Prof. Gunaryo: Pentingnya Memahami Hubungan antara Agama dengan Negara
Semarang (BMBPSDM)---Penting dipahami bahwa di Indonesia, agama dan negara tidak sepenuhnya terpisah. Namun, negara juga tidak boleh memaksakan kebijakan yang dianggap sebagai "kebijakan Tuhan".
Hal tersebut sampaikan Prof. Dr. Achmad Gunaryo, M. Soc., Sc., Guru Besar Ilmu Hukum UIN Walisongo Semarang dalam Seminar Penguatan Moderasi Beragama dengan tema “Moderasi Beragama: Menjaga Harmoni Bangsa," di Gedung Serba Guna Dekanat Lantai 3 Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang.
Gunaryo menambahkan bahwa mahasiswa perlu merenungkan isu ini secara kritis dan menulis makalah berdasarkan pandangan masing-masing.
"Saya khawatir jika kebijakan negara diidentikkan dengan kebijakan Tuhan, maka ketika negara itu korup, agama bisa disalahkan. Padahal, dalam konteks Indonesia, kita memiliki kebebasan untuk memeluk, menjalankan, dan menyebarkan agama apa pun tanpa diskriminasi," ujarnya.
Gunaryo menekankan pentingnya Pancasila sebagai landasan kebangsaan dan keragaman.
"Jika kita gagal melaksanakan nilai-nilai Pancasila, kita akan dipaksa kembali untuk mengoreksi diri. Pilihan ada di tangan kita: sukses atau tidak," kata Gunaryo Kepala Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI Periode 2020-2021.
Gunaryo mencontohkan bagaimana Indonesia sebagai bangsa mampu menerima keragaman, seperti bahasa Melayu yang menjadi bahasa nasional meskipun mayoritas penduduknya adalah suku Jawa. Hal ini, menurutnya, adalah bukti toleransi yang harus dipertahankan di tengah arus globalisasi yang memudar.
Lebih lanjut, Gunaryo menyoroti tantangan seperti intoleransi, kapitalisme, dan konflik yang mengatasnamakan agama.
"Kita sering melihat orang yang saling menyerang adalah mereka yang memiliki keyakinan agama sama. Padahal, perilaku keagamaan seharusnya tercermin dari kehidupan sehari-hari yang penuh kedamaian," jelas Gunaryo dalam pemaparannya, Kamis (19/12/2024).
Menurut Gunaryo, pluralisme harus tumbuh seiring dengan demokrasi. Negara, katanya, memiliki peran memfasilitasi kehidupan beragama tanpa memaksakan ideologi tertentu.
"Indonesia memiliki masjid, gereja, vihara, kelenteng dan sebagainya. Semua ini adalah bukti keindahan keragaman yang kita miliki," katanya.
Gunaryo mengajak mahasiswa untuk memahami bahwa keyakinan pribadi adalah urusan masing-masing.
"Tuhan itu satu, tapi kepercayaan terhadap-Nya bisa berbeda. Marilah kita hidup bersama tanpa menyalahkan satu sama lain," pungkasnya.
Sementara itu, Prof. Dr. Ali Masyhar, S.H., M.H. Guru Besar Ilmu Politik Hukum Pidana/Direktur Pusara Teror Fakultas Hukum UNNES mengatakan, potensi ancaman radikalisasi yang bisa berkembang di kalangan mahasiswa terutama di tiga area yang rawan, yaitu di lembaga kegiatan mahasiswa, tempat ibadah, dan kos-kosan.
"Kita perlu mencegah penyalahgunaan pemahaman agama dan memperkuat pemahaman yang benar agar generasi muda tidak terjebak dalam ajaran yang ekstrem," jelas Ali.
Ali juga menegaskan bahwa agama seharusnya menjadi rahmat bagi seluruh umat manusia, bukan hanya bagi penganutnya sendiri, tetapi juga untuk mereka yang memiliki keyakinan berbeda.
"Kita hidup dalam masyarakat yang plural, dan kita harus mampu berdampingan dengan umat agama lain tanpa kebencian. Oleh karena itu, saling menghormati dan bekerja sama mencari kebenaran adalah kewajiban kita semua," tambahnya.
Ali menekankan pentingnya memperkuat kualitas pendidikan agama dalam menghadapi tantangan global seperti radikalisasi dan penyebaran hoaks, untuk membentuk pemahaman agama yang moderat dan bijaksana.
"Bersama-sama, kita harus memperbaiki kualitas pemahaman agama kita agar dapat hidup lebih bijak dalam kehidupan bermasyarakat," ujarnya.
Ali mengajak semua elemen masyarakat, terutama mahasiswa, untuk memperkuat rasa toleransi dan menghargai perbedaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Seminar ini terlaksana berkat kerjasama antara Balai Litbang Agama Semarang dan Universitas Negeri Semarang.