Sinergi Pendidikan Sekolah dan Madrasah Diniyah Akan Lahirkan Siswa Terampil dan Berakhlak
Bogor (Balitbang Diklat)---Bila pendidikan sekolah dan madrasah diniyah (Madin) bisa disinergikan, maka akan melahirkan siswa yang terampil dan berakhlak baik. Ini karena kedua lembaga pendidikan ini memiliki keungulan masing-masing. Sekolah memiliki kurikulum pengetahuan umum, sedangkan Madin memiliki kurikulum yang fokus ke pendidikan agama.
Hal ini dikatakan peneliti Balai Litbang Agama Jakarta, Juju Saepudin dalam kegiatan Pembahasan Draf Final Penyusunan Panduan Integritas Madrasah Diniyah di Sekolah di Bogor, Jumat (16/08).
Namun menurutnya, saat ini di sejumlah daerah ada beberapa Madin tutup karena regulasi lima hari sekolah. “Dalam perkembangannya ada semacam kekhawatiran dari pengelola Madin bahwa regulasi lima hari sekolah itu akan “mematikan” Madin yang sudah ada. Bukan karena pergeseran minat masyarakat pada pendidikan Islam. Tapi karena waktu belajar siswa sekolah yang bertambah panjang sehingga waktunya bersamaan dengan jam belajar di Madin,” ujar Juju.
Hal yang sama dikatakan Akademisi UIN Jakarta Jejen Muspah yang menjadi narasumber kegiatan ini. Menurutnya pendidikan agama di sekolah umum masih kurang optimal. Pengetahuan, keterampilan dan sikap agama itu tidak cukup hanya dipelajari dua jam dalam satu minggu. Harus diperkuat pendidikan Madin agar lahir siswa yang beriman dan bertaqwa, namun juga terampil dalam menjalankan agamanya
“Sekolah tidak mungkin memberikan porsi jam pelajaran agama lebih banyak karena harus berbagi waktu dengan mata pelajaran yang lain. Maka posisi Madin bagi siswa sekolah sangat penting untuk keseimbangan antara pengetahuan umum dan pengetahuan agama. Maka akan sangat berbahaya apabila tidak ada upaya integrasi komunikasi kerjasama antara sekolah dan Madin,” tutur Jejen.
Sedangkan Kapus Litbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Kementerian Agama Amsal Bakhtiar yang hadir sebagai narasumber mengatakan kegiatan ini merupakan cara untuk mencari solusi terbaik. Terutama bagaimana mengintegrasikan Madin dengan sekolah. Sebenarnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sudah memberikan keleluasaan menggunakan pukul 14.00-16.00 diisi dengan pendidikan karakter. Badan Litbang sebagai dapurnya Kementerian Agama ditantang untuk merumuskan hal yang berbobot untuk mengisi jam pelajaran tersebut.
“Bayangkan saja jika ada waktu tiga hari saja untuk pendidikan karakter dua jam setiap harinya, ditambah pendidikan agama secara formal selama dua jam ini merupakan hal yang dahsyat. Tantangannya bagi kita saat ini adalah menyediakan materi-materi yang berkualitas dan tujuan yang ingin dicapai,” tegasnya.
“Kita ingin melahirkan generasi emas saat 100 tahun Indonesia Merdeka. Kondisi yang seperti ini harus dipersiapkan dari sekarang. Tugas ini bisa dilakukan juga dengan cara kolaborasi antara guru PAI, PKN, dan Sejarah Indonesia. Bila ini berjalan akan memberikan arti pada anak yang kita didik. Kita tidak hanya ingin anak didik kita itu pintar, tapi juga ingin anak didik kita memiliki karakter yang sangat kuat,” sambung Amsal.
Kepala Balai Penelitian Agama Jakarta Nurudin dalam pembukaan kegiatan mengatakan keberadaan Madrasah Diniyah Takmiliyah (MDT) sudah ada jauh sebelum Indonesia merdeka. Masyarakat telah mengakui Madin sebagai lembaga pendidikan keagamaan Islam non formal yang punya kontribusi besar pada pembangunan bangsa. Dan masyarakat perlu menjaga dan melestarikan tradisi pembelajaran keagamaan yang sudah sekian lama dan turun-temurun berlangsung di Indonesia ini.
“Wajah masa depan Islam Indonesia ada di Madin. Keragaman kultur, budaya lokal, bahasa, dan dinamika keagamaan telah menjadikan Islam Indonesia sangat toleran. Kekhasaan pendidikan di Madin yang menguatkan pada aqidah, akhlak, tasawuf, dan gramatika Islam akan menghasilkan siswa yang memiliki kompetensi agama yang lebih bagus. Jadi sangat disayangkan bila pendidikan Madin tidak dijaga,” ujar Nurudin.
Kegiatan yang dilaksanakan selama tiga hari 14 s.d 16 Agustus 2019 ini dihadiri 80 orang. Selain para peneliti dan akademisi, hadir juga perwakilan pengurus Forum Komunikasi Diniyah Takmiliyah (FKDT), Perwakilan Madrasah Diniyah Takmiliyah (MDT) di Jabotabek dan Bandung, perwakilan pengurus pondok pesantren, dan guru SDN Jabotabek.
Teks/foto: Aris W Nuraharjo
Editor: Dewindah