STUDI KEBIJAKAN PEMERINTAHAN DAERAH DI BIDANG PENDIDIKAN AGAMA (Analisis Terhadap Kebijakan Pemerintahan Bidang Pemberdayaan Madrasah Ibtidaiyah di Kota Surabaya dan Kota Malang)
(Analisis Terhadap Kebijakan Pemerintahan Bidang Pemberdayaan
Madrasah Ibtidaiyah di Kota Surabaya dan Kota Malang)
Oleh: Istibsyarah dkk (Tim Peneliti IAIN Surabaya)
Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan
Badan Litbang dan Diklat, 2006
Eksistensi Madrasah bukan hanya syarat dengan problematika internal, melainkan juga dipenuhi aneka kerumitan eksternal. Kesediaan Madrasah menjadi laboratorium sumber daya manusia kerap bersentuhan dengan politik, sehingga terdiskriminasi di ruang pelayanan publik. Pemerintahan Daerah Kota Surabaya menempatkannya sebagai bagian terpisah dari Sekolah Dasar, bahkan juga terbelah antara Madrasah Negeri dan Swasta. Indikasi diskriminasi tersebut dapat ditemukan pada kemasan bahasa hukum produk kebijakan publik, termasuk pengaruh Surat Edaran Menteri Dalam Negeri, Nomor 903/3172/SJ, tertanggal 21 September 2005, walaupun masa kini telah mengalami revisi. Ketimpangan ini juga ditemukan pada aspek landasan hukum. Formulasi bantuan kepada Madrasah hanya berpedoman pada Surat Keputusan Dinas Pendidikan Kota Surabaya.
Kebijakan publik Pemerintahan Daerah Kota Malang memiliki sedikit perbedaan dalam menciptakan kesamaan antara Madrasah dengan Sekolah Dasar. Sebab upaya implementasi program kebijakan publiknya telah melalui proses studi kelayakan terlebih dahulu. Hal ini dibuktikan dengan penerbitan Peraturan Daerah, Keputusan Wali Kota, dan Dinas Pendidikan Kota Malang. Posisi Madrasah Negeri/Swasta, dan Sekolah Dasar, sedikit memiliki persamaan, karena eksistensi Madrasah di Kota Malang mampu menjadi sekolah unggulan dan menempati kebutuhan alternatif utama masyarakat.
Namun demikian, keterlibatan kontrol publik masih diposisikan terpisah dalam kebijakan Pemerintahan Daerah Kota Surabaya dan Kota Malang. Akibatnya terdapat peralihan milik kebijakan publik ke arah kebijakan yang samar, bahkan hanya menjadi elite kebijakan. Terbukti pengaruh keterlibatan Madrasah dalam kebijakan publik, walaupun ada political will Pemerintahan Daerah, juga masih dipenuhi oleh proses kedekatan Departemen Agama, Madrasah dengan kelompok elite kebijakan, seperti eksekutif dan legislatif.
Semua ini berawal dari aspek interpretasi kepemilikan lembaga Madrasah di bawah naungan Departemen Agama, sementara Sekolah Dasar di bawah naungan Departemen Pendidikan Nasional. Perbedaan ini tidak hanya berhenti di sini saja, melaikan melebar ke arah hubungan politik antara Dinas Pendidikan dengan Departemen Pendidikan Nasional. Dinas Pendidikan Pemerintahan Daerah bersikap membedakan antara pelayanan publik terhadap Madrasah dan Sekolah Dasar. Kehadirannya tidak mampu menjadi dinamisator pelayan publik di bidang pendidikan di era otonomi daerah. Sebaliknya bersikap memilah, membelah dan membedakan sebagaimana warisan perilaku politik masa lalu.***