., dalam Forum Perdamaian Dunia (The World Peace Forum) ke-6. Acara yang bertempat di Grand Sahid Jaya Hotel, Jakarta, ini mengambil tema “Countering Violent Extremism: Human Dignity, Global Injustice, and Collective Responsibility”, 1- 4 November 2016.
Bertindak sebagai narasumber utama Prof. H. Abdurrahman Mas’ud, Ph.D. (mewakili Kementerian Agama RI); Prof. Miriam Corobel-Ferrer (Chairperson of the Peace Panel of the Government of the Philippines to the Moro Islamic Liberation Front, University of Philipina); Mr. Jassim Husain (Former Member of the Bahraini Parliament, Bahrain); Rev Kyoichi Sugino (Religions for Peace, New York, USA); Dr. Isabel Ruck (Pharos Observatory, France); dan Dr. Rudi Iskandar (The Habibie Center, Indonesia).
Abdurrahman Mas’ud mengatakan peran negara sangat diperlukan dalam meredam aliran atau kelompok radikalis dan ekstrimis. Di samping itu, juga harus memantapkan langkah-langkah antisipatif yang sudah dilakukan terhadap kaum radikalis. Di sisi lain, partisipasi dan aspirasi masyarakat juga perlu ditingkatkan dalam menjaga keutuhan NKRI. “Jadi harus melibatkan banyak aktor non pemerintah seperti masyarakat sipil dalam mengatasi ekstrimisme,” ungkapnya.
Pada forum internasional ini, Mas’ud menegaskan “peran dan tanggung jawab negara antara lain: membangun jaringan kerjasama di antara pondok pesantren (Islamic boarding school) dalam mengatasi radikalisme agama; memperkuat persatuan dan cinta tanah air serta bangsa; mencari cara terbaik untuk mengatasi radikalisme agama; meningkatkan dan memaksimalkan peran strategis FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama) di setiap propinsi dan kabupaten; mengembangkan sikap dan perilaku toleran dan inklusif; mengintensifkan kerjasama di dalam masyarakat dan antara umat beragama; mengintensifkan koordinasi antara lembaga keagamaan untuk mencegah dan mengatasi konflik agama; mengembangkan wajah multikultural guru agama, penyiar agama, dan mahasiswa; mengintensifkan peran Indonesia dalam mempromosikan dialog antara umat pada level daerah dan regional; memperkokoh hukum (regulasi dan pedoman) kerukunan agama atau kebijakan kerukunan agama; dan menggerakkan kembali jaringan kader-kader pemuda-pemudi perdamaian lintas agama di beberapa propinsi yang sudah pernah di-launching Badan Litbang dan Diklat lima tahun lalu,” ujarnya.
Pembicara lain, Prof. Miriam Coronel-Ferrer dari University of Philipina mengatakan pemerintah harus melibatkan aktor-aktor non pemerintah seperti masyarakat sipil (civil society) dalam menanggulangi radikalisme agama. Senada dengan Mas’ud, Rev. Kyoichi Sugino dari New York USA mengungkapkan bahwa kita harus menggunakan pendekatan dari bawah (masyarakat) bukan dari atas dalam penanggulangan ekstrimisme agama. Karena itu, “Kepercayaan (trust) harus dibangun di antara komponen masyarakat dan melibatkan masyarakat sipil,” ungkapnya. (Nasrullah Nurdin)