Selain Moderasi, Menag: Perlu Arif Sikapi Era Disrupsi
Bogor (3 November 2020). Menteri Agama RI Fachrul Razi mengatakan, dunia tengah mengalami disrupsi di berbagai bidang sebagai keharusan sejarah atau sunnatullah. Ada perubahan besar dalam tatanan kehidupan dunia dan peradaban manusia. Dinamika tersebut perlu disikapi dengan arif.
“Sikap ekstrem dalam beragama, misalnya, perlu kita sikapi dengan moderasi beragama,” kata Menag saat membuka secara virtual International Symposium on Religious Life (ISRL) 2020 yang dihelat Balitbang Diklat Kemenag di Cisarua Bogor, Jawa Barat, Selasa (3/11).
Ia menegaskan, bahwa yang dimoderasi adalah cara beragamanya. Bukan agama itu sendiri.
"Karena agama sejatinya sudah moderat, selalu mengajarkan nilai-nilai keseimbangan dan jalan-tengah (middle way). Ini yang penting dicatat,” tandasnya.
Menurut dia, konsep moderasi beragama ada di hampir semua tradisi agama. Dalam Islam kita mengenal istilah wasathiyyah. Di dalam tradisi Kristen ada konsep golden mean. Demikian halnya, di dalam tradisi Buddha ada konsep Majjhima Patipada. Di dalam tradisi Hindu ada konsep Madyhamika. Dan di dalam Khonghucu ada konsep Zhong Yong.
"Demikianlah, dalam tradisi agama-agama, konsep moderasi agama itu bisa dikembangkan dan diejawantakan di dalam sikap umat dalam beragama,” paparnya.
Kuatkan Literasi Keagamaan
Menag menambahkan, adanya gejala beragama secara instan dan simbolik tersebut perlu disikapi dengan penguatan literasi keagamaan, edukasi publik, dan membawa ajaran agama secara diskursif dan mencerahkan.
“Semua umat beragama perlu membuka diri terhadap perubahan (open minded), berdamai atau adaptif dengan kondisi disruptif ini, sehingga mampu melakukan sikap terbaik menghadapinya,” sambung Menag.
Menag juga menyoroti bahwa dunia kini sedang berubah drastis, terutama disebabkan pandemi Covid-19 yang menerpa semua negara di seluruh pelosok dunia. Menurutnya, perubahan revolusioner dunia saat ini juga tidak semata terkait adanya virus yang tidak tampak itu.
“Pada mulanya, disrupsi melanda dunia bisnis, sejak awal 2018, disrupsi mulai mempengaruhi perilaku komunikasi masyarakat hingga cara beragama umat," kata Menag.
Disrupsi, lanjut dia, juga berdampak pada cara pandang dan sikap beragama kita. Kehidupan manusia yang serba mudah dan instan dengan teknologi digital, dapat menyebabkan terjadinya deprivatisasi keberagamaan.
"Ajaran agama yang pada mulanya diajarkan pihak-pihak yang otoritatif kini menjadi terbuka. Siapa saja merasa berhak menafsir agama dengan bantuan mesin pencari meski dengan ilmu yang terbatas dan parsial," ungkap Menag.
Ia berharap, simposium internasional ini dapat mendiskusikan sejumlah fenomena kehidupan keagamaan di era disrupsi tersebut. “Terpenting, agar dapat berkontribusi terkait berbagai pemikiran dan strategi untuk bahan kebijakan keagamaan secara praktikal. terlebih untuk menjaga martabat dan peradaban manusia pada umumnya,” pungkas Menag.
Simposium menghadirkan pembicara dari 12 negara, yakni Amerika Serikat, Australia, Belanda, Bulgaria, Iran, Malaysia, Pakistan, Thailand, Singapura, Swiss, Vietnam, dan Indonesia sendiri. Antara lain James J Fox (pembicara kunci), Robert W Hefner, Aria Nakissa, Syed Farid Alatas, Azyumardi Azra, dan M Atho’ Mudzhar.[]
Ova/diad