Perubahan Regulasi Perlu Sentuh Hak Guru-Murid dengan Output
Jakarta (Balitbang Diklat)---Kepala Badan (Kaban) Litbang dan Diklat Kemenag Prof Amin Suyitno mengatakan ada hal yang lebih perlu untuk diubah dalam PP No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan di Indonesia. Salah satunya adalah tentang pentingnya hak guru agama yang mengajar dobel di pendidikan formal dan nonformal.
Hal tersebut disampaikan Kaban saat memberi sambutan sekaligus membuka resmi diskusi penyusunan naskah urgensi yang diinisiasi Puslitbang Penda Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI dalam fullday (kegiatan sehari) yang digelar di Tamarin Hotel Jl KH Wahid Hasyim No 77 Jakarta, Selasa (7/11/2023).
“Supaya guru yang mengajar di madrasah dan pesantren, misalnya, mendapat hak yang sama termasuk rekognisi pemerintah melalui sertifikasi. Kalau seperti itu rekomendasinya tentu lebih keren,” kata Kaban Suyitno.
Guru besar UIN Raden Fatah Palembang ini mencontohkan, misalnya, para guru di sebuah lembaga pendidikan agama mendapatkan jam mengajar seperti mereka yang ada di sekolah selama 24 jam tatap muka per minggu.
“Ini perlu dipastikan bahwa mereka juga mendapatkan sertifikasi. Hanya saja problemnya, contoh di pesantren mengapa banyak ustaz-nya tidak dapat sertifikasi. Pertama, problemnya ustaz-nya belum S1,” ungkap Kaban.
Sebagaimana diketahui, kata Kaban, bahwa kiai atau ustaz di pesantren masih jarang yang mau mengambil kuliah sarjana. Sementara peraturan penerima sertifikasi kualifikasi gurunya minimal S1.
“Jadi, tidak bisa mendapat sertifikasi karena belum lulus S1. Itu masalah utama yang sering terjadi,” tegas mantan Direktur GTK Madrasah Ditjen Pendis ini.
Mengajar 24 jam lebih
Kedua, lanjut Kaban, kiai yang mengajar di sekolah formal juga mengajar di pesantren. Oleh karena itu, menurut kacamata auditor disebut doble account lantaran telah menerima sertifikasi di sekolah/madrasah formal.
“Persoalan kemudian adalah bahwa jam mengajarnya lebih dari 24 jam tatap muka per minggu. Karena memang ia mengajar sejak pagi sampai sore di madrasah formal. Lalu, lanjut ngajar di pesantren atau boarding school tersebut,” ungkapnya.
Kaban lalu mempertanyakan apakah hal yang demikian juga layak mendapat sertifikasi. Menurutnya, hal seperti itu layak dan sah dengan alasan melebihi jam mengajar.
“Kasus lainnya adalah dana BOS. Mengapa santri tidak dapat karena di saat yang sama mereka juga merupakan siswa di sekolah/madrasah formal di pesantren itu. Jadi, doble account lagi,” tuturnya.
Pria kelahiran Tulungagung, Jawa Timur, 16 Juli 1969 ini lalu mengungkapkan curhat para kiai pesantren yang beralasan bahwa mereka memiliki output dobel. Oleh karena itu, layak mendapat fasilitas sesuai jerih payah mereka.
“Ijazah-nya pun dobel. Ada salafiyah di satu sisi. Sementara di sisi lain sekolah formal. Masak yang begini tidak berhak mendapat fasilitas dobel? Nah, yang begini dicantumkan ya monggo silakan,” tegasnya.
Menurut dia, guru yang melebihi dari jam mengajar lebih dari 24 jam tatap muka seharusnya mendapatkan sertifikasi khusus. “Nggak apa-apa. Namanya latar belakang peraturan. Siswa yang juga santri mestinya juga mendapat hak dana BOS. Inilah saya kira hal-hal yang sampai hari ini belum ada penyelesaian,” pungkas Kaban. (Ova/bas/sri)