REPOSISI AGAMA DALAM PEMILU 1999; Stusi Kasus di Desa Bojonggede Kabupaten Bogo
REPOSISI AGAMA DALAM PEMILU 1999;
Stusi Kasus di Desa Bojonggede Kabupaten Bogor
Oleh: Muh. Nahar Nahrawi
Balai Penelitian dan Pengembangan Agama
1999/2000
Salah satu kebijakan politik pemerintah Orde Baru terhadap umat yang dinilai kontroversial ialah tindakan deislamisasi politik yang mengantarkan lenyapnya institusi politik Islam. Kebijaksanaan tersebut pada klimaksnya dengan menetapkan asas tunggal pancasila, sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dengan kata lain, asas-asas kehidupan selain pancasila diharamkan hidup di negara republik Indonesia. Namun demikian tindakan birokratisasi politik oleh rezim Soeharto ini tampaknya kurang berhasil membendung atau mematikan naluri dan aspirasi kenegaraan umat Islam. Malah sebaliknya berkembang asumsi umum bahwa upaya mewujudkan cita-cita masyarakat Islam dalam konteks kenegaraan tidak harus melalui jalur perjuangan (partai) politik. Cita-cita keagamaan mungkin akan lebih efektif melalui jalur sosial, budaya, dawah, pendidikan, perekonomian, birokrasi dan lain sebagainya. Asumsi atau pendapat ini diterima dikalangan tertentu dengan memberikan argumen bahwa Islam akan semakin berkembang di Indonesia jika pranata-pranata sosialnya lebih banyak bergerak pada program-program yang bersifat pragmatis dan langsung rnenyentuh pada problem-problem yang dihadapi masyarakat.
Munawir Sadzali berpendapat bahwa perkembangan agama Islam di Indonesia di tandai oleh pesatnya jumlah tempat ibadah, jamaah Haji, Perundang-undangan perkawinan dan Peradilan, semaraknya kehidupan umat beragama dan lain sebagainya. Munawir tidak pernah mengkalkulasi bahwa degradasi moral agama yang semakin meluncur dan kini berakibat pada krisis bangsa yang berkepanjangan. Pendapat Munawir ini tidak sendirian, banyak pendukungnya antara lain seorang Anthropolog Amerika Serikat Robert william Hefner. Ia memandang Islam selama masa Orde Baru lebih berkembang ketimbang masa Orde Lama. Hal itu ditandai oleh berkembangnya (kualitatif dan kuantitatif) pranata-pranata keagamaan dan organisasi-organisasi keagamaan. Barangkali Hefner tidak memperhatikan pendapat orang lain yang menilai bahwa rezim Orde baru telah banyak melaksanakan kebijakan deislamisasi politik yang merupakan tindakan pemasungan aspirasi dan menyebabkan marginalisasi umat Islam dalam proses keterlibatan politik dan pemerintahan yang kemudian menimbulkan keterbelakangan dan kemiskinan.
Sebagian pihak mengakui bahwa suasana pemilihan umum 1999 kurang mendukung kehidupan politik yang sewajarnya, karena masyarakat sedang dirundung oleh keresahan kesusahan dibidang ekonomi serta kecemasan dalam hubungan antar umat beragama. Pada bulan-bulan menjelang pemilu banyak terjadi kasus-kasus yang mengganggu keamanan ketertiban dan keharmonisan sehingga masyarakat di desa cenderung bersifat tertutup dalam menentukan sikap politik dan lebih banyak memakan pertimbangan-pertimbangan yang bersifat praktis dan menjanjikan keselamatan serta kesejahteraan.
Kehadiran partai-partai di daerah pedesaan yang beragam orientasi ideologinya membuat mereka sedikit bingung dan respon yang lamban karena kurang bisa membedakan identitas masing-masing partai terutama partai-partai Islam yang jumlahnya lebih dari 20 partai. Diantara partai-partai tersebut mempunyai perbedaan kemampuan fasilitas dan infrastruktur serta tingkat kemapanannya. Partai-partai yang lama yakni PPP dan Golkar lebih bersifat difensif untuk mempertahankan dukungan dan identitasnya, hanya saja partai Golkar lebih banyak bersifat diam terselubung karena kehilangan kader-kadernya yang kebanyakan pegawai negeri dan pamong desa. Sedangkan partai-partai yang baru lebih semangat dan lebih ofensif dukungan umat Islam.
Karena sikap ofensif itulah partai-partai baru Islam menempatkan agama sebagai instrumen yang mendasari idiologi perjuangannya dan secara fraksis dijadikan sebagai alat untuk menarik dan mengeruk dukungan umat. Menempatkan agama dalam posisi yang demikian menimbulkan ekses-ekses benturan nasional benturan internal umat Islam yang kadang kala membias pada akti£itas-aktifitas keagamaaan, seperti kegiatan dawah, penguasaan tempat ibadah dan persaingan tokoh agama. Hanya saja konflik internal tersebut sebatas dalam mencari dukungan calon pemilih partai sehingga setelah pemilihan umum mereka cepat beradaptasi untuk melakukan rekonsiliasi.***