SeAmin Walau Tak SeIman
Aku dan Tuhanku dengan caraku
Dan engkau dengan TuhanMu dengan caramu
Serta Mereka dengan TuhanNya dengan cara mereka
Kita tetap SeAmin walau Tak SeIman
Hidup dalam masyarakat majemuk dan plural dengan berbagai latar belakang adalah sebuah keniscayaan di Indonesia. Salah satu faktor yang memengaruhi keberagaman tersebut adalah faktor geografis. Indonesia yang luas dan terdiri dari ribuan pulau, menciptakan peluang besar terhadap keberagaman seperti suku, budaya, ras, serta golongan termasuk agama dan kepercayannya.
Negara ini mengakomodir enam (6) agama dan satu (1) aliran kepercayaan kepada Tuhan, lengkap dengan regulasi untuk bebas memeluk dan menjalankan ibadahnya masing masing. Hal ini termaktub dalam UUD 1945 Pasal 29 ayat 1 dan 2. Peraturan ini memberi legitimasi kepada semua insan yang berkewarganegaraan Indonesia untuk memiliki hak perogatif dalam berkepecayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, sesuai sila pertama dalam Pancasila.
Dalam praktek kehidupan sehari hari, baik dalam aktivitas pemerintah maupun kegiatan kemasyarakatan, keyakinan kepada Tuhan ditandai dengan ibadah sesuai cara pemeluknya masing-masing. Mengawali dan mengakhiri berbagai aktivitas dengan cara religius yaitu berdoa yang dibahasakan pula sesuai keyakinan masing-masing.
Aktivitas ini merupakan santapan sehari-hari dan berjalan sebagaimana mestinya sejak dahulu hingga saat ini. Bukan lagi menjadi persoalan siapa yang memandu atau memimpin doa tersebut sebab masing-masing pihak dari kalangan yang berbeda keyakinan telah mampu menyikapi dengan cara masing-masing.
Sebagian ikut menundukkan kepala lalu melafaz doanya sendiri dalam hati, sebagian ada yang ikut mendengarkan lalu mengaminkan dan sebagian lagi tidak ikut sama sekali walau tetap menjaga kekhidmatan dengan tidak bersuara.
Semua itu sah-sah saja. Kita tidak bisa memaksa naluri beragama seseorang untuk bertindak sesuai standar norma kita. Ini merupakan hubungan ekslusifnya dengan Tuhannya, dimana tata cara ibadahnya juga merupakan milik pribadinya sendiri sesuai keyakinannya.
Lalu bagaimana jika perbedaan keyakinan itu terjadi dalam satu atap?
Membayangkannya saja sepertinya akan membuat otak semrawut, ribet, dan otomatis menyimpulkannya menjadi susah bahkan cenderung mustahil. Bagaimana tidak, tata cara ibadah notabene akan berbeda, makanan ada takaran dan standar halal-haramnya masing-masing.
Namun dalam perjalanannya, ternyata hal ini tidak sesulit dalam bayangan kita.
Di Tana Toraja, kehidupan beragama yang majemuk pada satu rumah tangga banyak dijumpai. Ada yang suami istri dengan agama yang berbeda dan anak-anaknya pun diberi kebebasan untuk memilih ikut pada kepercayaan mana yang sesuai hati nuraninya.
Ada yang dalam satu rumah tangga orang tuanya berbeda agama dengan anak-anaknya karena beberapa faktor antara lain pernikahan atau anaknya memilih jalannya sendiri. Tak jarang dijumpai dalam sebuah rumah bahkan terdiri dari beberapa organisasi keagamaan.
Jika itu adalah Islam, maka sesama saudara, kadang berbeda organisasi, kakak sebagai Muhammadiyah dan adeknya NU. Hal tersebut sah saja, kehidupan bermuamalahnya sama sekali tidak terganggu dengan itu.
Jika saudara kita Nasrani, kerap dijumpai orang tuanya Kristen Protestan namun anaknya dapat terbagi menjadi beberapa dedominasi. Anak-anaknya bisa menjadi Kristen Protestan mengikuti orang tuanya, namun ada juga yang kemudian menjadi Katolik serta menjadi Pantekosta. Tak jarang ada yang kemudian memeluk Advent dimana ibadahnya justru pada hari Sabtu, bukan Minggu seperti saudara-saudaranya yang lain.
Sekali lagi, itu menjadi hal yang lumrah. Tak memicu konflik seperti yang ada dalam bayangan awal kita.
Belum lagi sebuah rumah yang di atasnya beragam di mana terdapat Pemeluk Aliran Kepercayaan (Aluk Todolo) yang dilebur sebagai Hindu, Kristen Protestan, Katolik, dan ada yang Islam. Ini bisa kita temukan, dan sampai sekarang tidak pernah ada berita negatif yang mencuat akibat perbedaan itu.
Yang ada adalah saling pengertian, saling menghargai, bahkan saling mengingatkan. Mengingatkan di sini contohnya jika waktu salat tiba, maka keluarga yang beragama lain akan mengingatkan untuk melaksankan salat. Saat salah salah satu anggota keluarga sedang beribadah maka yang lain secara naluriah menjaga kekusyukan itu.
Saat hari raya, semua akan ikut terlibat dalam proses persiapannya terkecuali pada proses ibadah masing-masing. Yang muslim kadang membantu memasang pohon Natal, membantu persiapan Paskah serta berbagai persiapan lainnya, kecuali proses ibadahnya.
Sebaliknya, yang Nasrani dan Aluk Todolo ikut sibuk menyiapkan hidangan buka puasa serta ikut larut dalam euforia Lebaran dengan segala pernak-perniknya. Lalu, dikala Aluk Todolo sedang melaksanakan ritual, maka yang Nasrani dan Islam hadir untuk ikut memeriahkan.
Menyaksikan dan memberi ucapan selamat. Tak lebih. Dan itu berjalan dengan sangat alami. Tanpa paksaan, hanya semata karena ikatan kemanusiaan, terlebih ikatan kekeluargaan yang sangat kuat bagi suku Toraja.
Ikatan ini terjadi atas penanaman nilai-nilai kekerabatan yang tinggi sejak lahir. Orang tua mengajarkan sifat kekeluargaan yang kental. Bahwa tiap orang memiliki hak asasi untuk menjadi apa dan bagaimana, termasuk agamanya, namun pertalian darah tidak dapat dihapus.
Pepatah Toraja mengatakan: "Darah yang mengalir dalam tubuh kita tidak akan mampu dipisahkan dan dibersihkan bahkan jika seluruh air di Sungai Saddang digunakan untuk mencucinya".
Hal ini pula yang menjadikan berbagai aktivitas budaya di Tana Toraja, selalu menjadi ajang untuk silaturahmi. Siapapun dia, menetap di manapun, serta agama apapun dia maka akan berusaha hadir dan melebur dalam aktivitas tersebut.
Tentang takaran halal dan haram pada makanan, masing-masing pihak sangat menjaga satu sama lain. Saat makan bersama, maka tak pernah kita meyaksikan hidangan yang haram bagi salah satu anggota keluarga. Ini sangat dijaga, termasuk sterilnya peralatan yang digunakan.
Uniknya, saat akan menikmati hidangan, maka rutinitas doa bersama akan tetap dilaksanakan. Dipimpin secara bergiliran oleh siapapun dengan agama dan keyakinan apapun. Terlepas dari siapapun yang memimpin doa itu, maka yang lain akan menyesuaikan dengan tata caranya masing-masing.
Yang Islam akan menengadahkan tangan sambal melafaz doa maka; yang Kristen membaca doa Bapa Kami dengan mengepal kedua tangan; yang Katolik akan membuat tanda salib lalu disambung dengan tata cara doanya. Yang Aluk Todolo pun akan merapal doanya juga dengan suara yang tidak mengganggu yang lain, hingga kata ‘Amin’ akan menjadi pertanda bahwa doa telah selesai dari pihak yang memimpin doa.
Yah, inilah toleransi yang sesungguhnya, dimana tak ada sekat sebagai sesama manusia. Yang ada adalah kebebasan untuk menjalankan ibadah sesuai agama dan kepercayannya. Saling jaga, saling menghargai, dan tolong menolong tanpa melihat latar belakang. Tentu saja, dengan batasan-batasan yang tidak dilanggar terutama ibadah masing-masing. Semua pihak boleh fanatik terhadap keyakinanya, namun juga harus sadar bahwa pihak lain juga akan berpegang teguh pada kepercayannya itu.
Jika kita telah sadar akan fakta tersebut maka niscaya kehidupan beragama, bermasyarakat dan bernegara akan damai tenteram dan sejuk sepanjang waktu. Karena kita sadar bahwa kita bisa SeAmin walau Tak SeIman.
Makale, Ammy’ Sudarmin.