STUDI KELOMPOK KEAGAMAAN MINORITAS DI BERBAGAI DAERAH TAHUN 2005
STUDI KELOMPOK KEAGAMAAN MINORITAS DI BERBAGAI DAERAH TAHUN 2005
Oleh: Tim Puslitbang Kehidupan Beragama
Puslitbang Kehidupan Beragama
Badan Litbang dan Diklat 2006
Dalam realitas masyarakat majemuk, salah satu kategori sosial yang kerap digunakan adalah konsep mayoritas dan minoritas. Konsep ini menunjukkan bahwa ada satu kelompok masyarakat, baik dari tinjauan agama, politik, sosial, etnis, budaya, ataupun bahasa, yang secara numerik lebih banyak (mayoritas) daripada kelompok masyarakat yang lain (minoritas). Pada aras konseptual, kedua istilah itu sebenarnya tidak terlalu bermuatan ideologis, karena hanya sekadar pengandaian statistik. Akan tetapi, pada aras praksikal, konsep ini kerap digunakan oleh kelompok masyarakat yang lebih banyak guna melakukan tindakan diskriminasi terhadap kelompok masyarakat yang lebih kecil.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan studi kasus. Sedangkan dalam pengumpulan data memakai teknik studi pustaka, observasi dan wawancara mendalam.
Beberapa temuan penelitian adalah sebagai berikut: Pertama, di Provinsi Sumatera Utara, terutama di Kecamatan Berastagi, kehidupan minoritas muslim relatif baik dan hidup penuh rukun dengan kaum mayoritas Kristen. Kerukunan ini dapat tercipta karena dukungan beberapa faktor antara lain: karakteristik orang Batak yang permisif terhadap perbedaan agama serta masih efektifnya kearifan budaya lokal dalihan na tolu dan forum-forum kerukunan. Walaupun jabatan dalam Pemerintahan Daerah sebagian besar dipegang oleh kelompok keagamaan mayoritas, tetapi tidak ada kebijakan yang dapat membuat kalangan minoritas terdiskriminasikan. Kendati demikian, suasana saling curiga yang merupakan potensi laten konflik sesekali mengemuka, tetapi cepat diselesaikan secara adat sehingga tidak muncul di permukaan.
Kedua, di Provinsi Sumatera Selatan, khususnya di Kecamatan Sako, kehidupan minoritas Katolik relatif baik dan hidup rukun dengan mayoritas muslim. Pada mulanya memang sempat terjadi tindakan diskriminasi mayoritas muslim kepada minoritas Katolik, tetapi melalui komunikasi terus-menerus dan berbaurnya kelompok minoritas Katolik di tengah mayoritas muslim, tindakan diskriminasi itu lambat-laun berkurang.
Ketiga, di Provinsi Jambi, terutama di Kota Jambi, tingkat potensi konflik antarumat beragama relatif besar tetapi tidak mencuat kepermukaan karena teredam oleh sikap masyarakat Jambi yang tidak mau mencampuri urusan orang lain.
Penelitian ini merekomendasikan optimalisasi kearifan budaya lokal sebagai perekat masyarakat dan mensosialisasikannya dalam berbagai bentuk dan di semua tingkatan serta mengoptimalkan lembaga-lembaga kerukunan sebagai wadah komunikasi dan pencegahan konflik secara dini, serta sebagai lembaga arbitrase dalam penyelesaian kasus-kasus konflik secara ad hoc. ***