Jangan Asal Tanya, Ini Risiko Fatal Survei Keberagamaan Tanpa Validitas

Jakarta (BMBPSDM)---Kepala Badan (Kaban) Moderasi Beragama dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BMBPSDM) Kementerian Agama, Muhammad Ali Ramdhani, menekankan pentingnya validitas instrumen dalam penyusunan survei Indeks Keberagamaan Siswa dan Mahasiswa.
Arahan tersebut disampaikannya saat didaulat memberi masukan dan arahan sekaligus menutup rapat bersama Tim Pusat Strategi Kebijakan Pendidikan Agama dan Keagamaan (Pustrajak Penda) terkait penyusunan survei Indeks Keberagamaan Siswa dan Mahasiswa yang dihelat di Jakarta, Selasa (8/7/2025).
“Validitas itu adalah tentang sejauh mana kita mampu mengukur sesuatu dengan alat ukur yang tepat. Kalau mengukur berat badan, jangan pakai meteran. Mengukur suhu, jangan pakai kilogram. Begitu juga mengukur keberagamaan, harus pakai pendekatan dan alat ukur yang sesuai,” tegasnya.
Kaban Dhani, sapaan akrabnya, menekankan pentingnya validitas dan reliabilitas instrumen pengukuran dalam survei tersebut. Validitas bukan sekadar memastikan bahwa alat ukur sesuai dengan tujuan pengukuran. Akan tetapi, juga menyangkut ketepatan dalam memahami konteks keberagamaan secara objektif.
Guru Besar UIN Sunan Gunung Djati Bandung ini juga menyoroti pentingnya memperhatikan dimensi subjektif dalam persepsi responden. Perbedaan interpretasi terhadap pertanyaan survei dapat menyebabkan hasil yang bias jika instrumen tidak dirancang dengan baik.
“Persepsi itu harus menjadi asumsi utama. Kalau dua orang diberi skala yang sama, tapi hasilnya sangat jauh berbeda, maka kita perlu mengevaluasi instrumennya. Bisa jadi karena pertanyaannya tidak pas,” ujarnya.
Lebih jauh, ia juga mengingatkan bahwa keberagamaan tidak hanya bisa diukur dari ekspresi atau praktik keagamaan yang tampak. Akan tetapi juga dari cara seseorang menjiwai nilai-nilai spiritual dalam kehidupannya.
“Agama itu ada dua pendekatan, yakni produk dan proses. Produk berkaitan dengan praktik luar, sementara proses menyangkut cara kita memahami dan menjiwai nilai-nilai keagamaan. Dalam konteks inilah, keberagamaan tidak bisa dinilai secara hitam putih. Tapi harus melihat konteks dan pengalaman individu,” jelasnya.
Kaban Dhani pun mencontohkan bagaimana sebuah pertanyaan yang tidak dirumuskan dengan tepat dapat menimbulkan multiinterpretasi dan berujung pada simpulan yang keliru.
“Misalnya saya tanya: tembok ini warnanya apa? Akan ada yang bilang coklat muda, coklat tua, bahkan putih. Tapi kalau saya tanya: tembok ini terbuat dari apa, jawabannya bisa lebih objektif. Begitu juga dalam survei ini, pertanyaan harus tajam dan sesuai dengan tujuan pengukuran,” tegasnya.
Integritas proses
Kaban Dhani juga menekankan pentingnya menjaga kerahasiaan identitas responden dan ketepatan dalam proses pengambilan data. Menurut dia, integritas proses ini menentukan kualitas simpulan yang akan diambil oleh Kemenag sebagai dasar kebijakan.
“Kalau kita ingin hasil yang objektif dan representatif, maka populasi responden harus tepat, pertanyaan harus akurat, dan proses pengambilan data harus terjaga. Jangan sampai kita menarik kesimpulan dari data yang bias,” katanya.
Kepala Pustrajak Penda Rohmat Mulyana Sapdi yang memoderatori diskusi mengatakan bahwa rapat tersebut merupakan bagian dari proses penyempurnaan instrumen survei Indeks Keberagamaan Siswa-Mahasiswa yang tengah disusun oleh Pustrajak Penda BMBPSDM Kemenag.
“Tujuan kegiatan ini untuk memetakan kondisi keberagamaan siswa dan mahasiswa sebagai dasar penyusunan kebijakan pendidikan keagamaan yang moderat, inklusif, dan adaptif terhadap keberagaman masyarakat Indonesia,” ungkap Rohmat menutup laporan.
(Ova)