Sesban Muharam: Radikalisme Bukan Asli Indonesia
Bandung (Balitbang Diklat)--- Lembaga pendidikan Islam sering dikaitkan dengan pemahaman agama radikal dan ekstrem. Kondisi ini lahir bukan dari sistem pendidikan di Indonesia, melainkan dari sistem politik luar yang terbawa ke sini.
Pernyataan ini disampaikan Sekretaris Balitbang Diklat Muharam Marzuki saat memberikan keynote speech pada The 8th International Conference on Education in Muslim Society (ICEMS). Kegiatan mengusung tema “The Future of Education: Moderate, Inclusive, and Professional”, berlangsung pada 22-24 Agustus 2022.
“Persoalan ditambah dengan sistem politik dunia, dimana Islam mulai bangkit dari tekanan dunia Barat. Hal inilah yang dilabelkan oleh sebagian golongan menjadi gerakan radikalisme,” ungkap Sesban Muharam di Bandung, Senin malam (22/8/2022).
Menurut Sesban, sangat tidak bijak jika lembaga pendidikan Islam dijadikan sebagai salah satu penyumbang kemunculan dari generasi radikal. Karena sesungguhnya hal ini terjadi akibat terseret dari kondisi politik global.
Sebagai mantan Kapuslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan, Muharam pernah ditugaskan sebagai perwakilan Kemenag untuk bekerja sama dengan BNPT mengurusi salah satu pesantren yang berstatus radikal. BNPT mengajak pihak terkait untuk melakukan pendekatan secara langsung guna mendatangi lembaga pendidikan yang dianggap radikal ini.
“Setelah didatangi, ternyata benar bahwa pesantren ini menentang ideologi negara Indonesia. Oleh karena itu, BNPT dan Kemenag bekerja sama sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing untuk menanggulangi lembaga pendidikan yang radikal ini. Selain itu, tugas ini pun melibatkan Kementerian PUPR sebab sarana prasarana di sana sangat buruk,” kisahnya.
Lebih lanjut, Sesban mengatakan Kementerian Pertanian pun terlibat dengan membawa bibit tanaman dan membina pengurus serta santri agar dapat berswasembada pangan. Kemenag sendiri membawa buku-buku keagamaan yang dibutuhkan oleh pesantren.
“Upaya ini membuahkan hasil, lembaga pendidikan tersebut akhirnya merasakan kehadiran negara. Artinya, pemerintah hadir untuk memberikan solusi atas kesulitan yang terjadi di sana,” kata Sesban.
Sejak itu, lanjut Muharam, pesantren tersebut mulai melaksanakan upacara bendera dan pembacaan Pancasila. Ternyata solusi dari masalah radikalisme adalah dengan merangkul dan memberikan perhatian langsung kepada lembaga pendidikan.
Asistensi dan advokasi menjadi hal penting untuk menumbuhkan rasa percaya terhadap negara, terutama bagi lembaga pendidikan yang dianggap radikal. “Maka jika ada perilaku yang menentang negara, bisa jadi disebabkan oleh kurangnya perhatian pemerintah terhadap lembaga tersebut,” ujarnya.
Sesban mengimbau agar ke depan perlu dibangun sistem pendidikan yang inklusif dan moderat. Harapannya sistem ini terlaksananya dengan menerapkan perlakuan yang adil kepada seluruh komponen masyarakat. “Termasuk pada penyelenggaraan sistem pendidikan agar memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pengayoman dari negara,” kata Sesban.
“Tindakan radikal dan intoleransi dapat terjadi pada setiap satuan pendidikan baik tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Ini menjadi tanggung jawab bersama sebab pembinaan moral anak didik adalah warisan agama yang harus dijaga dan dirawat,” tandasnya menutup paparan.
Gelaran ICEMS ke-8 merupakan kegiatan kolaborasi antara UIN Syarif Hidayatullah dan Balai Litbang Agama Jakarta (BLAJ) Badan Litbang dan Diklat Kemenag. Rangkaian kegiatan akan menghadirkan pemakalah dari dalam hingga luar negeri secara hibrid. Tampak hadir pula Kepala Biro Kepegawaian Nurudin dan Kepala Balai Litbang Agama Jakarta Samidi.[]
Diad/AR