SURVEI PENDIDIKAN KEAGAMAAN KRISTEN, KATOLIK, HINDU, BUDHA DAN KONGHUCHU
SURVEI PENDIDIKAN KEAGAMAAN KRISTEN, KATOLIK, HINDU, BUDHA DAN KONGHUCHU
UU 1945 menjamin setiap penduduk mendapatkan pendidikan. Negara berkewajiban memberikan pelayanan pendidikan, termasuk pendidikan keagamaan. Pendidikan keagamaan sebagaimana diatur dalam UU No 20 Tahun 2003 merupakan salah satu jenis pendidikan. Sebagai jenis pendidikan, pendidikan keagamaan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. Dalam PP tersebut pasal (1) menyebutkan: pendidikan keagamaan adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama dan/atau menjadi ahli ilmu agama dan mengamalkan ajaran agamanya.
Fungsi pendidikan keagamaan adalah mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama. Sedangkan tujuan dari pendidikan keagamaan adalah untuk terbentuknya peserta didik yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama yang berwawasan luas, kritis, kreatif, inovatif, dan dinamis dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia (pasal 8 ayat (1) dan (2). Jelas tujuan ini berbeda dengan pendidikan agama yang hanya dituntut pada pemahaman, penghayatan, dan pengamalan nilai-nilai agama peserta didik, bukan menjadi seorang ahli agama.
Keluarnya PP 55/2007 telah memberikan ruang dan kesempatan bagi masyarakat untuk menyelenggarakan pendidikan keagamaan secara leluasa. Dalam konteks ini, pendidikan keagamaan Kristen, Katholik, Hindu, Budha dan Konghucu dituntut bersama-sama dengan pendidikan keagamaan Islam untuk mengisi peraturan perundangan tersebut.
Peraturan perundangan di atas dalam realitasnya memunculkan masalah-masalah diantaranya; Pertama, tidak adanya nomenklatur yang secara khusus membina pendidikan keagamaan masing-masing agama tersebut. Berbeda dengan pendidikan keagamaan Islam yang berbentuk pendidikan diniyah dan pesantren yang telah diwadahi dalam Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren, pendidikan keagamaan Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu belum tercantum dalam nomenklatur sendiri. Mereka berada dibawah Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat (Ditjen Bimas) agama masing-masing. Tepatnya, di bawah Direktorat Pendidikan Agama bersangkutan. Kedua, berkaitan dengan anggaran Ditjen Bimas agama-agama tersebut yang salah satunya dialokasikan untuk pendidikan keagamaan. Ketiga, bentuk-bentuk pendidikan keagamaan masing-masing agama yang disebutkan dalam PP itu seperti Sekolah Dasar Teologi Kristen (SDTK), Sekolah Menengah Agama Kristen (SMAK), Sekolah Menengah Teologi Kristen (SMTK), Sekolah Menengah Agama Katolik (SMAK), Pasraman, Pesantian, sekolah minggu Budha dan Pabbajja Samanera, serta Sekolah Minggu Konghucu diduga di lapangan belum terpetakan baik dalam hal kelembagaan maupun dalam penyelenggaraannya. Walaupun data kelembagaan pendidikan keagamaan Kristen, Katolik, Hindu, Buddha tercantum pada Dirjen Bimas agama masing-masing-- Konghucu berada di Matakin, data kelembagaan tersebut perlu mendapat verifikasi.
Berdasarkan pemikiran di atas, Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan melakukan kegiatan survei pendidikan keagamaan Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghuchu dengan memokus pada peta kelembagaan pendidikan keagamaan agama-agama tersebut. Hal ini dianggap penting dalam rangka memberikan peta kelembagaan kepada Menteri Agama sebagai pengelola pendidikan keagamaan sebagaimana yang disebutkan pada pasal 9 ayat (3) PP 55/2007. Survei ini juga dianggap penting dalam rangka mengantisipasi keluarnya Peraturan Menteri Agama (Permenag) tentang syarat-syarat pendirian satuan pendidikan keagamaan, khususnya pendidikan keagamaan Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu sebagaimana yang diatur dalam pasal 13 ayat (5) PP 55/2007. Syarat-syarat pendirian itu menyangkut isi pendidikan/kurikulum, jumlah dan kualifikasi pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana yang memungkinkan terselenggaranya kegiatan pembelajaran, sumber pembiayaan untuk kelangsungan program pendidikan sekurang-kurangnya untuk 1 (satu) tahun pendidikan/akademik berikutnya, sistem evaluasi, dan manajemen dan proses pendidikan. Dengan demikian, pertanyaan penelitianya adalah Bagaimana peta kelembagaan pendidikan keagamaan Krsten, Katholik, Hindu, Budha dan Konghuchu.
Tujuan
Survei ini bertujuan untuk: (1) memverifikasi data dan informasi satuan dan lembaga pendidikan keagamaan Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu, dan (2) memperoleh data peta kelembagaan pendidikan keagamaan Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Untuk memberikian focus penelitian, perlu membatasi bahwa survey ini mengkaji peta kelembagaan pendidikan keagamaan Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghuchu, dengan memokus pada jumlah lembaga (jalur dan jenjang pendidikan), peserta didik, pendidik, dan penyelenggara. Sedangkan tergetnya adalah adanya peta satuan atau lembaga pendidikan keagamaan Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu yang valid dari hasil verifikasi. Hasil survei ini dapat dipergunakan oleh para penentu kebijakan dalam hal ini para Bimas masing-masing agama dan Matakin dalam implementasi PP 55/2007 terutama dalam menyusun pedoman dan standar minimal pelayanan pendidikan keagamaan agama masing-masing.
Metodologi
Lokasi Survei mencakup 33 propinsi. Pendekatan yang digunakan kuantitatif dengan analisis bersifat deskriptif.
Temuan
1.Peta Kelembagaan Pendidikan Keagamaan Secara Keseluruhan: (a)Jumlah lembaga : pendidikan keagamaan Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghuchu sesuai dengan jalur dan jenjangnya berjumlah 11152, dengan rincian 6153 (Katolik), 2295 (Kristen), 1380 (Hindu), Budha (1181) dan 143 (Konghuchu). (b) Peserta didik : Data diatas menunjukan jumlah peserta didik katolik 98329 (30,8%), kristen 90749 (28,4%), Hindu 86731 (27,2%), Budha 41103 (12,9%) dan Konghucu 2281 (0,7%). Jumlah Pendidik : katolik 5146 (39,3%), kristen 3948 (30,2%), Hindu 1692 (12,9%), Budha 2228 (17,0%) dan Konghucu 71 (0,5%).
2.Peta Kelembagaan Masing-Masing Agama : (a) Kristen : Dari jumlah 2295 lembaga pendidikan Kristen, 1964 merupakan jalur non formal. Dari jumlah yang non formal itu, sebagian besar adalah dasar dan PAUD. Sedangkan pada jalur formal terbanyak pada jenjang tinggi (STAK/STT) dan menengah (SMAK/SMTK). Setelah lahirnya PP 55, terjadi perubahan kelembagaan :12 (SDTK) dan 9 (SMPTK). Bahkan kalau melihat data tersebut ada 995 pendidikan keagamaan dasar non formal yang memungkinkan untuk menjadi input pendidikan keagamaan menengah. (b) Katolik : jumlah lembaga pendidikan keagamaan Katolik 6153, lembaga non formal (6090).Dari jumlah non formal itu, sebagian besar berjenjang PAUD, disusul menengah, dasar, dan tinggi. Lembaga pendidikan keagamaan Katolik formal yang dibina oleh Direktorat Jenderal Bimas Katolik 37 SMAK dan 26 STP/Kateketik/STT bertujuan untuk mempersiapkan tenaga-tenaga Guru agama Katolik dan Penyuluh agama Katolik. Data pendidik lembaga pendidikan keagamaan katolik menunjukkan jalur non formal pada jenjang PAUD memiliki jumlah pendidik tertinggi (3374) dan jalur non formal pada jenjang Tinggi (40) merupakan jumlah terendah. Data tersebut menunjukkan bahwa penyelenggara lembaga pendidikan keagamaan Katolik berbentuk yayasan dan gereja. (c) Hindu : Data survei menunjukkan bahwa bentuk-bentuk pendidikan kegamaan Hindu 13 lembaga pendidikan keagamaan tinggi formal (IHDN,STAH), 1023 pasraman berjenjang, 11 pasraman tidak berjenjang, 208 pesantian, dan 125 saddarma. Dari 1023 pasraman berjenjang menyelenggarakan jenjang pendidikan TK (69), Dasar SD (358), Dasar SMP (318), SMA (265), tinggi (13). Data tentang pasraman yang menyelenggarakan berbagai jenjang pendidikan memberikan peluang untuk diformalkan. Formalisasi pasraman sesuai dengan pemahaman Ditjen Bimas Hindu dapat dilakukan. Hal ini sebagai respon dari PP 55 yang mencantumkan jalur formal setingkat TK (Pratama Widya Pasraman), SD (Adi Widya Pasraman), SMP (Madyama Widya Pasraman), SMA (Utama Widya Pasraman), pendidikan keagamaan tinggi Hindu (Maha Widya Pasraman). Peluang pasraman untuk diformalkan juga dapat dilihat dari jumlah peserta didik dan pendidik. Sebanyak 77800 anak yang sedang belajar pada pasraman berjenjang dengan jumlah pendidik sebanyak 1170. (d) Budha : Pendidikan keagamaan Buddha diselenggarakan oleh masyarakat pada jalur pendidikan nonformal dalam bentuk program Sekolah Minggu Buddha dan Pabbajja Samanera. Data di atas menunjukkan jalur Sekolah Minggu Budha (SMB) merupakan jumlah lembaga pendidikan keagamaan Budha (4485) tertinggi dan jalur formal (STAB) terendah (14). Berdasarkan data survei, terdapat SMB yang menyelenggarakan jenjang pendidikan seperti untuk jenjang PAUD, SD, SMP, dan SMA. Data di atas menunjukkan pendidikan keagamaan Budha, jenjang SD merupakan jumlah lembaga pendidikan keagamaan Budha tertinggi (69) dan jenjang PAUD (10) adalah jumlah terendah. (e) Konghuchu : Sekolah minggu Konghucu merupakan jumlah lembaga pendidikan keagamaan konghucu (99) tertinggi dan jumlah lembaga pendidikan keagamaan Pendidikan guru (9) terendah. Minggu Konghucu (SMK) merupakan jumlah peserta didik lembaga pendidikan keagamaan Konghucu tertinggi (2083) dan jalur Pendidikan Rohaniawan (35) adalah jumlah terendah. Data di atas menunjukkan jalur Sekolah minggu konghucu merupakan jumlah pendidiklembaga pendidikan keagamaan konghucu tertinggi (58) dan jalur pendidikan guru (1) adalah jumlah terendah. Data di atas menunjukkan yayasan merupakan jumlah penyelenggara lembaga pendidikan keagamaan konghucu tertinggi (70) dan pemerintah (0) adalah jumlah terendah.
3. Penyelenggaraan pendidikan keagamaan Kristen memungkinkan untuk berkesinambungan secara linear dalam hal lembaga dari mulai dasar sampai perguruan tinggi. Peserta didik pendidikan keagamaan Kristen dasar dapat melanjutkan dan sekaligus menjadi input kepada pendidikan keagamaan Kristen jenjang selanjutnya. Jalur lembaga pendidikan keagamaan Kristen kaitannya dengan PP No 55 tahun 2007 yang didalamnya tidak menjelaskan kriteria jalur non formal, dalam survei ini tim peneliti membuat sendiri kriteria itu. Disamping mengacu kepada kebijakan pemerintah, pendidikan keagamaan Katolik diduga mengacu pada arahan gereja yang berdampak pada kurangnya respon ajakan dari pihak Kandepag untuk melaporkan lembaga pendidikan keagamaan Katolik, khususnya pendidikan yang diselenggarakan gereja dan organisasi lembaga keagamaan Katolik. Pendidikan Keagamaan Hindu dalam bentuk Pasraman berjenjang yang menyelenggarakan berbagai jenjang pendidikan dapat diorientasikan menjadi bentuk Pasraman formal; setingkat TK (Pratama Widya Pasraman),SD (Adi Widya Pasraman), SMP (Madyama Widya Pasraman), SMA (Utama Widya Pasraman), dan pendidikan tinggi (Maha Widya Pasraman). Perguruan Tinggi agama Hindu (STAH) merupakan pendidikan tinggi berciri khas Hindu, bukan pendidikan keagaman tinggi Hindu. Pendidikan Keagamaan Budha (SMB berjenjang) yang menyelenggarakan berbagai jenjang pendidikan diorintasikan menjadi jalur formal, tetapi dalam PP No 55 2007 secara eksplisit tidak menyebutkan jalur formal. STAB merupakan pendidikan tinggi berciri khas Budha, bukan pendidikan keagaman tinggi Budha. Selain jumlahnya yang masih minim,kondisi lembaga pendidikan keagamaan Konghuchu juga sampai saat ini masih mencari bentuk karena belum ada nomenklaturnya yang menaungi. Padahal ada peluang untuk mengembangkan jalur formal sesuai dengan PP No 55 Tahun 2007.
Rekomendasi
1.Sosialisasi PP 55 Tahun 2007 tentang kriteria lembaga pendidikan keagamaan pada tingkat propinsi dan kabupaten/kota, sehingga ketika mendata lembaga memiliki kesepahaman yang lebih jelas.
2.Melalui Humas yang ada di kantor Departemen Agama baik di tingkat priopinsi ataupun kota/kab sebaiknya memberikan data lembaga pendidikan keagamaan kepada BPS untuk dimuat dalam buku "propinsi atau kabupaten dalam Angka,
3.Perlu akselarasi penanganan lembaga pendidikan keagamaan Konghuchu sehingga keberadaan kelembagaannya menjadi jelas .
4. Perlu dilakuan survei lanjutan untuk menyempurnakan peta data kelembagaan pendidikan keagamaan.