Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan Selenggarakan Seminar Hasil Penelitian Peta Umat Konghucu
Jakarta (23 Oktober 2017). Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama menyelenggarakan Seminar Hasil Penelitian Peta Umat Konghucu, bertempat di Hotel Millenium Jakarta, (23/10).
Seminar dihadiri 50 orang peserta dari perwakilan Majelis Agama Konghucu, Majelis Agama Buddha, Komunitas Tridharma, dan sejumlah peneliti di lingkungan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama.
Seminar dibuka oleh Kepala Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan Muharam Marzuki, Ph.D. Dalam sambutannya, Muharam menegaskan bahwa Kementerian Agama berkepentingan dengan penelitian ini. “Sejak terbitnya Kepres No. 6 Tahun 2000 oleh Gus Dur yang membatalkan Inpres No. 14 Tahun 1967, maka Kementerian Agama mendapatkan amanat untuk menyiapkan fasilitas layanan keagamaan bagi umat Konghucu. Bila secara struktual bidang Konghucu sudah terfasilitasi dengan jabatan eselon 2 di Kementerian Agama, maka kita mau tahu bagaimana kesiapannya di tingkat bawah. Seminar hasil penelitian ini akan menjelaskan hal itu,” tukasnya.
Hasil penelitian dipresentasikan oleh Ketua Tim Penelitian, Reslawati; dipandu oleh Edi Junaedi sebagai moderator. Tampil sebagai narasumber utama Prof. Ihsan Tanggok, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Mudhofir, Kepala Pusat Bimbingan dan Pendidikan Konghucu Setjen Kementerian Agama.
Reslawati memaparkan masih ada tiga persoalan utama yang ditemukan terkait kesiapan fasilitasi keagamaan umat Konghucu. Pertama, soal hak-hak sipil kewargaan, seperti KTP dan pelayanan pernikahan. Kedua, penyelesaian rumah ibadah, yang dianggap aspek strategis yang bisa menyelesaikan soal pendataan umat Konghucu secara menyeluruh. Ketiga, relasi dengan umat Buddha dan Tridharma, yang sampai hari ini masih belum tuntas diselesaikan antar majelis tinggi masing-masing.
Pada sesi diskusi, terjadi perdebatan tentang konsepsi keagamaan dan penyelesaian soal rumah ibadah. Soal Imlek yang sejauh ini diklaim hari raya Konghucu, dipersoalkan oleh Walubi dan Tridharma, begitu juga terkait Kelenteng. Sempat mendapatkan respon balik dari pihak Konghucu, suasana diskusi hampir saja mengalami debat kusir, sampai akhirnya moderator menengahi agar beberapa aspirasi yang belum dan masih dianggap perlu diungkapkan bisa disampaikan secara tertulis kepada Ketua Tim Penelitian.
Seusai dialog, dua orang narasumber memberikan tanggapan. Ihsan Tanggok mengklarifikasi soal klaim hari raya yang semestinya disematkan pada umat beragama, bukan etnis seperti Tionghoa. Imlek dan Kelenteng, misalnya, lanjut Ihsan, lebih tepat memang diklaim oleh agama tertentu, seperti Konghucu. Agak aneh memang bila Imlek jadi Hari Raya Tionghoa, begitu pula Kelenteng menjadi rumah ibadah Tridharma yang sementara ini tidak dikategorikan sebagai agama.
Sedangkan Mudhafir menyatakan bahwa dalam hal perseteruan antara umat beragama, pemerintah dalam posisi sebagai fasilitator atau mediator saja. Semuanya kembali kepada Majelis Agama dan umatnya, termasuk persoalan yang dihadapi umat Konghucu terakhir. Namun, dalam hal apapun, pemerintah berkeinginan kuat untuk menyelesaikan semua persoalan antar umat beragama dan memfasilitasi semaksimal mungkin pelayanan keagamaan bagi semua umat beragama, di antaranya soal pemenuhan hak-hak kewargaan seperti urusan KTP. (Edijun/bas)