Prof.Machasin: Indonesia Negara Toleran

11 Mar 2013
Prof.Machasin: Indonesia Negara Toleran

Jakarta (Pinmas)—Pgs. Kepala Badan Litbang dan Diklat Kemenag Machasin mengemukakan, Indonesia merupakan negara yang sangat toleran. Hal ini, lanjut Machasin, misalnya bisa dilihat dari adanya hari libur nasional dalam perayaan hari besar agama-agama minoritas.

“Konghucu di Indonesia jumlahnya hanya 4 -5 juta, tapi hari raya-nya dijadikan hari libur nasional. Umat Islam di Prancis dan Jerman sekitar 10%, tapi Idul Fitri dan Idul Adha tidak dijadikan hari libur oleh
mereka,” kata Machasin ketika membuka acara Launching Laporan Tahunan Kehidupan Keagamaan Di Indonesia 2012, di Hotel Akmani Jakarta, Kamis (07/03).

Senada dengan itu, Jusuf Kalla (JK) yang tampil sebagai komentator pertama menegaskan bahwa toleransi di Indonesia sangat baik. Hal ini, menurutnya, bisa dilihat dan dibuktikan dari beberapa perspektif. Dari hari libur nasional, rata-rata hari libur nasional di Indonesia adalah hari libursemua agama. “Ini tidak terjadi di negara apapun di dunia,” tegas JK.

Dari sisi kepemimpinan, JK mengatakan bahwa pada tahun 2007, dari 33 gubernur di Indonesia, 10 di antaranya adalah non muslim; kalau sekarang 8 gubernur. Dari sisi pemerintahan, pada zaman orde baru, semua kementerian penting pernah dijabat oleh Non Muslim. Hal ini merupakan sesuatu yang mungkin tidak pernah terjadi di Amerika sekalipun; bahwa ada kementerian strategis dipegang oleh muslim selaku minoritas di sana.

Menguatkan JK, Slamet Effendy Yusuf menegaskan bahwa toleransi di Indonesia hanya sekedar masalah pergaulan, tetapi bahkan sampai pada masalah political sharing. “Sejak kemerdekaan, tidak ada satupun cabinet yang tidak bercampur antara muslim dan non muslim,” tegas Slamet.

Karenanya, Slamet mendorong agar toleransi dipahami pada struktur yang lebih luas; tidak sekdar interaksi antar agama, tapi juga pada wilayah sharing, pada ranah politik maupun sosial. “Ini sesuatu yang hampir tidak terjadi di negara lain,” tambah Slamet.

Tampil sebagai komentator ketiga, Edy Purwanto memberikan catatan tentang tidak dilibatkannya perempuan dalam launching ini. Menurut Edy, perspektif perempuan penting untuk didengarkan setidaknya karena dua hal: pertama, secara demografi, penduduk Indonesia lebih banyak perempuan. Kondisi ini terjadi di 29 provinsi dari 33 provinsi di Indonesia. Adapun alasan kedua, dalam berbagai kasus dan persoalan keagamaan, perempuan seringkali yang menjadi korban.

Edy Purwanto juga menyorot masalah penggunaan data. Menurutnya, kenapa yang digunakan data dari media, bukan menggunakan data yang dihimpun langsung melalui struktur birokrasi Kemenag di daerah (Provinsi maupun Kabupaten/Kota) yang locus et actus-nya berdekatan.

Sebagai komentator terakhir, Asrori menilai bahwa laporan tahunan Puslitbang Kehidupan Keagamaan ini penting untuk dikembangkan. “Laporan komprehensif seperti ini dapat menyajikan keseimbangan pasokan informasi pada media massa sehingga opini publik yang terbentuk oleh publikasi media
bisa berimbang. Laporan ini sepatutnya bisa menjadi bahan dasar penjelasan resmi pejabat publik,” kata Asrori.

Terkait masalah penyelesaian kasus keagamaan, Asrori memandang perlunya membekali keterampilan resolusi konflik terhadap perangkat KUA. “KUA perlu dibekali keterampilan resolusi konflik karena mereka merupakan unsure Kementerian Agama yang berada pada garda terdepan,” ujar Asrori. (mkd)

Editor:
Apakah informasi di atas cukup membantu?

TERKINI

OPINI