PONDOK PESANTREN DI DAERAH WISATA TANA TORAJA

22 Des 2016
PONDOK PESANTREN DI DAERAH WISATA TANA TORAJA

Oleh: H.M. Hamdar Arraiyyah

Kapus Litbang Pendidikan Agama dan Keagamaan

 

            Keberadaan pondok pesantren di Tana Toraja belum dikenal banyak orang, termasuk warga di Sulawesi Selatan. Mereka tidak menyangka kalau penduduk muslim di daerah itu yang tergolong minoritas sudah memiliki pondok pesantren. Mereka lebih mengenal Tana Toraja sebagai daerah tujuan wisata yang dikunjungi banyak pelancong mancanegara. Bagi banyak orang, etnik Toraja masih identik dengan pemeluk agama Kristen dan mereka kurang mengenal keberadaan orang-orang asli Toraja yang menganut agama Islam.   

Tana Toraja sebagai daerah tujuan wisata mempunyai alam yang indah dan sejuk. Letaknya di kawasan pegunungan menyebabkan udara dingin pada waktu malam. Sebagian rumah penduduk dan bangunan lain berdiri di tanah miring, lereng gunung, dan puncak bukit. Barisan pegunungan dan lembah hijau mewarnai panorama sekitar.

Daerah ini memiliki budaya unik. Di beberapa tempat, seperti kawasan Londa,  terdapat gunung batu yang lerengnya dilubangi untuk menyimpan peti mayat. Di sampingnya terdapat pula lubang untuk menyimpan patung-patung kayu yang menyerupai tampilan jenazah yang disimpan di situ. Jenazah dibiarkan berada dalam peti yang ditumpuk hingga peti hancur dan menyisakan tulang belulang dan tengkorak. Tradisi ini masih berlangsung hingga hari ini, namun terbatas pada rumpun keluarga tertentu yang memiliki status sosial tinggi menurut adat setempat.  

Upacara pemakaman jenazah sering diselenggarakan dengan pesta yang besar.  Banyak sekali warga yang terlibat pada upacara terkait dengan kematian itu. Puluhan kerbau dan babi dipotong pada penyelenggaraan upacara keagamaan bercampur adat itu, yang disebut dengan rambu tuka. Kerbau biasanya diadu lebih dahulu sebelum lehernya ditusuk dengan pisau atau digorok dengan parang. Tari dan nyanyi yang disebut ma'badong dilakukan sebelum pemakaman jenazah, yang dalam kasus tertentu sudah disimpan beberapa bulan atau tahunan menanti pemakaman. Upacara pemakaman ini menjadi salah satu daya tarik wisatawan mancanegara. Banyak di antara mereka memilih waktu kunjungan bertepatan dengan  penyelenggaraan upacara itu.

Upacara keagamaan bercampur adat tersebut dilakukan oleh orang Toraja yang menganut kepercayaan lokal dan penganut agama Kristen dan Katolik. Tradisi pemakaman jenazah seperti itu tidak dijumpai di kalangan pemeluk agama Islam, kendatipun warga muslim setempat mengambil bagian sebagai pengantar dalam prosesi pemakaman jenazah. Penyelenggara upacara biasanya menyiapkan hidangan khusus bagi tamu dan kerabat mereka yang beragama Islam.

             Rumah adat Toraja disebut tongkonan. Bubungannya melengkung dan menghadap ke atas. Bangunan diberi hiasan ukiran khas Toraja. Motifnya terbentuk dari lingkaran,  segi tiga,  segi empat, gambar kepala kerbau dan ayam jantan. Selain itu, pada bagian depan rumah adat itu  sejumlah tanduk kerbau disusun ke atas dan dilekatkan  pada sebuah tiang kayu.  Jumlah tanduk pada sebuah tiang bisa mencapai sekitar tiga puluhan.  Bentuk, unsur, dan penataannya pada rumah adat ini mencerminkan kepercayaan dan falsafah hidup orang Toraja, menurut kepercayaan lokal dan tradisi setempat. Model tongkonan ini ditiru pada banyak bangunan penting,  seperti kantor pemerintah dan pintu gerbang. Model tongkonan ini menciptakan karakteristik bangunan rumah dan gedung di Tana Toraja.

Nama Tana Toraja mengindikasikan etnik yang mendiaminya. Suku bangsa Toraja termasuk salah satu etnik yang berdiam di provinsi Sulawesi Selatan. Lebih dari seratus tahun silam pekabaran Injil mulai dilakukan di sini. Hingga kini kebanyakan warga suku bangsa ini menganut agama Kristen dan Katolik. Sebagian kecil masih mempertahankan kepercayaan lokal yang dikenal dengan nama Aluk Todolo. Beberapa tahun terakhir data kependudukan memasukkan mereka sebagai penganut agama Hindu. Sebagian warga etnik ini menganut agama Islam dan masuk kelompok minoritas.

Lokasi Pondok Pesantren

            Pesantren Pembangunan Muhammadiyah Tana Toraja berdiri di atas tanah seluas 20.000 meter persegi, dua belas kilometer sebelum kota Makale dari arah Enrekang. Lokasinya berbukit dan masuk wilayah Kelurahan Getengan, Kecamatan Mengkendek. Wilayah kecamatan ini berbatasan langsung dengan wilayah kabupaten Enrekang di sebelah selatan yang mempunyai penduduk hampir seratus persen menganut agama Islam. Wilayah kecamatan ini memiliki penduduk muslim terbanyak dibandingkan dengan delapan belas kecamatan lainnya di Tana Toraja.

            Etnik yang mendiami Kabupaten Enrekang terdiri dari Bugis dan Duri. Dalam pergaulan sehari-hari orang Duri dan orang Toraja dibedakan, namun warga kedua komunitas itu dapat berkomunikasi dengan bahasa daerah. Kedua bahasa daerah itu (Toraja dan Duri) masih serumpun. 

         Menurut data tahun 2014 dari kantor BPS Tana Toraja, di kabupaten ini terdapat sebanyak 30.311 jiwa penduduk yang menganut agama Islam atau 13,40 persen dari total peneduduk yang jumlahnya 226.260 jiwa. Pemeluk agama Kristen sebanyak 146.991 jiwa (64.97%), Katolik sebanyak 40.858 jiwa (18.06%), Hindu sebanyak 8.082 jiwa (3.57%), dan Buddha sebanyak 18 jiwa (0.003%).  

         Lahan untuk mendirikan pondok pesantren di daerah ini tidak mudah didapat. Rencana semula, pondok ini akan didirikan di Makale, namun karena ada kendala terkait pembebasan tanah, maka rencana itu tidak dapat dilaksanakan. Proses transaksi lahan tersebut yang tergolong tanah adat dirasakan rumit dan melibatkan banyak pihak terkait. Karena itu, maka pihak perintis pendirian pondok terpaksa harus mengurungkan niat mereka selama setahun. Pada tahun 1990 barulah pembangunan fisik pondok dimulai dan kegiatan belajar dilaksanakan pada tahun itu juga.

        Pondok itu berdiri di atas tanah wakaf dari seorang warga muslim asli setempat yang bernama Haji Min Kamase (almarhum). Ia juga berperan sebagai pemborong yang mengerjakan bangunan yang pertama didirikan. Luas tanah semula adalah seribu meter persegi. Pembebasan tanah penduduk dilakukan secara bertahap hingga mencapai sekitar dua hektar. Lahan yang tersedia masih dirasakan kurang, sementara dana yang dimiliki untuk membeli tanah belum tersedia.

         Tanah di sekitar pondok terdiri dari tanah perbukitan yang difungsikan sebagai kebun. Sebagian lainnya berupa lembah atau tanah datar yang dikelola sebagai sawah yang ditanami padi.  Tak jauh dari lokasi pondok berdiri sebuah hotel yang memiliki beberapa gedung berlantai dua dan megah, menyerupai model tongkonan. Hotel itu dibangun sekitar tiga atau empat tahun sebelum pondok itu didirikan.   

Pemukiman di sekitar pondok umumnya didiami oleh penduduk asli setempat suku bangsa Toraja. Mereka terdiri dari penganut agama Islam, Katolik, dan Kristen. Banyak di antara penduduk yang menganut agama yang berbeda itu masih mempunyai hubungan kekerabatan yang dekat. Salah seorang penduduk setempat (Mathius Rande, 72) menuturkan bahwa ia dan isterinya adalah pemeluk agama Kriten, tetapi dua di antara kakak isterinya menganut agama Islam. Ada juga di antara keluarga dekatnya yang menganut agama Hindu, yang semula dikenal sebagai penganut kepercayaan Aluk Todolo. Dalam berbagai kesempatan acara keluarga tiga macam penganut agama itu bertemu. Hal semacam ini sangat lazim di Tana Toraja dan dialami oleh banyak keluarga.

        Di depan pondok, tepat dipinggir jalan raya sebuah bangunan difungsikan sebagai Raudhatul Athfal masih terkait dengan pengelolaan pondok. Tak tak jauh di sebelahnya ada sebuah mushalla yang dibangun oleh beberapa keluarga. Di sebelah selatan pondok terdapat beberapa gereja. Salah satu di antaranya adalah gereja besar yang memiliki lembaga pendidikan. Gereja itu masuk denominasi Advent. Tak jauh di depan pondok, di seberang jalan di sebelah barat, kampus Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri Tana Toraja didirikan. Sampai saat ini, akses jalan di pondok pesantren menuju gedung di bagian paling belakang atau paling timur adalah milik warga yang beragama Kristen. Sementara itu, di sebelah timur, pondok berdiri komplek pendidikan Katolik yang dilengkapi dengan sarana rumah ibadah. Kehadiran sejumlah lembaga pendidikan dengan ciri keagamaan yang berbeda itu mewarnai lingkungan di ibu kota kecamatan ini.      

Proses Pendirian Pondok

         Salah seorang perintis pendirian pondok ini bernama Drs.A. Zainal Muttaqien, M.Pd. (59). Ia adalah seorang dai etnik Jawa yang ditugaskan di daerah ini sejak tahun 1985. Ia menjalani kontrak dengan organisasi yang mengutusnya selama 25 tahun. Selama jangka waktu tiga puluh tahun ia sudah merasakan suka duka yang beraneka ragam dalam menjalankan tugas dakwah. Pada masa awal bertugas, ia mengunjungi sebuah desa di gunung dengan jalan berjalan kaki seorang diri. Ia berangkat pada pukul sembilan pagi dan tiba pada pukul satu dini hari. Ia kadang-kadang menunggang kuda atau memakai sepeda motor. Sejumlah desa di kawasan pegunungan sudah ia kunjungi. Tugas dakwah yang ia jalani menjadi perantara sekitar tiga ratus enam puluh orang untuk mengucapkan dua kalimat syahadat. Tugas sebagai mubalig yang ia jalankan sudah agak berkurang.  Sebagian alumni dan murid pondok pesantren melanjutkan tugas tersebut.

            Tokoh lainnya yang mengambil bagian pada pendirian pondok pesantren ini adalah Sudirman, M.Pd. Ia adalah seorang muslim etnik Toraja penduduk asli setempat. Ia lahir dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga muslim. Ia menyelesaikan pendidikan S2 di Malang. Saat ini ia menjabat Kepala Madrasah Aliyah di lingkungan pondok. Ia berdiam tak jauh dari pondok sehingga hal tersebut memungkinkan ia aktif membina siswa atau santri pondok setiap hari.          

Pembangunan pondok pesantren di daerah ini merupakan upaya bersama antara potensi umat setempat dengan dukungan umat dari luar. Dana awal untuk membangun gedung pondok diperoleh dari bantuan luar negeri (Kuwait) melalui organisasi Islam di Jakarta. Perencanaannya di bawah binaan pimpinan wilayah Muhammadiyah Provinsi Sulawesi Selatan bersama dengan panitia lokal. Sebelum menentukan jenis dan jenjang pendidikan, dilakukan survei pada masyarakat muslim setempat. Berdasarkan hasil survei itu panitia memutuskan untuk mendirikan Madrasah Tsanawiyah. Hasil survei ini menggugurkan rencana awal yang menghendaki pendirian Islamic Centre yang dilengkapi sarana pendidikan, usaha eknomi, dan kesehatan. Menurut Pak Sudirman, rencana awal tak dapat dilaksanakan karena daya dukung dipandang tidak memadai.   

Pada awalnya lembaga pendidikan yang didirikan memakai nama MTs dan SMP. Akan tetapi, setelah berjalan beberapa tahun, pejabat pada istansi Kementerian Agama setempat menyarankan kepada pengelola lembaga pendidikan untuk memilih status sebagai MTs atau SMP. Pengelola kemudian sepakat memakai nama SMP karena pertimbangan praktis. Ketika itu, bantuan dari Departemen Agama tidak ada, sementara bantuan dari pusat melalui Departemen Pendidikan kepada SMP dapat dipeoleh. Hingga kini, menurut pengelola pondok pesantren, bantuan yang bersifat fisik berasal dari isntansi pemerintah pusat, sementara bantuan dari pemerintah daerah setempat untuk SMP baru sebatas penempatan tenaga guru.

Pada tahap awal rekrutmen murid pesantren, lima cabang Muhammadiyah di daerah itu diarahkan untuk mencari masing-masing empat orang calon murid. Akan tetapi, target itu tidak dapat dicapai oleh semua cabang. Walaupun demikian, pada tahun pertama murid yang terdaftar sebanyak dua puluh orang. Mereka adalah warga setempat dari etnik Toraja.

Saat ini bagian terbesar dari murid adalah suku bangsa Toraja dan penduduk etnik lain yang menetap di Toraja. Dapat dikatakan bahwa pondok pesantren tumbuh dan berkembang di kalangan umat setempat. Hampir tidak ada santri dari luar tana Toraja. Pesantren didirikan untuk membina dan menyiapkan kader-kader ahli agama Islam yang diperlukan masyarakat. Menurut Pak Zainal Muttaqien, pada tahun 1990-an beberapa masjid tidak menyelenggarakan shalat Jumat karena kekurangan khatib. Sesuai pengalaman lapangan, hingga sekarang kesulitan khatib pada hari Jumat masih sering dialami oleh masjid tertentu di daerah ini. Pelaksanaan shalat Jumat diundur cukup lama karena menunggu khatib.

Pengelola pondok masih dihadapkan pada sejumlah kendala. Di antaranya, warga muslim setempat belum banyak mengenal pesantren. Selain itu, pandangan mereka tentang peran alumni pesantren di kemudian hari masih sebatas pada bidang keagamaan. Pandangan itu secara berangsur-angsur mengalami perubahan. Hal itu ditandai dengan peningkatan murid yang mendaftar dari waktu ke waktu.

Hingga hari ini latar belakang murid yang belajar di pondok ini adalah keluarga tidak mampu, mualaf, anak yang susah dikendalikan oleh orang tuanya, dan anak-anak yang orang tuanya bercerai atau menghadapi masalah. Persoalan input ini dirasakan berat oleh para pembina,  yakni pimpinan pondok, kepala MA dan Kepala SMP. Meskipun demikian, menurut Kepala SMP di pondok ini,  tingkat keberhasilan yang ditunjukkan oleh para siswa melalui ujian dan aneka lomba antar sekolah di tana Toraja terutama di bidang akademik dianggap membanggakan. 

 Pondok Pesantren ini memberi kontribusi dalam menyelamatkan kelanjutan pendidikan bagi anak-anak tidak mampu. Pada tahun 2015 lembaga pendidikan ini menampung 40 siswa tidak mampu dan 10 anak yatim. Kebutuhan biaya hidup dan pendidikan sebagian siswa diusahakan oleh pengurus pondok melalui bantuan Dinas Sosial Provinsi Sulawesi Selatan, organisasi Aisyiyah dan donator perorangan. Satu dua siswa tidak mampu melanjutkan pendidikan karena kesulitan biaya.

             Dalam perkembangan selanjutnya, sejak tahun 2012 didirikan SMK. Pendirian SMK ini juga didahului dengan penyelenggaraan survei. Dengan demikian, di lingkungan pondok  ada tiga satuan pendidikan, yaitu SMP dengan jumlah murid 139 orang, MA dengan jumlah jurid 101 orang, dan SMK yang memiliki 35 murid (Maret 2015). Madrasah Aliyah menyelenggarakan dua jurusan, yaitu IPA dan IPS. Sekitar 70 persen siswa tinggal di lingkungan pondok sedangkan sisanya sekitar 30 persen tinggal di rumah orang tua atau keluarga. Salah satu penyebabnya ialah karena daya tampung asrama yang belum sepenuhnya mampu memenuhi kebutuhan. Konsekuensinya, sebagian siswa tidak dapat mengikuti kegiatan ekstra kurikuler sepenuhnya.

         Bimbingan keagamaan bagi para santri dilakukan di masjid, terutama sesudah shalat berjamaah Subuh, Asar dan Magrib. Waktu itu dipergunakan untuk memberikan pelajaran agama tambahan yaitu Al-Qur’an, dan Kemuhammadiyahan. Selain itu, para siswa dilatih untuk mengembangkan keterampilan pidato. Siswa secara bergiliran latihan berpidato setelah shalat berjamaah. Di samping itu, waktu-waktu itu juga dipergunakan untuk mengembangkan hafalan surah-surah terentu dari Al-Qur’an. Waktu menjelang shalat Magrib juga dipakai oleh santri untuk melancarkan bacaan dan hafalan Al-Qur’an. 

         Keterampilan berpidato mendapat perhatian utama di pesantren ini. Ini sejalan dengan latar belakang pendirian pesantren ini untuk menyiapkan tenaga pembimbing keagamaan di masyarakat setempat. Kehadiran sejumlah lembaga pendidikan Islam dianggap belum memenuhi harapan tersebut. Menurut data tahun 2014, di Kabupaten Tana Toraja teradapat tujuh MI dengan jumlah murid 1.123 orang, dan lima MTs dengan murid sebanyak 714 murid. Keterampilan berpidato bagi santri dilakukan pula dengan menugaskan mereka secara langsung ke masjid-masjid setempat. Siswa dikirim secara bergilir dan berkelompok untuk tinggal di masyarakat pada akhir pekan dan kembali ke pondok pada awal pekan. 

         Kesenian, khususnya tari dan musik mendapat perhatian. Santri didekatkan dengan masyarakat muslim melalui medium seni. Pondok pesantren sesekali melayani permintaan masyarakat muslim yang menyelenggarakan pesta pernikahan untuk mempertunjukkan tari lokal (santri putri) dan diiringi dengan musik (putra). Masyarakat yang dikunjungi mencakup wilayah yang jauh dan harus ditempuh dengan menumpang mobil truk.

         Menumbuhkan minat di bidang ekonomi juga mendapat perhatian. Keterampilan di bidang pertanian pernah diusahakan melalui budidaya strawberi dan tanaman lainnya. Berbagai upaya itu sifatnya pengenalan kepada santri dan uji coba. Keterampilan mencakup pula bidang industri hasil kerajinan. Kegiatan merangkai bunga tiruan dari bahan plastik bekas menghasilkan banyak karya yang dipajang di lingkungan pesantren.    

         Akhirnya, di tengah berbagai keterbatasan terutama sarana prasarana dan pendanaan Pondok Pesantren Pembangunan Muhammadiyah Tana Toraja menapaki jalan menanjak setahap demi setahap. Beberapa siswa yang pernah belajar di pesantren ini telah meraih gelar sarjana di sejumlah program studi dan kembali mengabdi sebagai guru dan pegawai administrasi. Hingga sekarang, kebutuhan guru untuk semua bidang studi dipenuhi oleh guru yang menganut agama Islam. Selain itu, sebagian guru menjalankan tugas tanpa memperoleh honorarium dari pesantren. Kualifikasi pendidikan tenaga pengajar juga memperlihatkan peningkatan berkat dukungan berbagai pihak. Relasi pesantren dengan penduduk sekitar juga terjalin dengan rukun. *** 

Editor:
Apakah informasi di atas cukup membantu?

TERKINI

OPINI