Pesantren dan Ulama, Ujung Tombak Tangkal Paham Radikal

11 Jun 2015
Pesantren dan Ulama, Ujung Tombak Tangkal Paham Radikal

Depok – Jawa Barat (11 Juni 2015).“Radikalisme tidak sesuai dengan kultur pesantren, karena makna jihad yang diajarkan oleh pesantren mempunyai makna yang beragam, tidak semata-mata berarti qital/perang,” demikian disampaikan oleh Kepala Badan Litbang dan Diklat (Kabalitbangdiklat), Prof. H. Abd Rahman Mas’ud, Ph.D saat menjadi narasumber mewakili Menteri Agama pada Silaturahmi Nasional Ulama Thoriqoh.Kegitan yang  mengambil tema “Peran Ulama dalam Menjaga Persatuan,  Kesatuan, dan Keutuhan NKRI,”. Silaturahmi nasional  diselenggarakan oleh Jam’iyyah Ahlith Thoriqoh Al Mu’tabarah An Nahdliyyah (JATMAN) di Pondok Pesantren Al-Hikam, Depok,  11 Juni 2015.

“Radikalisme tak hanya menggelisahkan bagi mereka non muslim, namun umat Islam sendiri terkena dampaknya, sebab Islam sebagai agama harmoni dapat dengan mudah distigmatisasi sebagai agama kekerasan. Bahkan peneliti barat menyebut Islam Indonesia dengan sebutan Islam yang tersenyum (the smiling Islam) – Islam yang ramah,” ujar Mas’ud.

Mas’ud menegaskan,  berdasarkan kajian Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama melalui Lokakarya Peranan Pimpinan Pesantren dalam Mengembangkan Budaya Damai tahun 2010, dinyatakan  bahwa radikalisme keagamaan tidak sesuai dengan pola pendidikan di pondok pesantren  yang bersifat terbuka dan moderat. Radikalisme  juga bertentangan dengan budaya Islam Indonesia yang santun, tepo seliro, dan kekeluargaan.  Radikalisme  agama tumbuh dan berkembang akibat kedangkalan dalam memahami agama. Agama dipahami secara parsial, teks-teks agama dipisahkan dari konteksnya, dan keringnya nilai-nilai spiritualitas dalam beragama.

Kabalitbangdiklat menambahkan, “Jihad fi sabilillah dalam konteks kekinian akan memberikan maslahat bila diaktualisasikan dengan memerangi kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan. Jihad dalam bentuk kekerasan fisik merupakan tindakan kontraproduktif dalam upaya penegakan ajaran Islam yang cinta kedamaian.”

Komunitas ulama dan pesantren memiliki vitalitas yang cukup untuk menyerap dan berhubungan dengan perubahan sosial yang rasional dan memberikan maslahat bagi umat.  Ditambah dengan orientasi sufistik ulama yang memberikan disiplin moral, sehingga tidak mudah terkooptasi ‘kepentingan’ luar. 

Di akhir pidatonya Mas’udmengatakan, bahwa Pesantren dan NU sebagai organisasi yang jamaahnya besar bisa menjadifront liner dalam mengembangkan dan merevitalisasi kearifan lokal dengan terus mendakwahkan Islam yang harmonisdan menjunjung kerukunan. Dengan demikian, dapat dipastikan ulama memainkan peranan yang efektif dalam upaya menangkal faham radikalisme sekaligus meningkatkan pembinaan umat.[]

hb/viks/rin/ags

 

 
Editor:
Apakah informasi di atas cukup membantu?

TERKINI

OPINI