RESPON MASYARAKAT NELAYAN DESA BANJAREJO KABUPATEN TUBAN JAWA TIMUR TERHADAP PENAYANGAN ACARA TELEVISI YANG BERMUATAN AGAMA
RESPON MASYARAKAT NELAYAN DESA BANJAREJO KABUPATEN TUBAN JAWA TIMUR
TERHADAP PENAYANGAN ACARA TELEVISI YANG BERMUATAN AGAMA
Oleh: Ahmad Syafi’i
Badan Penelitian Agama dan Kemasyarakatan Jakarta
1994/1995
Kecemasan dan kekhawatiran warga masyarakat terhadap televisi, terutama khalayak penonton disebabkan cara pandang mereka yang hanya tertumpu pada acara film yang ditayangkan oleh TV. Tayangan lainnya yang bersifat pendidikan dan informasi belum dilihat secara seimbang dangan tayangan hiburan atau film. Sebenarnya acara TV yang bersifat hiburan, terutama film Barat itulah yang dicemaskan. Padahal film yang disenangi dan di tonton oleh anak-anak justru film yang mengemban missi keadilan dan kebenaran, kejujuran dan kepahlawanan sesuai dengan perkembangan jiwa anak.
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang fungsi tayangan TV yang bermuatan agama serta respon masyarakat pemirsa terhadap tayangan tersebut. Hasil penelitian ini pada gilirannya dapat digunakan sebagai bahan evaluasi terhadap tayangan yang bermuatan agama. Selain sebagai bahan evaluasi hasil penelitian ini juga dapat dijadikan masukan bagi penyusunan program siaran TV yang bernuansa keagamaan.
Sepanjang informasi yang dapat dikumpulkan melalui kuesioner dan jawaban responden menunjukkan bahwa fungsi utama TV adalah sebagai alat untuk memperoleh hiburan. Fungsi hiburan bagi TV terutama bila menampilkan acara kesenian daerah (kethoprak). Acara ini benar-benar merupakan hiburan segar karena di tayangkannya pada jam-jam luang (golden times) yakni 18.00-21.00. Pada jam-jam seperti ini umumnya semua kegiatan atau pekerjaan sudah selesai.
Adapun mimbar agama Islam yang ditayangkan pada malam Jumat (Kamis malam) tidak sepenuhnya dapat dinikmati oleh pemirsa dari desa ini disebabkan oleh ketidaksesuaian jam penayangannya dengan kebiasaan pengajian yang ada. Orang Banjarejo masih lebih mementingkan hadir dalam pengajian tradisional, tatap muka karena dapat menumbuhkan keintiman dan perasaan kesetiakawanan atau solidaritas mekanik. Barangkali respon mereka berbeda jika dapat mengikuti dengan baik acara-acara sinetron yang bernafaskan agama seperti "Abumawas", Bengkel Bangjun dan yang sejenis.
Saran dari hasil penelitian ini adalah bahwa melihat fungsi TV yang lebih bersifat suplemen dan komplemen maka ada baiknya jika pada acara-acara kesenian daerah (kethoprak) dapat dipilih yang memiliki bobot kemanusiaan yang tinggi. Memang cerita-cerita Wali telah banyak diangkat ke layar putih dan TV, tetapi yang ditampilkan justru kelebihan-kelebihan supranatural dan bukan yang bersifat perjuangan serta etos kerja yang tinggi.***