Regulasi Perlindungan Umat Beragama sejalan dengan Aspirasi Mayoritas Pemuka Agama
Jakarta (15 Januari 2015). Kepala Badan Litbang dan Diklat (Kabalitbangdiklat) Kementerian Agama, Prof. Abd. Rahman Masud, Ph.D, menghadiri undangan HRWG (Human Right Working Group), Rabu (14/1). Bersama dengan perwakilan dari Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Kesehatan, Kabalitbangdiklat bertindak sebagai narasumber dalam Workshop “Masyarakat Sipil dan Pemerintah Indonesia terkait dengan Pelaksanaan Rekomendasi Kunci Hak Sipil dan Politik”.
Dalam kesempatan ini, Kabalitbangdiklat menyampaikan tanggapan pemerintah terhadap salah satu rekomendasi yang dikeluarkan oleh Komite Hak Asasi Manusia (Komite HAM) “Paragraf 25”. Sebagaimana diketahui, Komite HAM pada tanggal 25 Juli 2013 mengeluarkan 29 butir rekomendasi yang berisi perintah kepada Pemerintah Indonesia untuk memperbaiki pelaksanaan hak sipil dan hak politik pada berbagai isu.
Dari 29 rekomendasi tersebut, Komite HAM menetapkan empat rekomendasi kunci yang harus dilakukan oleh Pemerintah Indonesia. Salah satu rekomendasi kunci tersebut adalah rekomendasi yang dikenal dengan “Paragraf 25” yang merekomendasikan pencabutan Undang-Undang (UU) Nomor 1/PNPS Tahun 1965 Tentang PencegahanPenyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. “Paragraf 25” juga merekomendasikan agar pemerintah melakukan perlindungan yang lebih baik terhadap kelompok minoritas.
Dalam paparannya, Kabalitbangdiklat menjelaskan bahwa UU Nomor 1/ PNPS Tahun 1965 telah dilakukan upaya Judicial Review oleh beberapa elemen masyarakat pada tahun 2010. Menanggapi upaya tersebut, Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan putusan hukum yang bersifat tetap dan mengikat. Putusan hukum tersebut tidak boleh dilakukan upaya banding.
Dalam Amar Putusannya, MK menyatakan bahwa “menolakpermohonan para pemohon untuk seluruhnya.” Dengan demikian, UU Nomor 1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan karenanya memiliki kekuatan hukum yang mengikat kepada setiap orang.
Kabalitbangdiklat menambahkan, meskipun MK menolak untuk mencabut UU Nomor 1/PNPS Tahun 1965, tetapi MK berpendapat perlunya dilakukan revisi UU tersebut, baik dalam lingkup formil maupun materiil. Oleh karena itu, dalam merespon Amar Putusan MK tersebut, Kementerian Agama melalui Badan Litbang dan Diklat sedang menyusun draf Rancangan Undang-Undang Perlindungan Umat Beragama (RUU PUB).
Beliau menyatakan bahwa penyusunan RUU PUB sejalan dengan temuan penelitian yang dilakukan oleh Badan Litbang dan Diklat pada tahun 2013 dan 2014. Di tahun 2013, dilakukan penelitian tentang“Penodaan Agama dalam Perspektif Pemuka Agama Islam Pusat dan Daerah”. Temuan penelitian menunjukkan bahwa para pemuka agama memandang bahwa Pemerintah melalui Kementerian Agama harus membuat regulasi yang lebih tegas dan jelas terkait penodaan agama.
Temuan ini diperkuat dengan hasil penelitian pada tahun 2014 tentang“Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Berbagai Daerah”. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa menurut mayoritas pemuka agama, pemerintah harus menyusun regulasi tentang hubungan antarumat beragama.
Selanjutnya Kabalitbangdiklat menyatakan bahwa selain sejalan dengan keinginan masyarakat, RUU PUB juga dibangun berdasarkan semangat konstitusi yang melindungi Hak Asasi Manusia. Menurutnya, RUU yang sedang disusun akan mengakomodir berbagai aspirasi dan kepentingan, tidak hanya dari kelompok keagamaan mainstream, tetapi juga kelompok keagamaan minority.
Kabalitbangdiklat menyatakan bahwa berdasarkan UUD 1945 Pasal 29, RUU PUB disusun untuk menjamin kebebasan dan kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk dan beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianut. Meskipun demikian, ia menambahkan tentu semangat kebebasan juga harus tetap dibatasi dengan seperangkat norma dan aturan untuk menciptakan toleransi, kedamaian, dan kerukunan antarumat beragama di tengah masyarakat.
“Dalam konteks menciptakan masyarakat yang toleran,tenggangrasa, dan harmoni itulah sebuah regulasi perlu dihadirkan, karena tanpa regulasi, pengelolaan atas keragaman menjadi riskan,” demikian pungkasnya.
Dalam sesi tanya jawab, peserta diskusi menyampaikan harapan agar Kementerian Agama tidak ikut memandang sesat bagi kelompok-kelompok keagamaan yang berseberangan dengan pemahamanmainstream. Pertanyaan tersebut dijawab oleh Kabalitbangdiklat: “percayalah, Kementerian Agama yang dipimpin oleh Bapak Lukman Hakim Saifuddin, tidak akan menjadi ‘Kementerian Penyesatan’” yang disambut tepuk tangan meriah dari para peserta diskusi.
[]
ags/viks/ags